Selama dalam perjalanan aku tak pernah lelap dalam lamunanku. Aku menatap pandangan kosong. Aroma padi yang mulai menguning telah tercium di depanku. Aku tertunduk di hadapan rumahku sendiri di kampung.
      "Emak, teh Tating pulang"
      "Ting, alah kamu kok mau pulang tidak memberi kabar"
      "Maafkan Tating emak!"
      Segala kecerian keluarga tergugah dengan airmataku di bawah kaki emak. Rasa heran dari mereka mengunjungi pikiran mereka dengan berbagai pertanyaan. Aku bersujud. Menceritakan semuanya. O, emak aku tak tahan dengan airmata yang menjadi mutiara dari kelopak mata emak. Dengan kerudung birunya emak mengusap tetesan airmata itu. Aku seperti mengiris tanganku sendiri karena melibatkan emak dalam masalahku.
      "Ting, kamu..."
      "Ya emak!"
      Aku akan menerima segala hukumannya atas segala kesalahanku. Di kampungku terlalu cepat berita itu menyebar. Tetangga-tetangga pun melihat jijik terhadapku. Bisa-bisanya aku memperbudak diriku sendiri.
      "Alah buat apa banyak uang kalau ujungnya menyakitakan. Mending mengaji saja dan hidup di kampung." celoteh seorang tetangga menyindirku.
      "Untung anakku rajin mengaji, tidak apa-apa miskin juga tetapi punya harga diri." Sahut tetangga yang lain.
      Ternyata aku mempunyai anak jadah. Itu yang dikatakan ibu-ibu di lingkungan rumahku. Menyelusup beban dalam benak emak. Mengikatkan rantai dalam ruang gerak emak. Emak tetap memperlihatkan satu rimbunan kebahagiaan kepadaku. Emak tidak mempedulikan kisahku masa lalu. Aku masih dianggap anak emak yang dulu, gadis lugu yang rajin mengaji.