Menurut Rismayanti et.al (2017: 3771), dasar penyelenggaraanya adalah Undang-undang Dasar 1945, Pasal31, Undang-undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah, Keputusan Bupati Ponorogo Nomor 63 Tahun 1987 tentang Tim Wisata Kabupaten Ponorogo, dan Keputusan Bupati Ponorogo Nomor 430/9/417.14 Tahun 1995 tentang Organisasi Peringatan Grebeg Suro  1995.Â
Tradisi masyarakat untuk meramaikan Grebeg Suro dilengkapi dengan festival yang bisa mendatangkan kelompok-kelompok reyog dari dalam dan dari luar Ponorogo. Selain menghibur masyarakat Ponorogo dengan kesenian khas mereka yang sudah disesuaikan untuk kepentingan lomba, kedatangan peserta festival dan penonton dari luar Ponorogo merupakan momen untuk menggerakkan roda perekonomian Ponorogo, khususnya dari bisnis penginapan, kuliner, dan kerajinan.Â
Untuk melengkapi kepentingan ekonomi tersebut, rezim pemerintah Orde Baru juga mengkampanyekan bahwa event festival bisa menjadi aktivitas untuk melestarikan kesenian tradisional.
Pemahaman tersebut bertransformasi hingga era pascareformasi di mana sistem ekonomi pasar semakin menguat dan menempatkan produk budaya tradisional sebagai material untuk dikomodifikasi dan dijadikan produk komersil yang memperkuat industri budaya dan industri pariwisata.Â
Pelestarian budaya lokal menjadi bagian penting untuk menyediakan materi residual dari masa lalu yang akan memuaskan kerinduan eksotis para wisatawan. Dengan demikian, kebijakan untuk pelestarian kesenian lokal seperti reyog sebenarnya bukan lagi semata-mata untuk kepentingan ekonomi para seniman dan pemertahanan kesenian di tengah perubahan sosial yang semakin cepat.Â
Lebih dari itu, terdapat motif ekonomi yang dijalankan oleh pemerintah kabupaten, provinsi, dan pusat, khususnya untuk memndapatkan pemasukan dari selebrasi budaya. Kebjakan budaya yang dilandasi kepentingan ekonomi, bukanlah sesuatu yang baru.Â
Secara nasional, kebijakan pemerintah kabupaten Ponorogo untuk mem-festival-kan reyog bisa dikatakan sejalan dengan kebijakan budaya pemerintah pusat yang beorientasi pariwisata, tetapi tetap mempertahankan ekspresi tradisional yang bisa memperkuat karakter bangsa dan berkontribusi untuk aktivitas perekonomian.Â
Secara internasional, banyak negara maju dan berkembang yang menempatkan nilai, praktik, dan produk budaya sebagai komponen utama kebijakan untuk mendapatkan keuntungan ekonomis yang berdampak bagi peningkatan kesejahteraan pelaku budaya dan warga negara serta pajak untuk pemerintah.
Ironisnya, terdapat sebagian akademisi yang begitu saja menyebarluaskan signifikansi kebijakan budaya seperti festival nasional reyog tanpa berani mengkritisi dominasi kepentingan ekonomi yang berdampak pada bergesernya pertunjukan reyog. Apa yang saya maksudkan sebagai pergeseran adalah bergesernya karakteristik reyog sebagai bentuk budaya rakyat.Â
Bagaimanapun juga, kehadiran reyog tidak bisa dilepaskan dari tradisi kecil di tengah-tengah rakyat Ponorogo yang diwarisi dan dilestarikan secara turun-temurun. Para pelaku reyog, baik pembarong, jathil, maupun bujang ganong terbiasa menggelar pertunjukan di ranah publik.Â