Para pembarong, masih mengenakan topeng raksasanya, misalnya, akan membentangkan kedua tangan sambil menghadap ke arah jathil. Saat itulah, seorang jathil akan segera melakukan edreg (langkah-langkah kecil dan cepat). Biasanya, pembarong akan menyundul bokong si penari jathil dengan hidung harimau yang ada di bagian depan topeng raksasa.
Adegan ini membuat penonton bersorak-sorai, memberikan dukungan kepada si pembarong. Tidak jarang pula, setelah melepas dadak merak yang ia kenakan, pembarong akan menyundul bokong jathil dengan kepalanya sendiri. Bahkan, ada pula adegan di mana bujang ganong yang masih berusia anak-anak meminta jathil perempuan untuk menari di hadapannya.
Tidak jarang si bujang ganong anak-anak melakukan adegan seolah-olah ia ingin menyentuh bagian tubuh, seperti pantat jathil perempuan. Melihat adegan ini, penonton bersorak gembira. Memang, di bujang ganong anak-anak tidak jadi menyentuhnya, tetapi adegan tersebut tetap saja menegaskan erotisisme.
Struktur pertunjukan yang cenderung terbuka dan bebasa itulah yang menjadikan reyog obyokan seringkali diposisikan tidak sesuai dengan pakem sebagaimana dikonstruksi dalam festival. Sutejo, seorang dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Kependidikan dan Keguruan (STKIP) PGRI Ponorogo (dikutip dalam Astro, 2015), misalnya, berargumen, reyog obyokan adalah realitas yang berkembang di masyarakat bawah.
Reyog obyokan terkadang mirip kayak campursari. Pakai lagu-lagu pesanan. Jathil menjadi fokusnya, seperti sinden. Mereka tidak mikir dengan konsep pembakuan tari reyog yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Pembakuan hanya di panggung festival, sedangnkan di masyarakat justru hidup yang lebih adaptif dengan kreasi dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat bawah.
Sama dengan Bahasa Indonesia, ada yang baku, namun praktiknya, kan menggunakan secara bebas. Ini memang menjadi dilema. Kalau diakomodasi, nanti dikhawatirkan akan merusak pakem dan filosofi dari cerita reog. Sementara di sisi lain, masyarakat memandang dari aspek hiburan dan meriahnya saja, tidak peduli dengan pakemnya.
Pemunculan istilah “masyarakat bawah” mengindikasikan sebagai realitas pertunjukan, model obyokan berkaitan dengan selera rakyat kebanyakan yang secara sosial dianggap bermutu rendah. Hal itu disebabkan karena para seniman obyokan tidak mengindahkan “pembakuan tari reyog” yang dibuat oleh pemerintah daerah.
Tentu saja, apa yang dilakukan oleh mereka tidak menjadi masalah terlalu serius karena masyarakat kebanyakan bisa menerima, bahkan lebih bisa menikmati gelaran reyog obyokan yang tidak memberikan batasan berupa panggung megah.
Pada akhirnya, konsep pakem memang menjadi permasalahan tersendiri karena pertunjukan yang dianggap sesuai dengan estetika standar adalah pertunjukan ala festival di mana para seniman memiliki acuan yang jelas untuk karya mereka. Padahal kalau ditelisik lagi, reyog sejak awal perkembangannya tidak mengenal pakem seperti dalam festival.
Pakem tersebut diciptakan oleh pemerintah kabupaten di era Orde Baru dan terlanjur disetujui dan disebarluaskan oleh para seniman reyog yang bersepakat dengan rezim. Artinya, pakem itu sebenarnya diimposisikan berdasarkan kesepakatan elitis yang melibatkan para seniman dan aparat negara.