Itulah mengapa adegan ini diletakkan di fase awal pertunjukan untuk mengantarkan adegan demi adegan yang harus dimainkan dengan penuh keseriusan dan kesungguhan oleh para penari.
Tari Jathil muncul setelah para warok muda perlahan keluar dari panggung. Jumlah jathil perempuan tergantung kebutuhan koreografis masing-masing kelompok; bisa lima jathil, bisa juga dua puluh lima atau bakan lebih. Mereka akan menari dalam formasi dinamis dengan bertumpuh pada gerakan kaki, menyerupai gerakan kaki kuda.Â
Dalam menari para jathil membawa figur menyerupai kuda yang terbuat dari bambu. Gerakan mereka menggambarkan kelincahan dan ketrengginasan prajurit berkuda. Mereka tidak akan pernah takut oleh apapun, termasuk sesuatu yang membahayakan. Itulah mengapa mereka tidak takut ketika harus menghadapi dadak merak (topeng raksasa berbahan kulit hariamu atau kulit lembu dan bulu merak) sekalipun.Â
Sampai dengan era 1970-an, penari jathil dalam pertunjukan reyog dalam hajatan warga dimainkan oleh lelaki. Sejak era 1980-an ketika reyog diminta berpartisipasi dalam even Pekan Raya Jakarta (PRJ), para jathil perempuan mulai diperkenalkan.Â
Dalam ajang festival, para kreator dari masing-masing kelompok akan memaksimalkan garapan tari Jathil berupa formasi spasial dan tambahan gerak tubuh yang berbeda dari kelompok lainnya. Kelincahan dan kedinamisan gerap jathil menjadi alasan untuk memunculkan gerakan-gerakan kreatif dan inovatif, meskipun tidak boleh melenceng sepenuhnya dari pakem.
Maryono (2007: 163) menjelaskan bahwa ketangkasan dan kelincahan gerakan jathil adalah warisan tak terbantahkan dari penyelenggaraan festival. Pada awalnya, gerakan jathil dalam pagelaran reyog di tengah-tengah masyarakat tidak lincah dan cenderung melakukan gerakan-gekaran gemulai.Â
Perubahan terjadi ketika SMA Negeri Ponorogo pada era 1990-an bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Seni Surakarta mengikuti festival reyog. Gerakan-gerakan koreografis jathil menjadi maskulin: lebih gagah,  lincah,  dan trengginas. Pola  lantai  tergarap  secara serius sehingga  lebih  variatif,  tidak  monoton, lebih enak ditonton dari berbagai arah, lebih tertata secara estetis, dan tidak ada  kesan semrawut di  atas  panggung.Â
Kedinamisan dan kerancakan gerakan jathil inilah yang mendorong para penonton festival pada era 1990-an merapat ke depan panggung. Meskipun demikian, karena gelaran festival di selenggarakan di atas panggung, penonton tidak bisa berinteraksi dan berpartisipasi secara langsung dengan para jathil. Â
Adegan tari Bujang Ganong dimainkan oleh dua penari lelaki dengan mengenakan topeng eksentrik. Mereka melakukan gerakan tari dengan karakteristik langkah lebar dengan gerakan tangan cepat dan kepala menoleh ke kanan dan ke kiri. Penari dalam adegan ini juga mengekspos keunggulan mereka dengan melakukan gerakan salto beberapa kali putaran.Â