Untuk mempersembahkan garapan koreografis terbaik, tentu masing-masing kelompok harus menyediakan dana besar untuk proses latihan rutin hingga proses penggarapan yang melibatkan pelatih profesional, baik dari kalangan akademisi maupun dari seniman reyog.Â
Sementara, para seniman rakyat yang sudah terbiasa dengan gelaran publik dan tidak memiliki cukup biaya, memilih untuk tidak berpartisipasi dalam FNRP. Mereka lebih asyik melestarikan tradisi reyog obyokan dalam banyak gelaran di tengah-tengah rakyat, tanpa panggung megah, tanpa aturan yang membatasi.
Keberadaan festival dan obyokan menarik untuk dibahas secara kritis, khususnya terkait kepentingan yang melatari kedua moda pertunjukan tersebut. Saya berasumsi bahwa ada kontestasi yang dilakukan para seniman rakyat dengan gelaran reyog obyokan. Mereka melakukan narasi tanding atas gelaran reyog festival yang disponsori negara demi memenuhi kepentingan pariwisata yang menghasilkan devisa.Â
Untuk membahas persoalan tersebut, saya akan menggunakan kerangka teoretis play dan display yang ditawarkan Simatupang (2019). Konsep play menempatkan pertunjukan sebagai struktur estetik dan peristiwa kultural partisipatoris yang mempertemukan seniman dan penonton dalam ruang dinamis, tanpa harus meributkan standar yang mengikat karya kreatif.Â
Sementara, konsep display menekankan aspek standarisasi dan formalisasi dalam hal pertunjukan sehingga mengurangi aspek partisipatoris.Â
Selain itu, saya juga akan memperkuat analisis dengan perpsektif kebijakan budaya yang menekankan usaha negara mendesain regulasi yang bisa berkontribusi bagi pengembangan budaya yang menimbang dimensi ekonomi, sosial, budaya dan politik serta dampaknya bagi para seniman, khususnya, dan warga negara, pada umumnya (Mulcahy 2006; Hadley & Belfiore 2018; Mennell 1981; Belfiore 2016; Langsted 1989; Gibson & Edwards 2016; Wise 2002; Banks 2018; Throsby 2010; Craik 2007; Frey 2000; Hesmondhalgh & Pratt 2005; Haans & van Witteloostuijn 2018; Beauregard 2018; Villarroya 2012; Al-Zo'by 2019; Behr, Brennan & Cloonan 2017; Walmsley 2018; Oman 2019; Manchester & Prett 2015; Oancea, Florez-Petour & Atkinson 2018; Belfiore 2018).Â
Perspektif hegemoni melengkapi kerangka teoretis dalam kajian ini. Grasmci mendefinisikan hegemoni sebagai kekuasaan berbasis moralitas dan kebudayaan yang meminimalisir operasi koersif kelas dominan (Gramsci, 1981; Boggs, 1984; Howson, 2008). Agar mendapat dukungan publik, kelas pemimpin harus mampu memahami dan mengartikulasikan kepentingan kelas subordinat.
Kerangka teoretis tersebut akan saya aplikasikan untuk menganalisis data-data dari penelitian lapangan, baik yang berasal dari wawancara mendalam dengan para seniman maupun observasi terlibat dalam aktivitas-aktivitas kultural di Ponorogo, seperti Festival Nasional Reyog Ponorogo 2023.Â
Selain itu, data-data sekunder dari sumber internet seperti media online dan blog juga akan saya analisis untuk melengkapi analisis data-data primer. Dari analisis itulah bisa didapatkan temuan kritis tentang kedua model pertunjukan reyog Ponorogo, termasuk kontestasi kreatif dan diskursif serta usaha pemerintah untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dan politik dari dinamika yang berkembang. Â
Festival: Standardisasi Koreografis dan Kepentingan Pariwisata
Kehadiran festival bukanlah sesuatu yang bersifat ujug-ujug, hadir tiba-tiba. Ide untuk membuat festival berawal dari gelaran reyog di markas Kodam V Brawijaya, Surabaya, pada tahun 1992. Pada waktu itu pemerintah kabupaten Ponorogo diminta menggelar pertunjukan reyog di acara tentara.Â