Awal(an)
Tanggal 11-17 Juli 2023, Pemerintah Kabupaten Ponorogo menggelar Festival Nasional Reyog Ponorogo (selanjutnya disingkat FNRP) yang ke-28 sebagai acara inti perayaan Grebeg Suro pada setiap bulan Suro dalam kalender Jawa atau Muharam dalam kalender Islam. Festival ini diikuti oleh 27 peserta dari Ponorogo dan kota/kabupaten lain di berbagai wilayah di Indonesia.
Selama lima hari, warga Ponorogo begitu antusias menonon pertunjukan dari masing-masing kelompok. Bahkan, pada malam terakhir, yakni malam pengumuman penampil terbaik, warga dari wilayah perdesaan rela naik truk dan pick up untuk menonton gelaran yang dihadiri oleh Bupati serta perwakilan pemerintah provinsi dan pemerintah pusat.
Bahkan, pada 15 Juli 2023, Menteri Ekonomi Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, hadir dalam FNRP. Secara khusus Menteri Uno menegaskan bahwa FNRP merupakan bagian dari Top 10 Kharisma Even Nusantara yang diharapkan bisa memajukan kebudayaan dan memberdayakan ekonomi.
Para padagang kaki lima mendapatkan rezeki selama festival berlangsung. Kemeriahan tersebut menegaskan bahwa FNRP merupakan event yang cukup menarik perhatian warga Ponorogo, bahkan dari kabupaten tetangga seperti Madiun, Trenggalek, dan Wonogiri.
Sejak 1993, acara ini telah menciptakan ruang kultural yang mempertemukan keinginan warga untuk mendapatkan hiburan berbasis lokalitas di tengah-tengah modernitas dan kehendak pemerintah kabupaten untuk menjadikan gelaran reyog bermutu dengan estetika dan koreografi yang sudah disesuaikan dengan kepentingan festival sekaligus menjadi destinasi wisata nasional.
Sebagai even yang menjadi kiblat pengembangan reyog di masing-masing daerah, FNRP juga menjadi momen wisata penting yang bisa menggerakkan geliat ekonomi Ponorogo. Hotel, motel, dan guest house penuh di-booking para peserta festival yang rata-rata terdiri lebih dari tiga puluh orang. Tentu saja, kondisi tersebut bisa menambah pendapatan daerah dari sektor pajak. Itulah mengapa, motif kultural bertemu secara lentur dengan motif ekonomi dalam ajang FNRP.
Apa yang tidak bisa diabaikan adalah fakta bahwa segala aturan koreografi sebagai dasar utama penilaian para juri memunculkan masalah di kalangan seniman reyog. Mayoritas seniman reyog sudah terbiasa menggelar pertunjukan untuk menghibur warga yang tengah punya hajatan atau warga yang tengah memperingati hari-hari besar nasional.
Mereka sudah terbiasa dengan gelaran yang tidak terikat aturan penilaian. Alih-alih, mereka mengikuti kebiasaan yang diwariskan nenek-moyang dari waktu ke waktu, sebelum adanya festival. Pada akhirnya, mayoritas peserta yang ikut dalam FNRP adalah kelompok ataupun komunitas yang siap untuk memenuhi kriteria koreografis yang sesuai dengan aturan penilaian.
Untuk mempersembahkan garapan koreografis terbaik, tentu masing-masing kelompok harus menyediakan dana besar untuk proses latihan rutin hingga proses penggarapan yang melibatkan pelatih profesional, baik dari kalangan akademisi maupun dari seniman reyog.
Sementara, para seniman rakyat yang sudah terbiasa dengan gelaran publik dan tidak memiliki cukup biaya, memilih untuk tidak berpartisipasi dalam FNRP. Mereka lebih asyik melestarikan tradisi reyog obyokan dalam banyak gelaran di tengah-tengah rakyat, tanpa panggung megah, tanpa aturan yang membatasi.
Keberadaan festival dan obyokan menarik untuk dibahas secara kritis, khususnya terkait kepentingan yang melatari kedua moda pertunjukan tersebut. Saya berasumsi bahwa ada kontestasi yang dilakukan para seniman rakyat dengan gelaran reyog obyokan. Mereka melakukan narasi tanding atas gelaran reyog festival yang disponsori negara demi memenuhi kepentingan pariwisata yang menghasilkan devisa.
Untuk membahas persoalan tersebut, saya akan menggunakan kerangka teoretis play dan display yang ditawarkan Simatupang (2019). Konsep play menempatkan pertunjukan sebagai struktur estetik dan peristiwa kultural partisipatoris yang mempertemukan seniman dan penonton dalam ruang dinamis, tanpa harus meributkan standar yang mengikat karya kreatif.
Sementara, konsep display menekankan aspek standarisasi dan formalisasi dalam hal pertunjukan sehingga mengurangi aspek partisipatoris.
Selain itu, saya juga akan memperkuat analisis dengan perpsektif kebijakan budaya yang menekankan usaha negara mendesain regulasi yang bisa berkontribusi bagi pengembangan budaya yang menimbang dimensi ekonomi, sosial, budaya dan politik serta dampaknya bagi para seniman, khususnya, dan warga negara, pada umumnya (Mulcahy 2006; Hadley & Belfiore 2018; Mennell 1981; Belfiore 2016; Langsted 1989; Gibson & Edwards 2016; Wise 2002; Banks 2018; Throsby 2010; Craik 2007; Frey 2000; Hesmondhalgh & Pratt 2005; Haans & van Witteloostuijn 2018; Beauregard 2018; Villarroya 2012; Al-Zo'by 2019; Behr, Brennan & Cloonan 2017; Walmsley 2018; Oman 2019; Manchester & Prett 2015; Oancea, Florez-Petour & Atkinson 2018; Belfiore 2018).
Perspektif hegemoni melengkapi kerangka teoretis dalam kajian ini. Grasmci mendefinisikan hegemoni sebagai kekuasaan berbasis moralitas dan kebudayaan yang meminimalisir operasi koersif kelas dominan (Gramsci, 1981; Boggs, 1984; Howson, 2008). Agar mendapat dukungan publik, kelas pemimpin harus mampu memahami dan mengartikulasikan kepentingan kelas subordinat.
Kerangka teoretis tersebut akan saya aplikasikan untuk menganalisis data-data dari penelitian lapangan, baik yang berasal dari wawancara mendalam dengan para seniman maupun observasi terlibat dalam aktivitas-aktivitas kultural di Ponorogo, seperti Festival Nasional Reyog Ponorogo 2023.
Selain itu, data-data sekunder dari sumber internet seperti media online dan blog juga akan saya analisis untuk melengkapi analisis data-data primer. Dari analisis itulah bisa didapatkan temuan kritis tentang kedua model pertunjukan reyog Ponorogo, termasuk kontestasi kreatif dan diskursif serta usaha pemerintah untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dan politik dari dinamika yang berkembang.
Festival: Standardisasi Koreografis dan Kepentingan Pariwisata
Kehadiran festival bukanlah sesuatu yang bersifat ujug-ujug, hadir tiba-tiba. Ide untuk membuat festival berawal dari gelaran reyog di markas Kodam V Brawijaya, Surabaya, pada tahun 1992. Pada waktu itu pemerintah kabupaten Ponorogo diminta menggelar pertunjukan reyog di acara tentara.
Karena harus membuat pertunjukan yang disesuaikan dengan tontonan di atas panggung, maka para seniman diminta untuk membuat karya koreografis reyog tanpa harus kehilangan pakem, tetapi sebisa mungkin bisa menyuguhkan keindahan estetik yang berbeda dari tradisi reyog di masyarakat.
Selain itu, sejak era 1980-an para seniman reyog diminta untuk mengisi panggung hiburan di even Pekan Raya Jakarta (PRJ), sebuah pameran produk-produk industrial dan budaya yang digelar tahunan. Sambutan meriah penonton mendorong pemerintah kabupaten dan para seniman untuk membuat pedoman gerak tari yang digunakan sebagai pedoman dasar.
Mereka menamainya “buku kuning” karena sampulnya berwarna kuning. Meskipun mendapatkan kritik dari para seniman rakyat, para penggagas buku kuning meyakini bahwa pedoman untuk keperluan tari garapan penting agar para seniman memiliki dasar untuk inovasi.
Maka, ketika festival pertama kali diselenggarakan pada tahun 1993, pemerintah kabupaten dan para pelaku reyog yang menyepakatinya menginginkan adanya gelar karya inovatif dari masing-masing kelompok. Meskipun demikian, keinginan inovatif tersebut harus tetap berpijak pada struktur pakem sesuai dengan buku kuning.
Struktur Pertunjukan Festival
Secara umum pertunjukan dalam festival terdiri dari adegan tari Warok, tari Jathil, tari Bujang Ganong, tari Kelana Sewandana, tari Singa Barong, dan tari Iring-iring.
Tari Warok dimainkan pertama kali setelah musik pembuka yang rancak. Dua penari memerakan warok tua/senior dengan mengenakan kumis dan jenggot palsu berwarna putih. Mereka akan melakukan beberapa gerakan sederhana penuh wibawa. Tidak lama kemudian muncul para warok muda dan warok tua dengan telanjang dada dengan mengenakan kumis dan jenggot palsu berwarna hitam.
Mereka melakukan adegan-adegan tari yang menunjukkan kesatria yang gagah. Pada bagian akhir mereka akan menari secara atraktif dengan menggunakan tali kolor putih yang biasa disebut lawe. Tari ini dipersembahkan untuk menghormati sosok warok yang memiliki posisi terhormat di tengah masyarakat Ponorogo karena dikaitkan dengan konsep “wewarah”, memberikan perlindungan dan tuntunan tanpa pamrih kepada warga yang membutuhkan.
Dalam keyakinan masyarakat, warok diposisikan sebagai individu terhormat yang sudah sempurna dalam menjalani hidup, sehingga hanya perlu meningkatkan kapasitas spiritual. Alasan itu pula yang memunculkan tradisi gemblak, seorang lelaki muda yang dipelihara oleh warok.
Tradisi itulah yang dianggap menjadi bukti praktik homoseksualitas di tanah Ponorogo, meskipun ada sebagian pihak yang mengatakan bahwa memelihara gemblak (lelaki muda yang diajak tinggal di rumah warok) adalah bentuk kematangan spiritual para warok karena mereka sudah tidak menghiraukan hubungan seksualitas dengan lawan jenis.
Dengan memelihara gemblak yang melayani diri mereka, para warok menemukan sosok pengganti kualitas feminin dari seorang perempuan. Terlepas dari anggapan tersebut, adegan warog menandakan penghormatan kepada para kesatria yang memiliki keberanian dan kekuatan fisik sekaligus ketenangan batin yang ikut menjaga wilayah Ponorogo.
Itulah mengapa adegan ini diletakkan di fase awal pertunjukan untuk mengantarkan adegan demi adegan yang harus dimainkan dengan penuh keseriusan dan kesungguhan oleh para penari.
Tari Jathil muncul setelah para warok muda perlahan keluar dari panggung. Jumlah jathil perempuan tergantung kebutuhan koreografis masing-masing kelompok; bisa lima jathil, bisa juga dua puluh lima atau bakan lebih. Mereka akan menari dalam formasi dinamis dengan bertumpuh pada gerakan kaki, menyerupai gerakan kaki kuda.
Dalam menari para jathil membawa figur menyerupai kuda yang terbuat dari bambu. Gerakan mereka menggambarkan kelincahan dan ketrengginasan prajurit berkuda. Mereka tidak akan pernah takut oleh apapun, termasuk sesuatu yang membahayakan. Itulah mengapa mereka tidak takut ketika harus menghadapi dadak merak (topeng raksasa berbahan kulit hariamu atau kulit lembu dan bulu merak) sekalipun.
Sampai dengan era 1970-an, penari jathil dalam pertunjukan reyog dalam hajatan warga dimainkan oleh lelaki. Sejak era 1980-an ketika reyog diminta berpartisipasi dalam even Pekan Raya Jakarta (PRJ), para jathil perempuan mulai diperkenalkan.
Dalam ajang festival, para kreator dari masing-masing kelompok akan memaksimalkan garapan tari Jathil berupa formasi spasial dan tambahan gerak tubuh yang berbeda dari kelompok lainnya. Kelincahan dan kedinamisan gerap jathil menjadi alasan untuk memunculkan gerakan-gerakan kreatif dan inovatif, meskipun tidak boleh melenceng sepenuhnya dari pakem.
Maryono (2007: 163) menjelaskan bahwa ketangkasan dan kelincahan gerakan jathil adalah warisan tak terbantahkan dari penyelenggaraan festival. Pada awalnya, gerakan jathil dalam pagelaran reyog di tengah-tengah masyarakat tidak lincah dan cenderung melakukan gerakan-gekaran gemulai.
Perubahan terjadi ketika SMA Negeri Ponorogo pada era 1990-an bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Seni Surakarta mengikuti festival reyog. Gerakan-gerakan koreografis jathil menjadi maskulin: lebih gagah, lincah, dan trengginas. Pola lantai tergarap secara serius sehingga lebih variatif, tidak monoton, lebih enak ditonton dari berbagai arah, lebih tertata secara estetis, dan tidak ada kesan semrawut di atas panggung.
Kedinamisan dan kerancakan gerakan jathil inilah yang mendorong para penonton festival pada era 1990-an merapat ke depan panggung. Meskipun demikian, karena gelaran festival di selenggarakan di atas panggung, penonton tidak bisa berinteraksi dan berpartisipasi secara langsung dengan para jathil.
Adegan tari Bujang Ganong dimainkan oleh dua penari lelaki dengan mengenakan topeng eksentrik. Mereka melakukan gerakan tari dengan karakteristik langkah lebar dengan gerakan tangan cepat dan kepala menoleh ke kanan dan ke kiri. Penari dalam adegan ini juga mengekspos keunggulan mereka dengan melakukan gerakan salto beberapa kali putaran.
Figur bujang ganong menggambarkan tokoh patih muda yang energik, sakti, cerdik, tetapi jenaka. Keunggulan tersebut menunjukkan kombinasi pikiran dan fisik yang luar biasa, sebuah penggambaran manusia ideal. Dalam festival, adegan bujang ganong merupakan tahap untuk unjuk kebolehan dalam gerak-gerak ekstrim. Itulah mengapa tidak jarang pemain silat dilibatkan dalam pertunjukan karena mereka memiliki skill hebat seperti salto dan gerakan sulit lainnya.
Adegan berikutnya merupakan tari paling rumit karena menggambarkan kehadiran seorang raja, Kelana Sewandana. Raja ini melakukan gerakan gagah laksana kesatria, tetapi tidak secepat gerakan warok muda ataupun jathil perempuan. Gerakan-gerakan itu menandakan kondisi psikologis penguasa yang tengah dilanda rindu atau mendamba kehadiran seorang perempuan.
Menurut Suharto, pakar reyog dari Universitas Jember, adegan ini juga menjadi kritik terhadap raja yang berkeinginan melamar Dewi Sanggalangit, sehingga menjadikannya larut dalam urusan cinta sehingga melupakan urusan pemerintahan dan nasib rakyat. Tentu kondisi ini sangat tidak ideal karena keamanan kerajaan menjadi labil dan setiap saat bisa diserang oleh musuh.
Warga Wengker, nama lama Ponorogo, sebagai bagian dari Majapahit tentu tidak ingin melihat kondisi tersebut. Sebagai warga dengan karakteristik ksatria, warga Wengker ingin raja mereka selalu tampak gagah dan kuat serta mampu mengayomi seluruh wilayah dan rakyatnya. Tentu saja, dalam model pertunjukan festival, adegan ini menjadi sajian estetik yang menghadirkan keningratan, meskipun tetap dikritisi secara simbolik.
Tari Singo Barong merupakan adegan yang digemari penonton karena beberapa dadak merak (topeng raksasa terbuat dari kulit kepala harimau dan bulu burung merak) dimainkan oleh para pembarong. Gerakan tari Singo Barong memang sangat terbatas karena para penari harus menggigit topeng raksasa dengan gigi mereka dan memainkannya dengan gagah.
Dibutuhkan kekuatan dan ketangkasan untuk melakukan adegan tersebut. Dalam ajang festival, biasanya, tidak ada syarat ketentuan jumlah, tetapi paling sedikit biasanya peserta membawa dua dadak merak. Kelompok yang ingin tampak gagah dan menawan di atas panggung, biasanya akan membawa dan memainkan dadak merak lebih dari dua.
Bahkan, ada kelompok yang membawa lebih dari dadak merak. Gerakan koreografis yang sering dilakukan adalah pembarong (penari dadak merak) bergerak ke depan serta ke kanan dan ke kiri, menggerak-gerakkan topeng raksasa secara cepat, menekuk punggung seperti orang kayang sehingga dadak merak mengarah ke belakang sampai menyentuh lantai, dan dari adegan kayang kembali berdiri tegak.
Tentu saja, itu semua membutuhkan latihan yang tidak mudah. Kekuatan dan kemampuan para pembarong untuk memainkan topengk raksasa seringkali memunculkan tanda tanya, apakah mereka menggunakan kekuatan magis atau karena semata-mata kuat secara fisik.
Selain gerakan atraktif, menurut Simatupang (2019: 174), apa yang menarik dari adegan Singo Barong adalah tiruan pertarungan antara pembarong dengan jahthil wedok dan Bujang Ganong. Para jathil bersama-sama akan mendekati para pembarong yang tengah berjongkok.
Mereka melempar-lemparkan selendang ke arah pembarong sebagai simbol menggoda dan menguji kesabaran para pembarong. Setelah beberapa saat, para pembarong bangkit untuk mengatasi gangguan tersebut. Maka, adegan atraktif yang menandakan pertarungan berlangsung untuk beberapa saat lamanya.
Tidak lama kemudian, penari bujang ganong terlibat dalam adegan tari dengan cara mengganggu Singo Barong. Pertarungan ini berakhir dengan kedatangan Prabu Kelana Suwandana yang mengeluarkan dan memainkan cambuknya.
Adegan terakhir dari gelaran festival adalah Iring-iring di mana Prabu Kelana Sewandana memimpin jathil, bujang ganong, singo barong, dan warok. Tarian ini tidak lagi menonjolkan gerakan rancak, atraktif, dan dinamis seperti pada adegan-adegan sebelumnya. Sebagai adegan penutup, para penari memberikan hormat kepada dewan juri dan seluruh penonton.
Gerakan ini sekaligus menegaskan bahwa ada etika panggung yang harus dihormati oleh para seniman reyog karena semua yang mereka lakukan dinilai oleh tim juri. Maka, festival selain memberikan peluang untuk melakukan inovasi koreografis dengan tetap memperhatikan pakem yang dikehendaki oleh pemerintah kabupaten Ponorogo, juga memunculkan batasan-batasan pertunjukan yang terkait etika demi azas kepatutan.
Struktur pertunjukan reyog festival dari awal hingga akhir memang bisa menjadikan kesenian rakyat ini sebagai tontonan qualified karena melibatkan para kreator dan intelektual untuk kepentingan kreativitas dan penilaian. Ribuan orang pun berkumpul, menikmati selebrasi koreografis yang dianggap pantas dan layak digelar untuk publik.
Namun, bagi beberapa seniman tua yang sudah mengalami peristiwa budaya reyog dari era kepemimpinan Sukarno hingga saat ini, kemegahan FNRP tidak mampu membuat mereka bangga. Beberapa seniman reyog senior dari Kecamatan Sawoo mengatahkan bahwa kemegahan dan kemeriahaan pertunjukan festival reyog di era 2000-an memang patut diapresiasi.
Banyak kelompok reyog dari luar Ponorogo yang hadir dan menyuguhkan hasil kreativitas mereka. Namun, kemeriahan itu seperti kurang “nggetih”, karena kegiatan seninya ditujukan demi mendapatkan juara.
Sementara, pada pertunjukan reyog yang biasa dilakukan pada era kepemimpinan Sukarno, misalnya, benar-benar membawa semangat kerakyatan karena di gelar di tengah-tengah masyarakat serta tidak membuat jarak antara seniman dan penonton. Pada waktu itu, para seniman juga tidak terlalu merisaukan honor dari pertunjukan.
Lebih dari itu, penyelenggaraan festival reyog juga membuat aturan-aturan koreografis yang membatasi para seniman rakyat untuk berpartisipasi.
Festival dan Kepentingan Pariwisata
Kehadiran festival yang menjadi bagian dari ritual Grebeg Suro tidak bisa dilepaskan dari kebijakan Pemerintah Kabupaten Ponorogo di masa Orde Baru untuk memaksimalkan potensi kesenian sebagai bagian dari aktivitas pariwisata yang bisa mendatangkan dan meramaikan kota yang tidak terlalu besar ini.
Pada awalnya, pemerintah mengadapakan festival untuk kelompok reyog di Ponorogo. Karena animo kelompok reyog di luar Ponorogo, sejak 1995, festival reyog ditingkatkan levelnya menjadi “nasional.”
Menurut Rismayanti et.al (2017: 3771), dasar penyelenggaraanya adalah Undang-undang Dasar 1945, Pasal31, Undang-undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah, Keputusan Bupati Ponorogo Nomor 63 Tahun 1987 tentang Tim Wisata Kabupaten Ponorogo, dan Keputusan Bupati Ponorogo Nomor 430/9/417.14 Tahun 1995 tentang Organisasi Peringatan Grebeg Suro 1995.
Tradisi masyarakat untuk meramaikan Grebeg Suro dilengkapi dengan festival yang bisa mendatangkan kelompok-kelompok reyog dari dalam dan dari luar Ponorogo. Selain menghibur masyarakat Ponorogo dengan kesenian khas mereka yang sudah disesuaikan untuk kepentingan lomba, kedatangan peserta festival dan penonton dari luar Ponorogo merupakan momen untuk menggerakkan roda perekonomian Ponorogo, khususnya dari bisnis penginapan, kuliner, dan kerajinan.
Untuk melengkapi kepentingan ekonomi tersebut, rezim pemerintah Orde Baru juga mengkampanyekan bahwa event festival bisa menjadi aktivitas untuk melestarikan kesenian tradisional.
Pemahaman tersebut bertransformasi hingga era pascareformasi di mana sistem ekonomi pasar semakin menguat dan menempatkan produk budaya tradisional sebagai material untuk dikomodifikasi dan dijadikan produk komersil yang memperkuat industri budaya dan industri pariwisata.
Pelestarian budaya lokal menjadi bagian penting untuk menyediakan materi residual dari masa lalu yang akan memuaskan kerinduan eksotis para wisatawan. Dengan demikian, kebijakan untuk pelestarian kesenian lokal seperti reyog sebenarnya bukan lagi semata-mata untuk kepentingan ekonomi para seniman dan pemertahanan kesenian di tengah perubahan sosial yang semakin cepat.
Lebih dari itu, terdapat motif ekonomi yang dijalankan oleh pemerintah kabupaten, provinsi, dan pusat, khususnya untuk memndapatkan pemasukan dari selebrasi budaya. Kebjakan budaya yang dilandasi kepentingan ekonomi, bukanlah sesuatu yang baru.
Secara nasional, kebijakan pemerintah kabupaten Ponorogo untuk mem-festival-kan reyog bisa dikatakan sejalan dengan kebijakan budaya pemerintah pusat yang beorientasi pariwisata, tetapi tetap mempertahankan ekspresi tradisional yang bisa memperkuat karakter bangsa dan berkontribusi untuk aktivitas perekonomian.
Secara internasional, banyak negara maju dan berkembang yang menempatkan nilai, praktik, dan produk budaya sebagai komponen utama kebijakan untuk mendapatkan keuntungan ekonomis yang berdampak bagi peningkatan kesejahteraan pelaku budaya dan warga negara serta pajak untuk pemerintah.
Ironisnya, terdapat sebagian akademisi yang begitu saja menyebarluaskan signifikansi kebijakan budaya seperti festival nasional reyog tanpa berani mengkritisi dominasi kepentingan ekonomi yang berdampak pada bergesernya pertunjukan reyog. Apa yang saya maksudkan sebagai pergeseran adalah bergesernya karakteristik reyog sebagai bentuk budaya rakyat.
Bagaimanapun juga, kehadiran reyog tidak bisa dilepaskan dari tradisi kecil di tengah-tengah rakyat Ponorogo yang diwarisi dan dilestarikan secara turun-temurun. Para pelaku reyog, baik pembarong, jathil, maupun bujang ganong terbiasa menggelar pertunjukan di ranah publik.
Masyarakat pun seolah tanpa sekat; mereka biasa mengitari arena pertunjukan reyog tanpa panggung sehingga interaksi antara penonton dan penari seringkali terjadi. Karakteristik itulah yang menjadikan reyog rakyat benar-benar bisa membaur dengan para penikmatnya; tanpa harus mengikuti aturan dan pakem yang membatasi interaksi reyog dengan publik penikmatnya sebagai pewaris pasif.
Pembakuan pakem dan pengetatan aturan koreografis, jelas sekali, menjadi kekuatan ideologis yang tidak memberikan peluang berlangsungnya “keliaran” selama pertunjukan berlangsung. Meskipun demikian, pemerintah kabupaten secara resmi tetap memosisikan FNRP sebagai kekuatan strategis yang berkontribusi terhadap pelestarian budaya lokal dan budaya bangsa serta mendatangkan keuntungan ekonomi.
Kalau diperhatikan lebih kritis lagi, Pemkab Ponorogo pascareformasi sebenarnya masih menggunakan tujuan ideal rezim Orde Baru dalam menjalankan kebijakan budaya terkait reyog.
Dalam buku panduan FNRP 2017, misalnya, disebutkan beberapa tujuan penyelenggaraannya. Pertama, sebagai salah satu usaha untuk melestarikan dan mempromosikan reyog sebagai kasanah budaya yang mendukung budaya nasional di tengah-tengah globalisasi dan modernisasi.
Kedua, meningkatkan fungsi seni daerah sebagai penangkal masuknya budaya asing yang tidak sesuai dengan nilai adiluhung bangsa Indonesia. Ketiga, mengembangkan kreativitas seniman dalam menciptakan karya seni yang lebih bermutu. Keempat, menciptakan dampak positif bagi masyarakat Ponorogo melalui aktivitas festival yang menopang industri pariwisata.
Kalau kita komparasikan dengan kebijakan budaya rezim Orde Baru, maka titik temunya adalah pada pelestarian, budaya bangsa, dan pariwisata. Sekali lagi, hal ini menegaskan betapa pengaruh hegemonik kebijakan budaya di era Suharto masih begitu kuat hingga saat ini. Apa yang tampak kemudian adalah kurangnya kreativitas dalam kebijakan budaya.
Sebagian akademisi ikut mengkampanyekan wacana-wacana ideal terkait penyelenggaraan FNRP sebagaimana dikonstruksi oleh pemerintah kabupaten. Artinya, para akademisi cenderung merepetisi dan mereproduksi formasi wacana yang mendukung penyelenggaraan FNRP dengan menekankan tujuan-tujuan kulturalnya.
Muryono (2007: 168), misalnya, mengatakan bahwa reyog kemasan merupakan salah satu atraksi wisata seni dalam upaya pelestarian budaya dan sebagai penopang pengembangan bidang pariwisata. Dengan sangat gamblang, konstruksi diskursif tersebut menegaskan reyog yang dikemas dalam ajang festival secara ideal diposisikan sebagai bentuk pelestarian budaya tradisional dan kekuatan penting dalam industri pariwisata.
Dengan nada serupa Rismayanti et.al (2017: 3772) berargumen bahwa makna-makna simbolik dalam pertunjukan reyog dalam FNRP bisa digunakan untuk materi pendidikan karakter bagi siswa. Pendidikan karakter itu terkait dengan religiusitas melalui gamelan. Kerja keras, demokrasi, nasionalisme, kedamaian, dan tanggung jawab diajarkan melalui bermacam gerak tari dan perlengkapan yang dibutuhkan selama pertunjukan reyog.
Dalam argumen yang meyakinkan, Achmadi (2014: 20-21) mengungkapkan bahwa nilai-nilai kesenian reyog dapat berkontribusi terhadap penegakan empat pilar berbangsa (Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, UUD 1945, dan NKRI) dan bernegara melalui nilai patriotisme yang terungkap dalam diri warok.
Penguatan ‘Empat Pilar’ terungkap dalam kesesuaian antara nilai-nilai kesenian reog Ponorogo dengan nilai-nilai Pancasila, yaitu: a) nilai kepercayaan berkesesuaian dengan nilai ketuhanan, b) nilai kepribadian berkesesuaian dengan nilai kemanusiaan, c) nilai hiburan dan pertunjukan berkesesuaian dengan nilai persatuan, d) nilai sosial (rukun) berkesesuaian dengan nilai kerakyatan, e) nilai kesejarahan dan kelestarian berkesesuaian dengan nilai keadilan.
Tentu saja, tafsir tersebut sah-sah saja, meskipun disesuaikan dengan kepentingan kampanye pendidikan karakter yang sedang dikampanyekan pemerintah. Hal itu sekaligus menegaskan bahwa peneliti yang terhegemoni wacana ideal rezim negara cenderung mentransformasinya ke dalam konsep yang tetap saja terhubung dengan perluasan formasi wacana yang dikehendaki negara.
Lebih jauh lagi, semua dukungan untuk perluasan diskursif “pelestarian budaya” akan menjadikan kepentingan ekonomis dan praktik komodifikasi reyog tampak wajar dan memang seharusnya seperti itu.
Dukungan para akademisi, setidaknya, memperkuat kehendak pemerintah kabupaten Ponorogo untuk memperbesar FNRP dari tahun ke tahun sebagai ajang kompetisi kesenian yang berdimensi pelestarian dan pariwisata.
Dampak positif dalam bidang pelestarian dan aktivitas pariwisata serta kampanye luas yang dilakukan pemerintah kabupaten Ponorogo menjadikan banyak stake holder, baik pemerintah maupun swasta untuk berkontribusi pada penyelenggaraan FNRP.
Tahun 2019, pemerintah kabupaten Ponorogo, selain dari sponsor swasta seperti bank BUMN, juga mendapatkan tambahan dana dari Platform INDONESIANA yang bernaung di bawah Direktorat Jendral Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Sokongan dana tersebut menjadikan panitia bersama FNRP mendesain pagelaran yang semakin meriah. Alun-alun Ponorogo meriah dengan hadirnya ratusan pedakang kaki lima dan ribuan warga yang menonton tampilan demi tampilan dari 36 grup. Di sela-sela festival juga dilaksanakan pameran kerajinan serta diskusi tentang permasalahan dan pengembangan reyog.
Pemkab Ponorogo menyadari potensi besar FNRP untuk kepentingan ekonomi pariwisata. Maka, ketika ada pihak yang ingin menghentikan pergelaran tersebut, pada tahun 2019, Bupati Ipong dengan tegas menolaknya.
Lebih jauh lagi, dalam acara Jagongan Budaya di Rumah Dinas Bupati Ponorogo, 30 Agustus 2019, Bupati Ipong memaparkan bahwa kegiatan pelestarian akan terus diselenggarakan, tetapi dengan fokus spesifik, misalnya workshop khusus untuk tukang kendang, tukang tiup slompret, dan pembarong.
Alasanya sederhana, regenerasi ketiga jenis seniman reyog tersebut bisa dibilang lambat, sehingga tidak cukup banyak seniman yang bisa memainkannya. Keahlian memukul kendang, meniup slompret, dan memainkan dadak merak memang tidak mudah. Itulah yang menjadikan tidak banyak seniman yang menekuninya.
Tidak heran, FNRP digelar, tukang kendang, tukang slompret, dan pembarong menjadi seniman yang paling capek karena bisa terlibat dalam beberapa kelompok. Realitas inilah yang mendorong Ipong ingin membuat workshop yang mengundang para seniman dari dalam maupun luar Ponorogo.
Tentu saja, kegiatan tersebut konstruktif karena memberikan peluang untuk pengembangan para seniman secara individual yang bisa berdampak positif buat kelompok. Namun, di sisi lain, keberhasilan program tersebut akan menopang proyek pelestarian reyog yang berimplikasi pada kemeriahan FNRP.
Selain tujuan pelestarian, kepentingan ekonomi pariwisata, diakui atau tidak, merupakan pendorong utama diselenggarakannya FNRP dan festival turunannya seperti Festival Reyog Mini (FRM). Aktivitas pariwisata dipandang sebagai kekuatan ekonomi baru yang bisa berdampak pada peningkatan income ke pemerintah kabupaten dan, tentu saja, masyarakat.
Untuk menggenjot sektor tersebut, pemerintah kabupaten mencanangkan tahun 2019 sebagai “Tahun Wisata”. Pada 22 Desember 2018, Bupati Ipong melakukan soft launching “Tahun Wisata” sessuai dengan Rancangan Pembangunan Jangkah Menengah (RPJM) Kabupaten Ponorogo.
Masyarakat diharapkan ikut mempromosikan kekayaan wisata dan budaya lokal semaksimal mungkin. Setiap warga bisa menjadi promotor alias pelaku promosi pariwisata untuk menghadirkan para pelancong berkunjung ke Bumi Reyog. Bermacam atraksi dan destinasi wisata disiapkan.
Tentu saja FNRP menjadi salah satu kegiatan unggulan untuk mendukung target kunjungan 1 juta wisatawan ke Ponorogo, selain wisata alam Telaga Ngebel yang cukup mempesona. Selain itu, selama 2019, pemerintah kabupaten menyiapkan 85 event wisata yang siap memanjankan para wisatawan, baik mancanegara maupun domestik.
Keseriusan untuk menyiapkan event menegaskan bahwa pemerintah kabupaten Ponorogo benar-benar ingin mendapatkan keuntungan ekonomi secara maksimal mungkin dari seluruh even wisata.
Kesiapan dan keseriusan pemerintah kabupaten Ponorogo untuk menyukseskan hajatan pariwisata mendapatkan apresiasi dari para pejabat terkait di pemerintah pusat. Pemkab Ponorogo sangat responsif dan peka membaca potensi dan kekuatan daerahnya. Setiap bulan ada banyak even yang ditawarkan kepada wisatawan.
Even-even tersebut sangat memanjakan wisatawan. Terdapat beragam warna budaya khas Ponorogo yang disajikan. Inilah warna asli Ponorogo yang eksotis.
Pemerintah dan masyarakat Ponorogo selalu menyelipkan pelestarian budaya lokal. Kreativitas menjadi kata kunci keberhasilan kabupaten ini untuk menjadikan konsep tradisional sebagai komoditas dengan value tinggi. Memang, dari prinsip wisata, banyaknya even yang ditawarkan Ponorogo menjadi momentum terbaik penarik wisatawan.
Sebab, pariwisata Indonesia membidik kunjungan wisatawan dalam jumlah besar tahun ini. Dengan adanya inisiatif dari daerah, kami optimistis target 20 Juta wisatawan mancanegara akan tercapai.
Kesepahaman antara Pemkab Ponorogo dan para pejabat terkait dari puat menegaskan bahwa aktivitas-aktivitas kultural berbasis reyog ataupun kekayaan budaya lainnya menjadi material utama untuk dikomodifikasi besar-besaran untuk kepentingan pariwisata.
Logika bisnis dalam pariwisata berbasis budaya diidealisasi akan memberikan tambahan penghasilan melalui bermacam industri jasa yang disiapkan, baik oleh swasta maupun warga kebanyakan.
Logika ini memang menjadi formula hegemonik yang mendorong banyak pemerintah daerah di Indonesia, sepertihalnya Ponorogo, mengeksploitasi, mentransformasi, dan mengkomodifikasi kekayaan budaya dan keindahan alam untuk mewujudkan impian ekonomi dari kedatangan wisatawan.
Pelestarian, dengan demikian, bukan lagi menjadi konsep utama dari semua aktivitas kebudayaan yang telah dikomodifikasi. Alih-alih, wacana pelestarian adalah pendukung utama bagi usaha-usaha wisata yang memanfaatkan keragaman budaya dan kecantikan alam.
Motivasi utama untuk mendapatkan manfaat ekonomi dari even FNRP menjadikan reyog tidak bisa dilepaskan dari praktik komodifikasi yang dilakukan oleh pemerintah dan stake holder lain. Mobilisasi wacana pelestarian tidak lain merupakan usaha untuk menjadikan keutamaan reyog sebagai salah satu penopang aktivitas pariwisata.
Maka, semua nilai adiluhung menjadi pelengkap bagi gerakan untuk mengkomodifikasi reyog dalam mekanisme pasar pariwisata. Sekali lagi, apa yang terjadi hari ini dengan kesenian reyog dalam even festival merupakan kelanjutan dari usaha pemerintah Orde Baru untuk menertibkan dan menjadikannya atraksi wisata.
Murdianto An Nawie (2019; 2016) memaparkan bahwa di era pemerintahan Orde Baru reyog dibersihkan dari unsur subversif dan dijadikan pengisi etalase 'pasar pariwisata' serta sebagai dikampanyekan sebagai aset kebudayan nasional. Kesenian reyog sangat terbuka oleh kreasi-kreasi baru yang dibuat oleh konco reyog sendiri, dan pada era Orde Baru dikenang dimana reyog diangkat dari kesenian jalanan (reyogan) dan naik ke panggung pertunjukan.
Sejak itulah reyog mulai bergeser dari permainan rakyat, menjadi komoditas pariwisata. Era pascareformasi logika reyog sebagai komoditas dan aset pariwisata nasional, makin menguat.
Reyog juga ditahbiskan menjadi ‘penanda’ identitas Ponoragan dan program pengembangan pariwisata berbasis kesenian reyog secara rutin di gelar. Dalam situasi ini reyog harus mengikuti logika bisnis, menjadi layaknya barang atau jasa yang ditawarkan pada konsumen dari industri wisata.
Pernyataan kritis akademisi di INSURI dan Pengurus Dewan Kesenian Ponorogo ini menegaskan bahwa gelaran festival reyog merupakan bentuk inkorporasi dan komodifikasi yang dilakukan negara sejak era Orde Baru hingga era pasca Reformasi.
Kesenian rakyat yang biasanya digelar di jalanan ini dihadirkan dalam panggung festival dengan aturan-aturan ketat serta disesuaikan dengan kepentingan pasar pariwisata. Reyog menjadi pengisi etalase budaya yang dipamerkan kepada para wisatawan, baik domestik maupun mancanegara.
Inilah asal-muasal penghilangan nilai-nilai ideologis dari reyog sebagai kesenian subversif yang mewarisi semangat perlawanan rakyat Ponorogo terhadap kekuatan dominan di tanah mereka. Kesenan reyog menjadi komoditas yang digunakan untuk memuaskan hasrat eksotis para wisatawan ataupun hasrat tradisional warga Ponorogo sembari diarahkan untuk kepentingan komersil.
Tentu saja, kebijakan ini juga memberikan keuntungan politik bagi pemerintah karena residu komunisme bisa dihilangkan dari kesenian yang pada masa awal kemerdekaan hingga kepemimpinan Sukarno dengan dengan PKI.
Kebijakan untuk mem-festival-kan reyog secara meriah di era pasca Reformasi juga sejalan dengan penguatan proyek identitas di tengah-tengah globalisasi kultural. Proyek identitas berbasis reyog semakin diperkuat di tengah-tengah usaha untuk terus memasarkan reyog sebagai penarik wisatawan.
Obyokan: Kontestasi Kreatif dalam Semangat Kerakyatan
Meskipun FNRP selalu membuat kota Ponorogo ramai dengan kehadiran para peserta dan penonton, banyak pula seniman yang sebenarnya bersikap acuh tak acuh. Walaupun mereka tidak pernah menunjukkan secara langsung sikap mereka, dari bermacam obrolan saya mendapatkan informasi bahwa kekurangsenangan tersebut memang tidak melahirkan protes atau demonstrasi secara terbuka.
Sebagai manusia-manusia Jawa yang tidak suka reaksi frontal terkait permasalahan dalam kehidupan sosial, para seniman tersebut memilih untuk meneruskan karya di tengah-tengah masyarakat. Mereka tidak menolak keberadaan FNRP, sekaligus tidak pernah melarang para seniman yang hendak berpartisipasi.
Menurut saya, inilah kedewasaan sikap para seniman reyog dalam menyikapi perbedaan pendapat yang berkembang. Salah satu bentuk kritik kreatif yang mereka kembangkan adalah menamai pertunjukan reyog di tengah-tengah gelanggang rakyat “reyog obyokan”. Reyog obyokan sebenarnya adalah pertunjukan yang umum dilakukan ketika sebuah kelompok pentas di keluarga yang punya hajatan atau di acara bersih desa serta peringatan hari kemerdekaan RI.
Menurut Jarkasih, seorang seniman reyog asli Ponorogo yang kini berdomisili di Jember, istilah obyokan sendiri mulai populer di kalangan seniman reyog dan masyarakat Ponorogo sejak tahun 1995 ketika semakin banyak grup yang mempertontonkan model pertunjukan yang berbeda dari pakem festival dan, ternyata, mendapatkan sambutan cukup baik dari masyarakat.
Sebelum istilah ini terkenal, para seniman reyog senior di Ponorogo sudah memulai terlebih dahulu untuk membuat karya kreasi dalam pertunjukan reyog, khususnya yang melibatkan jathil perempuan. Beberapa seniman seperti Hadi, (alm) Upar, Jito, dan Toyib, tahun 1985 hingga 1990, menciptakan tari jathilan yang memadukan tari pakem dengan iringan musik yang dilengkapi lagu.
Kreasi baru tersebut bertujuan memberikan pertunjukan jathil yang tidak monoton dan tidak menjenuhkan. Kreasi ini juga menjadi penanda penting beralihnya adegan tari jathil yang biasa dilakukan oleh penari lekaki menjadi penari perempuan.
Semakin ke sini, tradisi reyog obyokan menjadi semakin populer dan dicintai warga Ponorogo, meskipun muncul stereotipisasi negatif terkait adegan yang melibatkan jathil perempuan.
Tatanan koreografisnya berbeda dengan reyog festival; tidak ada adegan Warok, Kelana Suwandana, dan Iring-iring. Adegan utama dari reyog obyokan adalah Dadak Merak, Jathil, dan Bujang Ganong dengan memasukkan musik dangdut dan campursari.
Pertunjukan yang Lebih Terbuka
Menurut tradisi di Ponorogo, sebelum digelarnya festival, pertunjukan reyog melibatkan 3 babak, yakni: arak-arakan, iker, dan obyok. Fase arak-arakan dilaksanakan di jalan desa, di mana semua seniman reyog dari sebuah grup berjalan bersama menuju lokasi pertunjukan. Di sepanjang perjalanan, mereka menyapa para warga.
Di tempat-tempat tertentu, seperti perempatan atau pertigaan, jathil dan pembarong akan menggelar atraksi untuk menghibur para warga di pinggir jalan. Atraksi itulah yang disebut iker. Setelah beberapa saat atraksi, mereka akan melanjutkan perjalanan menuju tempat pertunjukan utama, biasanya berada di sebuah tanah lapang.
Di tempat itulah adegan demi adegan tari dan musik akan disuguhkan kepada ratusan penonton yang mengelilingi arena pertunjukan. Konsep pertunjukan yang menampilkan adegan-adegan tari non-pakem festival bersama-sama dengan musik populer itulah yang dinamakan obyokan; bersama-sama, tetapi masih bisa dikenali karakteristik masing-masing adegan.
Adegan Dadak Merak, Bujang Ganong, dan Jathil ditampilkan secara bergantian dengan gerakan-gerakan yang lebih bebas. Iringan musik reyog yang disesuaikan dengan lagu-lagu dangdut, campursari, dan Banyuwangian populer menjadikan reyog obyokan menyuguhkan gelaran yang lebih dinamis, lentur, dan terbuka.
Salah satu adegan yang digemari oleh penonton adalah tari Jathil. Beberapa jathil cantik berusia muda menjadi magnet tersendiri sehingga penonton segala usia betah untuk menonton dari awal hingga akhir pertunjukan. Apa yang menarik adalah adegan para jathil menari dengan tubuh lemah gemulai ketika seorang jathil menyanyi.
Jadi, bisa dikatakan para jathil tidak hanya menyuguhkan gerakan-gerakan atraktif, rancak, dan maskulin yang merepresentasikan kesigapan mereka sebagai prajurit yang siap berperang, sebagaimana diidealisasi dalam pakem reyog festival. Sensualitas gerak yang dihadirkan para jathil ini berbekebalikan dengan pakem jathil dalam festival, sehingga memiliki makna yang berbeda pula secara kontekstual.
Gerakan tubuh yang lambat dengan liukan-liukan sensual tubuh bagian atas hingga tubuh bagian bawah penari memang memunculkan makna feminin yang menggoda tatapan lelaki. Pada makna sensual adegan jathil inilah model reyog obyokan mendapatkan energi dan kekuatan untuk menarik perhatian masyarakat.
Meskipun demikian, apa yang harus dicatat adalah bahwa adegan tersebut tidak dilakukan secara terus-terusan, dari awal hingga akhir pertunjukan. Seringkali, adegan yang melibatkan para jathil cantik diselingi dengan canda-tawa bersama bujang ganong.
Sebagai model pertunjukan yang merdeka dari pakem festival, kecantikan dan sensalitas gerak para penari jathil serta kemampuan akrobatik para bujang ganong dan pembarong menjadi kekuatan koreografis jalanan dari reyog obyokan. Namun, itu saja tidak cukup. Adegan-adegan yang mempertemukan para jathil dengan pembarong dan bujang ganong menjadi atraksi yang ditunggu-tunggu penonton.
Para pembarong, masih mengenakan topeng raksasanya, misalnya, akan membentangkan kedua tangan sambil menghadap ke arah jathil. Saat itulah, seorang jathil akan segera melakukan edreg (langkah-langkah kecil dan cepat). Biasanya, pembarong akan menyundul bokong si penari jathil dengan hidung harimau yang ada di bagian depan topeng raksasa.
Adegan ini membuat penonton bersorak-sorai, memberikan dukungan kepada si pembarong. Tidak jarang pula, setelah melepas dadak merak yang ia kenakan, pembarong akan menyundul bokong jathil dengan kepalanya sendiri. Bahkan, ada pula adegan di mana bujang ganong yang masih berusia anak-anak meminta jathil perempuan untuk menari di hadapannya.
Tidak jarang si bujang ganong anak-anak melakukan adegan seolah-olah ia ingin menyentuh bagian tubuh, seperti pantat jathil perempuan. Melihat adegan ini, penonton bersorak gembira. Memang, di bujang ganong anak-anak tidak jadi menyentuhnya, tetapi adegan tersebut tetap saja menegaskan erotisisme.
Struktur pertunjukan yang cenderung terbuka dan bebasa itulah yang menjadikan reyog obyokan seringkali diposisikan tidak sesuai dengan pakem sebagaimana dikonstruksi dalam festival. Sutejo, seorang dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Kependidikan dan Keguruan (STKIP) PGRI Ponorogo (dikutip dalam Astro, 2015), misalnya, berargumen, reyog obyokan adalah realitas yang berkembang di masyarakat bawah.
Reyog obyokan terkadang mirip kayak campursari. Pakai lagu-lagu pesanan. Jathil menjadi fokusnya, seperti sinden. Mereka tidak mikir dengan konsep pembakuan tari reyog yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Pembakuan hanya di panggung festival, sedangnkan di masyarakat justru hidup yang lebih adaptif dengan kreasi dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat bawah.
Sama dengan Bahasa Indonesia, ada yang baku, namun praktiknya, kan menggunakan secara bebas. Ini memang menjadi dilema. Kalau diakomodasi, nanti dikhawatirkan akan merusak pakem dan filosofi dari cerita reog. Sementara di sisi lain, masyarakat memandang dari aspek hiburan dan meriahnya saja, tidak peduli dengan pakemnya.
Pemunculan istilah “masyarakat bawah” mengindikasikan sebagai realitas pertunjukan, model obyokan berkaitan dengan selera rakyat kebanyakan yang secara sosial dianggap bermutu rendah. Hal itu disebabkan karena para seniman obyokan tidak mengindahkan “pembakuan tari reyog” yang dibuat oleh pemerintah daerah.
Tentu saja, apa yang dilakukan oleh mereka tidak menjadi masalah terlalu serius karena masyarakat kebanyakan bisa menerima, bahkan lebih bisa menikmati gelaran reyog obyokan yang tidak memberikan batasan berupa panggung megah.
Pada akhirnya, konsep pakem memang menjadi permasalahan tersendiri karena pertunjukan yang dianggap sesuai dengan estetika standar adalah pertunjukan ala festival di mana para seniman memiliki acuan yang jelas untuk karya mereka. Padahal kalau ditelisik lagi, reyog sejak awal perkembangannya tidak mengenal pakem seperti dalam festival.
Pakem tersebut diciptakan oleh pemerintah kabupaten di era Orde Baru dan terlanjur disetujui dan disebarluaskan oleh para seniman reyog yang bersepakat dengan rezim. Artinya, pakem itu sebenarnya diimposisikan berdasarkan kesepakatan elitis yang melibatkan para seniman dan aparat negara.
Kuasa rezim untuk mengkampanyekan pakem reyog festival kepada publik menjadikan banyak seniman yang akhirnya menerimanya, meskipun dengan keterpaksaan.
Maka, ungkapan bahwa “akomodasi reyog obyokan dikhawatirkan akan merusak pakem dan filosofi cerita reyog” merupakan usaha untuk memperkuat kebenaran pakem ala pemerintah dan menjadikan struktur pertunjukan ala seniman rakyat sebagai liyan atau yang layak dimarjinalisasikan.
Sementara, sorotan yang lebih keras diberikan kepada realitas sensualitas dan erotisisme yang melibatkan jathil dalam pertunjukan obyokan. Sebenarnya, aspek erotisisme bukanlah hal baru dalam pertunjukan kesenian rakyat di Jawa dan Nusantara.
Namun, bagi orang-orang yang mengedepankan paradigma moralitas dan ketertiban sosial, adegan erotis jathil diposisikan sebagai realitas estetik yang merusak pakem dan keluhuran reyog. Deffi Annas, salah satu penulis blog, mengatakan bahwa sekarang reyog telah kehilangan pakemnya.
Ia menganggap sekelompok seniman telah mengubah kesenian yang memiliki nilai rohani yang tinggi menjadi kesenian yang hanya untuk bersenang-senang saja. Reyog kini menjadi ajang mabuk-mabukan dan unjuk kemolekan para jathilnya. Jathil yang seharusnya memakai kostum pakem dan menggunakan eblek kini berubah memakai kebaya yang ketat dan transparan dan tidak mengenakan eblek.
Gerakannya pun sudah berbeda yang seharusnya energik karena menggambarkan seekor kuda yang berperang melawan singo barong kini gerakannya lemah gemulai dan berlenggak lenggok di depan pembarong. Tak jarang, para jathil menari dengan penonton untuk mendapatkan saweran.
Bahkan yang paling parah akhir-akhir ini muncul jathil cilik yang masih berusia diwabah 6 tahun yang berlenggak-lenggok di depan pembarong sama seperti halnya jathil dewasa. Selain itu sering kali terjadi adu fisik antar penonton maupun pemain untuk mendapatkan tarian dari jathil.
Pernyataan-pernyataan yang dilontarkan Annas merupakan kritik tajam karena berusaha menelanjangi aspek-aspek yang dianggap cukup buruk dari pertunjukan obyokan. Mengulangi persoalan pakem, tuduhan bahwa reyog obyokan sudah kehilangan pakem merupakan kampanye negatif yang sekaligus membenarkan pakem yang dibuat pemerintah dalam rangka festival reyog.
Sekali lagi, kritik tajam ini merupakan bentuk penegasan bahwa berbicara pakem reyog yang paling benar adalah standar estetik koreografis dan pertunjukan yang dibuat oleh segelintir pakar berdasarkan pesanan pemerintah di era Orde Baru.
Maka, apa-apa yang dilakukan para seniman obyokan dengan menggelar pertunjunkan non-pakem diposisikan sebagai tindakan negatif karena “mengubah” kesenian yang “memiliki nilai rohani tinggi”menjadi kesenian untuk “bersenang-senang”, “mabuk-mabukan”, dan “unjuk kemolekan tubuh jathil.”
Tuduhan semacam itu adalah bentuk kepanikan moral penulis dan sebagian pihak dalam menghadapi dinamika pertunjukan reyog obyok yang merupakan kritik terhadap pembakuan pakem ala festival.
Dengan hanya menyampaikan realitas keburukan selama pertunjukan berlangsung, ia menegasikan realitas lain seperti kegigihan untuk terus mempertahankan reyog sebagai budaya yang dicintai rakyat, perjuangan untuk regenerasi yang melibatkan anak-anak, kaum remaja, dan kaum muda, serta dampak ekonomi yang dirasakan oleh para seniman.
Mengikuti perspektif Hall (1997), usaha untuk mengungkap semata-mata aspek keburukan pertunjukan obyok merupakan stereotipisasi yang bertujuan memarjinalkan reyog model ini dari kehidupan kultural dan sosial masyarakat. Yang mengerikan adalah ada usaha untuk menunjukkan ke publik bahwa pertunjukan obyokan tidak lebih dari pembiaran terhadap hal-hal buruk yang bisa menghancurkan citra reyog itu sendiri.
Stereotipisasi reyog obyok sebagai model pertunjukan berwarna negatif memiliki dimensi kuasa yang membenarkan satu standar saja dan menjadikan standar lain sebagai kesalahan dan kekeliruan yang berdampak pada penyelewengan dan pengkhianatan terhadap kebenaran yang selama ini disepakati bersama.
Konstruksi wacana tersebut tentu saja berkelindan dengan keinginan pemerintah kabupaten Ponorogo untuk menetapkan pakem festival sebagai standar baku. Meskipun demikian, reyog obyok tetap menjadi pertunjukan populer di tengah-tengah masyarakat Ponorogo.
Stereotipisasi yang memosisikan para jathil sebagai subjek erotis nyatanya tidak menyurutkan minat warga untuk nanggap dan menonton pertunjukan obyokan. FNRP hanya dilaksanakan sekali dalam setahun, sementara pertunjukan obyokan bisa dilaksanakan berkali-kali.
Repsons Pemerintah: Inkorporasi Obyokan
Menanggapi ketenaran reyog obyok, pemerintah rupanya tidak tinggal diam. Mereka juga tidak ingin membiarkan gairah budaya yang meningkat di tengah-tengah masyarakat menjadi gerakan liar. Di masa pemerintahan Bupati Ipong, Pemkab Ponorogo memiliki pemikiran untuk menginkorporasi mereka dalam sebuah event yang diikuti oleh para seniman reyog obyok.
Setelah berdiskusi dengan para seniman senior, baik dari Yayasan Reyog Ponorogo maupun Dewan Kesenian Ponorogo, Bupati Ipong membuat sebuah kebijakan untuk menggelar pertunjukan obyokan di setiap desa setiap bulan.
Semua pemerintah desa wajib menyediakan anggaran biaya untuk menggelar pertunjukan agar para seniman memiliki ruang ekspresi dan regenerasi reyog bisa berlangsung secara ajeg, khususnya yang ditujukan kepada anak-anak, kaum remaja, dan kaum muda.
Pada awalnya, masih ada beberapa desa yang tidak bisa menggelar pertunjukan dengan bermacam alasan, seperti kurangnya dana dan tabu kultural yang melarang reyog di desa-desa tertentu. Bupati Ipong memanggil para kepala desa yang desanya belum menggelar pertunjukan. Ia memberikan penjelasan dan arahan tentang pentingnya acara tersebut untuk penguatan identitas budaya Ponorogo.
Memang tujuan pertunjukan yang digelar sejak bulan April 2019 setiap tanggal 11 itu bisa dikatakan cukup ideal dan strategis karena tradisi reyog di setiap desa bisa ramai kembali oleh kegiatan latihan dan pertunjukan. Namun, di sisi lain, pemerintah Ponorogo juga akan mendapatkan keuntungan ketika setiap desa setiap bulan menggelar reyog.
Ketika pemerintah menyebut Ponorogo sebagai Kota Reyog, maka kegiatan-kegiatan publik yang berkaitan dengan kesenian ini harus diperbanyak dan dipersering kuantitasnya, sehingga kalau ada wisatawan yang ingin menonton tidak kesulitan.
Kebijakan Bupati Ipong ini menegaskan kualitasnya sebagai seorang pemimpin yang mampu menginkorporasi dan mengartikulasikan secara selektif keinginan dan kepentingan para seniman yang tidak semua bisa diakomodasi dalam FNRP. Bagaimanapun juga, para seniman reyog adalah kelas subordinat yang jumlahnya cukup banyak dan memiliki kemampuan kreatif dalam menggerakan kebudayaan.
Kegelisahan kreatif mereka dalam bentuk obyokan kalau dibiarkan akan menjadi gerakan budaya yang tak terkendali. Maka memberikan kesempatan kepada mereka untuk berekspresi secara berkala adalah kebijakan cerdas untuk menunjukkan perhatian kepada para seniman sekaligus mendapatkan keuntungan ekonomis berupa dukungan terhadap agenda pariwisata.
Pengembangan dan regenerasi reyog obyokan dengan demikian menjadi kekuatan kultural dan ekonomis yang di satu sisi bisa memperkuat identitas ponorogo dan di sisi lain bisa mendukung aktivitas pariwisata.
Lebih dari itu, kebijakan Bupati Ipong bisa memberikan keuntungan politik karena publik akan memandangnya sebagai pemimpin yang memiliki kepedulian terhadap pengembangan budaya lokal sebagai identitas daerah.
Dengan konsensus publik tersebut, kepemimpinan Ipong tidak akan mendapatkan resistensi secara massif sehingga bisa mengamankan kepentingan politiknya, termasuk untuk berkontestasi dalam pemilihan bupati Ponorogo dan mengamankan agenda politik keluarganya, seperti menjadikan istrinya sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dari Partai Nasional Demokrat.
Dengan demikian kebijakan budaya terkait reyog obyokan yang seolah-olah berpihak kepada para seniman tetap saja memberikan keuntungan ekonomi dan politik kepada pemerintah dan pemimpin Ponorogo.
Catatan Penutup
Kehadiran dua model pertunjukan reyog, festival dan obyokan, merupakan realitas yang mengindikasikan dampak sebuah kebijakan budaya bagi para pelaku dan pengembangan kesenian rakyat.
Kebijakan untuk membuat FNRP merupakan mekanisme yang dipilih pemerintah di era Orde Baru untuk menstandardisasi pertunjukan kesenian rakyat demi mendapatkan keuntungan ekonomi dari aktivitas pariwisata yang dijalankan secara sistematis.
Idealisasi komersil yang didapatkan dari menggelar kesenian rakyat dalam format festival merupakan karakteristik rezim developmentalism, di mana semua aspek kehidupan masyarakat harus bisa dimanfaatkan untuk mendukung keberhasilan pembangunan fisik dan mental.
Kebijakan festival ini menjadi ajang selebrasi kreatif banyak grup reyog di Ponorogo maupun wilayah lain di mana mereka bisa menggelar karya berbasis pakem dengan pemaknaan yang lebih kreatif.
Untuk ruang kompetisi kreatif, FNRP merupakan even yang tepat karena banyak pakar dan seniman reyog terlibat, baik dari kalangan masyarakat umum maupun akademisi. Dari aspek ekonomi pariwisata, FNRP memang diakui banyak pihak, baik pemerintah, pengusaha swasta, dan warga, mampu mendorong roda perekonomian, meskipun hanya bersifat temporer.
Standardisasi ala festival, bagi para seniman rakyat yang tidak terbiasa atau menolak pakem akan membatasi gerak kultural reyog yang memang berasal dari tradisi rakyat. Mereka pun sejak era 1990-an hingga saat ini melakukan konstestasi dan resistensi kreatif dengan mempopulerkan reyog obyokan yang menekankan model partisipatoris dan mengedepankan aspek kerakyatan.
Meskipun demikian, stereotipisasi yang dibuat sebagian pihak yang tidak suka pada adegan agak sensual yang melibatkan para jathil perempuan bisa mendistorsi semua perjuangan historis para seniman untuk melestarikan reyog di wilayah Ponorogo. Lebih jauh lagi, stereotipisasi itu menegaskan adanya kepanikan moral terkait dinamika pertunjukan yang melibatkan adegan dan candaan yang dinilai erotis.
Memang terdapat adegan-adegan agak sensual tetapi itu semua dikerangkai dalam model humor dan tidak sampai benar-benar lepas kendali. Setidaknya, para jathil perempuan masih menggunakan gerakan tari untuk menggoda pembarong dan bujang ganong serta membuat penonton bergembira.
Sebagai respons kreatif terhadap kebijakan budaya eksploitatif negara, reyog obyokan harus dikaji dalam dimensi yang lebih luas dan komprehensif, bukan sekedar pada aspek erotisismenya.
Inkorporasi yang dilakukan Bupati Ipong dengan pentas obyokan di setiap desa setiap bulan merupakan bukti betapa model tersebut memiliki dimensi politis-kultural yang harus diperhatikan oleh pemimpin agar kepentingan ekonomi dan politik mereka bisa diamankan.
Maka, membaca reyog Ponorogo memang tidak bisa hanya dada keramaian dan perayaan pertunjukan. Lebih dari itu, reyog adalah situs kontestasi dan negosiasi di mana hegemoni dan counter-hegemony berlangsung dalam arena kultural.
Rujukan
Achmadi, Asmoro. 2014. “Aksiologi Reog Ponorogo: Relevansinya dengan Pembangunan Karakter Bangsa.” Teologia, Vol. 25(1): 3-27.
Al-Zo’by, Mazhar. 2019. “Culture and the politics of sustainable development in the GCC: identity between heritage and globalisation.” Development in Practice. DOI: 10.1080/09614524.2019.1602110.
Annas, Deffi. 2019. “Urgensi Pakem terhadap Kesenian Reog.” 10 Mei. Tersedia di: https://www.indonesiana.id/read/133515/urgensi-pakem-terhadap-kesenian-reog-ponorogo#BFuuVQsoo0BplFbC.99.
An Nawie, Murdianto. 2019. “Saat Negara Hadir untuk Reyog dan Konco Reyog”. Tersedia di: https://insuriponorogo.ac.id/serambi/opini/saat-negara-hadir-untuk-reyog-dan-konco-reyog.
An Nawie, Murdianto. 2016. “Reyog: Antara Komodifikasi dan Klaim Otensitas.” Tersedia di: https://drmurdianto.wordpress.com/2016/11/20/reyog-antara-komodifikasi-dan-klaim-otensitas/.
Astro, Masuki M. 2015. “Realitas Obyokan dalam Reog Ponorogo”. Antaranews.com. 24 Juni. Tersedia di: https://jatim.antaranews.com/berita/159534/realitas-obyokan-dalam-reog-ponorogo.
Banks, Mark. 2018. “Creative economies of tomorrow? Limits to growth and the uncertain future.” Cultural Trends, Vol. 27(5): 367-380. DOI: 10.1080/09548963.2018.1534720.
Beauregard, Devin. 2018. Cultural Policy and Identity Industry: Quebec,Scotland, and Catalonia. New York: Palgrave Macmillan.
Behr, Adam, Matt Brennan & Martin Cloonan. 2016. “Cultural value and cultural policy: some evidence from the world of live music.” International Journal of Cultural Policy, Vol. 22(3): 403-418. DOI: 10.1080/10286632.2014.987668.
Belfiore, Eleonora. 2018. “Whose cultural value? Representation, power and creative industries, International Journal of Cultural Policy, DOI: 10.1080/10286632.2018.1495713.
Boggs, Carl. 1984. The Two Revolution: Gramsci and the Dilemas of Western Marxism. Boston: South End Press.
Craik, Jennifer. 2007. Re-Visioning Arts and Cultural Policy: Current Impasses and Future Directions. Canberra: The Australian National University Press.
Frey, Bruno.2000. Arts and Economics: Analysis of Cultural Policy. Berlin: Springer.
Gramsci, Antonio. 1981. “Class, Culture, and Hegemony”. In Tony Bennett, Graham Martin, Collin Mercer, & Janet Woolacott (eds). Culture, Ideology, and Social Process. Batsford: The Open University Press.
Gibson, Lisanne & Delyth Edwards. 2016. “Facilitated participation: cultural value, risk and the agency of young people in care.” Cultural Trends, Vol. 25(3): 194-204, DOI: 10.1080/09548963.2016.1204049.
Haans, Richard F.J. & Arjen van Witteloostuijn. 2018. “Expected job creation across the cultural industries: a sectoral division and its implications for cultural policy”. International Journal of Cultural Policy, Vol. 24(1): 45-67, DOI: 10.1080/10286632.2015.1128420.
Hadley, Steven & Eleonora Belfiore. 2018. “Cultural democracy and cultural policy”. Cultural Trends, Vol. 27(3): 218-223. DOI: 10.1080/09548963.2018.1474009.
Hesmondhalgh, David & Andy C. Pratt (2005) Cultural industries and cultural policy, International Journal of Cultural Policy, 11:1, 1-13, DOI: 10.1080/10286630500067598.
Howson, Richard & Kylie Smith. 2008. “Hegemony and the Operation of Consensus and Coercion”. In Richard Howson & Kylie Smith (eds). Hegemony: Studies in Consensus and Coercion. London: Routledge.
Langsted, Jørn. 1989. “Double Strategies in a Modern Cultural Policy”. Journal of Arts Management and Law, Vol. 19(4): 53-71. DOI: 10.1080/07335113.1989.10593788.
Manchester, Helen & Emma Pett. 2015. “Teenage Kicks: Exploring cultural value from a youth perspective.” Cultural Trends, Vol. 24(3): 223-231. DOI: 10.1080/09548963.2015.1066078.
Maryono. 2007. “Reog Kemasan sebagai Aset Pariwisata Unggulan Kabupaten Ponorogo”. Harmonia: Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni, Vol. VIII(2): 158-168.
Mennell, Stephen. 1981. “Cultural Policy and Models of Society”, Loisir et Société / Society and Leisure, Vol. 4(2): 212-227. DOI: 10.1080/07053436.1981.10753596.
Mulcahy, Kevin V. 2006. “Cultural Policy: Definitions and Theoretical Approaches”. The Journal of Arts Management, Law, and Society, Vol. 35(4): 319-330.
Oman, Susan. 2019. “Leisure pursuits: uncovering the ‘selective tradition’ in culture and well-being evidence for policy.” Leisure Studies. DOI: 10.1080/02614367.2019.1607536.
Oancea, Alis, Teresa Florez-Petour & Jeanette Atkinson. 2018. “The ecologies and economy of cultural value from research.” International Journal of Cultural Policy, Vol. 24(1): 1-24, DOI: 10.1080/10286632.2015.1128418.
Rismayanti, FA., Marjono, Nurul U, & Rully PNP. 2017. “Reyog Ponorogo National Festival as the Cultural Conservation Efforts and Character Education for the Younger Generation.” The International Journal of Social Sciences and Humanities Invention, Vol. 4(8): 3768-3773.
Simatupang, G.R. Lono L. 2019. Play and Display: Dua Moda Pergelaran Reyog di Jawa Timur. Yogyakarta: Prodi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Sekolah Pascasarjana Lintas Disiplin Universitas Gadjah Mada.
Throsby, David. 2010. The Economics of Cultural Policy. Cambridge: Cambridge University Press.
Villarroya, Anna. 2012. “Cultural policies and national identity in Catalonia,” International Journal of Cultural Policy, Vol. 18(1): 31-45. DOI: 10.1080/10286632.2011.567330.
Walmsley, Ben. 2018. “Deep hanging out in the arts: an anthropological approach to capturing cultural value.” International Journal of Cultural Policy, Vol. 24(2): 272-291. DOI: 10.1080/10286632.2016.1153081.
Wise, Patricia. 2002. “Cultural policy and multiplicities”. International Journal of Cultural Policy, Vol. 8(2): 221-231, DOI: 10.1080/1028663022000009614.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H