Kebijakan untuk membuat FNRP merupakan mekanisme yang dipilih pemerintah di era Orde Baru untuk menstandardisasi pertunjukan kesenian rakyat demi mendapatkan keuntungan ekonomi dari aktivitas pariwisata yang dijalankan secara sistematis.Â
Idealisasi komersil yang didapatkan dari menggelar kesenian rakyat dalam format festival merupakan karakteristik rezim developmentalism, di mana semua aspek kehidupan masyarakat harus bisa dimanfaatkan untuk mendukung keberhasilan pembangunan fisik dan mental.Â
Kebijakan festival ini menjadi ajang selebrasi kreatif banyak grup reyog di Ponorogo maupun wilayah lain di mana mereka bisa menggelar karya berbasis pakem dengan pemaknaan yang lebih kreatif.Â
Untuk ruang kompetisi kreatif, FNRP merupakan even yang tepat karena banyak pakar dan seniman reyog terlibat, baik dari kalangan masyarakat umum maupun akademisi. Dari aspek ekonomi pariwisata, FNRP memang diakui banyak pihak, baik pemerintah, pengusaha swasta, dan warga, mampu mendorong roda perekonomian, meskipun hanya bersifat temporer.Â
Standardisasi ala festival, bagi para seniman rakyat yang tidak terbiasa atau menolak pakem akan membatasi gerak kultural reyog yang memang berasal dari tradisi rakyat. Mereka pun sejak era 1990-an hingga saat ini melakukan konstestasi dan resistensi kreatif dengan mempopulerkan reyog obyokan yang menekankan model partisipatoris dan mengedepankan aspek kerakyatan.
Meskipun demikian, stereotipisasi yang dibuat sebagian pihak yang tidak suka pada adegan agak sensual yang melibatkan para jathil perempuan bisa mendistorsi semua perjuangan historis para seniman untuk melestarikan reyog di wilayah Ponorogo. Lebih jauh lagi, stereotipisasi itu menegaskan adanya kepanikan moral terkait dinamika pertunjukan yang melibatkan adegan dan candaan yang dinilai erotis.Â
Memang terdapat adegan-adegan agak sensual tetapi itu semua dikerangkai dalam model humor dan tidak sampai benar-benar lepas kendali. Setidaknya, para jathil perempuan masih menggunakan gerakan tari untuk menggoda pembarong dan bujang ganong serta membuat penonton bergembira.Â
Sebagai respons kreatif terhadap kebijakan budaya eksploitatif negara, reyog obyokan harus dikaji dalam dimensi yang lebih luas dan komprehensif, bukan sekedar pada aspek erotisismenya.Â
Inkorporasi yang dilakukan Bupati Ipong dengan pentas obyokan di setiap desa setiap bulan merupakan bukti betapa model tersebut memiliki dimensi politis-kultural yang harus diperhatikan oleh pemimpin agar kepentingan ekonomi dan politik mereka bisa diamankan. Â
Maka, membaca reyog Ponorogo memang tidak bisa hanya dada keramaian dan perayaan pertunjukan. Lebih dari itu, reyog adalah situs kontestasi dan negosiasi  di mana hegemoni dan counter-hegemony berlangsung dalam arena kultural.Â
Rujukan