Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Kuasa dalam Layar Impian: Ekonomi-Politik dan Budaya Pascakolonial dalam Film

5 Juni 2022   00:02 Diperbarui: 5 Juni 2022   06:46 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. https://www.twenty20.com

Kerja-kerja media yang mengandalkan kapitalisme teknologi telah mempercepat perluasan pasar dan mampu membentuk masyarakat penonton dalam jejaring pemuasan hasrat (Kellner, 2003). Kondisi ini memunculkan tesis tentang imperialisme kultural di mana hegemoni budaya massa Barat telah menyebabkan homogenisasi kultural di negara-negara berkembang, utamanya komodifikasi dalam bentuk, model, dan representasi (Banerjee, 2002: 519-520; Sparks, 2007: 145-147; Wise, 2008: 34-35). 

Akibatnya, sebagian besar representasi kultural yang muncul dalam produk-produk tersebut adalah pesan-pesan yang sesuai dengan agenda pasar untuk membentuk budaya konsumen neoliberal bersumber dari Barat secara terus-menerus di masyarakat poskolonial. Dengan demikian, sebagaimana dikatakan Hardt &  Negri (dikutip dalam Venn, 2006: 137) negara-negara pascakolonial tetap saja tersubordinasi, masuk dalam kuasa modal: “yang luar terinternalisasi ke yang dalam.”

Dalam konteks Indonesia, kecenderungan penerapan ekonomi-politik neoliberal, meskipun seringkali tidak diakui oleh pemerintah, telah menghasilkan booming industri budaya yang menjadi trend baru kapitalisme industri. Kondisi tersebut didukung oleh semakin longgarnya kontrol negara. Akibatnya, masyarakat semakin terbiasa dengan produk-produk industri budaya, dari program televisi, film, fashion, dan lain-lain, yang memasukkan mereka ke dalam jejaring dan praktik modernitas budaya, meskipun masih ada sebagian nilai tradisi-lokal yang dijalankan. 

Namun, kecenderungan secara umum, praktik dan orientasi budaya yang berlangsung semakin digerakkan semakin menuju semangat pembebasan dan kebebasan yang sangat Barat. Celakanya, orientasi dan praktik yang diambil lebih mengarah pada ketercerabutan dari kearifan-kearifan lokal yang pernah menjadi konsensus sosio-kultural dan lebih mengedepankan budaya konsumen, budaya metropolitan, dan proyek-proyek pembebasan hasrat individual lainnya.

Meskipun Barat-neoliberal menjadi orientasi hegemonik dalam masyarakat Indonesia, masih ada saja usaha-usaha dari sebagian masyarakat untuk menjalankan praktik kultural yang berorientasi pada tradisionalisme. Akibatnya, terjadi hibridisasi kultural yang berusaha memadukan kekuatan tradisi-lokal dengan kekuatan modernitas sehingga memunculkan bentuk budaya campuran.

Mengikuti pemikiran Bhabha (1994: 86-115), hibridisasi kultural merupakan proses kultural yang berlangsung “di ruang antara” atau “ruang ketiga” yang melibatkan peniruan terhadap sebagian budaya superior (eks-penjajah) oleh subjek-subjek poskolonial sembari melakukan pengejekan karena mereka tetap memainkan budaya mereka di balik ambivalensi yang terjadi, sehingga secara politis tidak sepenuhnya bisa dikuasai oleh budaya superior tersebut. 

Hibridisasi dalam konteks tersebut, bisa menjadi alat perjuangan untuk memperkuat budaya sebuah bangsa poskolonial dengan terus menegosiasikan kekayaan kultural atau, sebaliknya, memperlemahnya, ketika mereka semata-mata melakukan percampuran tanpa terus meyakini kekuatan kultural yang ada. Dengan hibriditas budaya, bangsa kolonial maupun poskolonial bisa mengekspresikan hak untuk menarasikan budaya mereka, meskipun harus masuk dan bermain dalam lingkaran budaya kuasa yang lebih dominan (Huddart, 2007). 

Kegandaan fungsi politis hibridisasi kultural terjadi karena, mengikuti pemikiran Young  (1995: 23-25), ia bisa menjadi usaha untuk mengkontestasi budaya dominan melalui “operasi ganda yang ganjil”, yakni percampuran elemen-elemen kultural dari budaya dominan (budaya global-neoliberal) dan budaya nasional/lokal yang semula saling berkonflik menjadi struktur-struktur baru dalam produksi kultural yang diulangi secara terus-menerus; sebuah repetisi struktural.

Hibriditas kultural yang terjadi bisa menjadi kekuatan ideologis-kultural untuk terus menegosiasikan budaya lokal di tengah-tengah hegemoni budaya modern-neoliberal sehingga karakteristik lokal akan terus bertransformasi ke dalam praktik kehidupan terkini, sekaligus menciptakan kreativitas-kreativitas kultural yang selalu baru (Clothier, 2006).  

Hibridisasi kultural dalam konteks nasional dan lokal memang sangat dipengaruhi oleh percepatan teknologi dan industri budaya yang diimpor dari negara-negara maju sehingga mempengaruhi struktur, bentuk, praktik, dan orientasi budaya di negara-negara berkembang (Pieterse, 2001: 222). 

Massifikasi industri budaya dalam level nasional yang banyak menyerap, mengadopsi, dan memodifikasi produk Barat beserta wacana dan praktik kultural yang ditawarkan (Glynn & Tyson, 2007; Shim, 2006; McMillin, 2001), serta perluasan pasar produk-produk hibridnya pada level lokal, menjadikan pemahaman terhadap budaya pascakolonial, tidak bisa semata-mata dikonstruksi dalam esensialisme kultural yang mengandalkan otentisitas budaya, karena realitasnya telah mengalami hibridisasi, baik dalam hal praktik, bentuk, maupun orientasi nilai kultural. 

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun