Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Kuasa dalam Layar Impian: Ekonomi-Politik dan Budaya Pascakolonial dalam Film

5 Juni 2022   00:02 Diperbarui: 5 Juni 2022   06:46 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. https://www.twenty20.com

Film Nagabonar Jadi Dua (2007), misalnya, secara cerdas dan jenaka menggambarkan bagaimana konflik antara generasi muda (anak laki-laki) dan generasi tua (bapak) dalam memandang persoalan neoliberalisme. Si anak ingin membangun resort di tengah-tengah perkebunan kelapa sawit yang dimiliki si bapak. 

Dengan berargumen bahwa di dekat kebun itu terdapat makam istri/ibu si anak dan kerabat dekatnya, proyek yang didanai investor dari Jepang tidak jadi dijalankan, karena si anak melihat kesedihan hati bapaknya ketika kuburan tersebut mau dibongkar dan dipindah. Kepentingan ekonomi-politik neoliberal, dengan demikian, dikalahkan oleh kearifan lokal tentang makam yang masih sangat kuat di tengah-tengah masyarakat kita. 

Narasi film ini memang mengambil setting di ibukota dan bermacam kompleks permasalahannya dengan gaya Hollywoodianisme. Namun, film ini tidak kehilangan nalar lokalnya untuk menghadapi perubahan zaman dengan memberikan cara pandang terhadap persoalan neoliberalisasi yang terjadi di Indonesia saat ini. Dengan demikian, hibriditas kultural yang ditawarkan bisa menjadi kekuatan ideologis-kultural untuk terus menegosiasikan budaya lokal di tengah-tengah kecenderungan neoliberalisme saat ini.

Yearwood (1987) memandang bahwa sinema Dunia Ketiga atau sinema pascakolonial sebenarnya memiliki beberapa kapasitas signifikan. Pertama, mempermasalahkan basis ideologi sistem politik (negara mereka), legitimasi status quo, dan tanggung jawab sebagai daya respons sistem politik kepada rakyat. 

Kedua, mampu membangkitkan kesadaran rakyat ke dalam kemajuan, dan bukannya ‘menidurkan mereka’ dengan tontonan yang semata-mata menghibur untuk melarikan diri dari realitas. Ketiga, secara aktif mengkoreksi basis estetik dan naratif film kolonial yang sangat stereotip. 

Keempat, mengkritisi kemapanan masyarakat dan relasi sosialnya serta membantu masyarakat untuk memahami permasalahan sosio-kultural dan kesulitan hidup yang terjadi setelah kemerdekaan. Kelima, mengangkat kembali romansa tradisi atau membantu masyarakat dalam memahami dan menghadapi perubahan kultural, sehingga mengarahkan mereka untuk melihat jagat dengan cara pandang baru. Paling tidak, film-film pascakolonial, di tengah-tengah motivasi komersilnya, diharapkan masih bisa mengangkat idealisme dalam mengkritisi problematika kehidupan sosio-kultural, ekonomi, dan politik masyarakat. 

SIMPULAN

Untuk bisa menghubungkan secara detil dan kritis teks naratif film beserta representasi kuasa-hegemonik yang dipengaruhi oleh perubahan budaya pascakolonial Indonesia, pendekatan ekonomi-politik membutuhkan ‘bantuan’ dengan pendekatan-pendekatan lain, yakni cultural studies dan pascakolonialisme

Modifikasi teoretis yang memadukan ketiga pendekatan tersebut akan menghasilkan sebuah bacaan ulang-alik antara teks dan konteks sehingga bisa ‘membuka’ bersemayamnya kepentingan ideologis-kultural-neoliberal di balik representasi budaya pascakolonial dalam film. 

Alur berpikirnya adalah bahwa semua persoalan budaya poskolonial yang ada dalam film tidak bisa dilepaskan dari ekonomi-politik yang berlangsung dalam konteks masyarakat/negara dan juga industri film. Dalam kondisi tersebut, para produser dan sineas bisa saja terus-menerus melakukan proses hegemoni melalui representasi budaya poskolonial-neoliberal dalam narasi. Untuk bisa menganalisis representasi dalam narasi secara detil, maka cara baca cultural studies yang memposisikan relasi kuasa dibangun melalui praktik penandaan dalam media, termasuk film, akan sangat membantu. 

Sementara, pendekatan pascakolonial akan berguna untuk membicarakan realitas sosio-kultural masyarakat Indonesia di era global yang sudah mulai mengalami dan menjalankan neoliberalisme dalam kehidupan mereka yang direpresentasikan dalam film. Maka, pertimbangan analitik antara teks naratif dan konteks realitas menjadi sangat penting.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun