Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Kuasa dalam Layar Impian: Ekonomi-Politik dan Budaya Pascakolonial dalam Film

5 Juni 2022   00:02 Diperbarui: 5 Juni 2022   06:46 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. https://www.twenty20.com

Pertama, genre berguna untuk memahami konteks budaya yang lebih luas dalam hubungannya dengan mutasi dan komplikasi tekstual dalam film. Kedua, genre terletak pada tempat antara wacana produksi dan institusi, estetik dan klasifikasi, serta penonton dan nilai kultural. 

Ketiga, menimbang ranah-ranah yang saling bertentangan tersebut dan juga ruang pengetahuan yang hendak di sampaikan, genre diharapkan memberikan titik hubung bagi keterputusan antara pemasaran dan penonton karena wacana pemasaran memang cenderung membayangkan penonton yang sangat kompleks sehingga fragmentasi dan segmentasi teks berupa genre sangat dibutuhkan. 

Dengan demikian, spesifikasi struktur semantik/sintaktik sebuah genre bisa mempertemukan kepentingan produksi industrial dan konsumsi penonton. Altman (2003) menjelaskan bahwa dalam perspektif semantik, genre sebuah film ditentukan oleh rangkaian ciri, sifat, tokoh, pengambilan gambar, lokasi, maupun latar. 

Sementara, dalam perspektif sintaktik, genre ditekankan pada relasi konstitutif/pembentuk antara aspek-aspek yang berbeda dari teks untuk menggambarkan makna dan struktur globalnya. Penggabungan kedua perspektif tersebut akan memberikan pemahaman lebih menyeluruh terhadap struktur dan makna yang ada dalam genre film tertentu.

Bagi sineas, genre bisa mempermudah kerja-kerja perfilman dalam konteks industrial karena bisa menjadi acuan untuk menyusun narasi film serta menjadi strategi pemasaran sesuai dengan selera dan popularitas genre di dalam masyarakat (Moine, 2008: 64-68). Sementara, bagi penonton, genre film bisa menjadi acuan konseptual dalam memperkirakan jalannya narasi cerita yang akan mereka tonton/hipotesis (Hayward, 2000: 166-171). 

Relasi produksi-konsumsi genre dalam film seolah-olah menempatkan pemodal/kreator dan penonton dalam posisi yang seimbang. Artinya, kreator bisa menciptakan genre-genre yang sesuai dengan trend selera penonton, meskipun harus diikuti dengan transformasi narasi audio-visual yang disesuaikan dengan kondisi sosio-kultural, politik, maupun ekonomi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. 

Dengan transformasi pula, film bisa merepresentasikan kecenderungan dinamika sosio-kultural yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat yang semakin ‘terpasarkan’, sehingga mereka sebenarnya ikut pula memproduksi pesan-pesan ideologis yang memperkuat berkuasanya pasar. 

Sementara, penonton, disatu sisi, diberikan kebebasan untuk memilih genre-genre yang sesuai dengan selera mereka, tetapi, di sisi lain, tetap disuguhi dengan keterbatasan pilihan berupa genre-genre populer. Keterikatan pada genre-genre populer, lebih jauh lagi, menjadikan mereka semakin mudah terikat dengan pengetahuan kultural-ideologis yang menjadi bagian formasi dan praktik diskursif neoliberlisme. 

Fungsi genre untuk memasukkan pengetahuan kultural-ideologis dan relasi kuasa-hegemonik, pada dasarnya, melekat pada spesifikasi dan tipikalisasi narasi audio-visual yang menjadi mitos. Film melakukannya melalui narasi-narasi stereotip dalam genre populer yang merepresentasikan permasalahan-permasalahan seperti yang terjadi dalam kehidupan nyata untuk kemudian memberikan resolusi yang mengembalikan permasalahan tersebut ke dalam norma dan nilai yang disesuaikan dengan wacana kultural-ideologis partikular (Moine, 2008: 72-79). 

Contoh menarik dari fungsi ideologis ini, misalnya, bisa dilihat dalam konflik-konflik genre film western, fiksi ilmiah, gangster, dan horor yang secara tipikal menangkap kegelisahan publik terhadap permasalahan yang mereka hadapi seperti ketidakadilan ekonomi, konflik politik, konflik sosio-kultural, dan lain-lain, untuk kemudian menenangkan mereka dengan resolusi-resolusi yang sekedar memberikan kepuasan, tetapi tidak mengarah pada tindakan praksis, sehingga tetap menguntungkan kelas-kelas penguasa (Wright, 2003: 42-50). 

Menurut Fulton (2005: 5-7), narasi formulaik dalam media pada abad kapitalisme akhir berperan besar untuk menaturalisasi kepentingan ideologis kelas pemodal dengan cara menciptakan subjek-subjek yang koheren dengan kepentingan ekonomi kapitalis melalui tawaran akan pembebasan dan kebebasan dalam menentukan pilihan dalam jejaring pasar kapitalisme global. 

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun