Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Kuasa dalam Layar Impian: Ekonomi-Politik dan Budaya Pascakolonial dalam Film

5 Juni 2022   00:02 Diperbarui: 5 Juni 2022   06:46 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. https://www.twenty20.com

EKONOMI-POLITIK FILM 

Pendekatan ekonomi-politik media, termasuk film, tidak bisa dilepaskan dari popularitas pendekatan ekonomi-politik Marxisme untuk membaca kepentingan-kepentingan kelas pemodal dalam menjalankan praktik ekonomi di balik produksi, distribusi, dan konsumsi. Tesis utama yang diusung adalah bahwa basis ekonomi akan menentukan superstructure yang di dalamnya termasuk persoalan ideologi, agama, relasi sosial, politik maupun budaya. 

Kelas pemodal dengan kemampuan modal dan alat produksinya mampu menggerakkan mekanisme dan moda produksi yang melibatkan kreator dan buruh dalam organisasi dan praktik kerja untuk menciptakan benda-benda industrial yang mempunyai nilai tukar dan nila guna serta bisa memenuhi kebutuhan dari para konsumennya melalui proses sirkulasi, distribusi, dan konsumsi dari produk-produk yang akan mendorong terjadinya perubahan orientasi ideologi masyarakat sehingga mengakibatkan perubahan pada struktur dan praktik sosio-kultural (Marx, 1991, 1992; Lebowitz, 2002; Wood, 2003). 

Mengacu pada tesis base/superstructure, pendekatan ekonomi-politik dalam kajian film lebih banyak mengarah pada kepentingan pemodal melalui sistem kerja dan produksi untuk mengkomodifikasi persoalan-persoalan dalam masyarakat demi kepentingan komersialisasi. Dengan konsepsi tersebut, paling tidak terdapat beberapa kecenderungan yang berkembang dalam pendekatan ekonomi-politik film, sebagaimana dijelaskan berikut ini.

Pertama, penekanan kajian terhadap institusi pemodal, organisasi dan mekanisme produksi, dan proses komersialisasi dalam industri film yang mempengaruhi bentuk dan tema naratif yang pada akhirnya berpengaruh terhadap praktik sosio-kultural (ideologi, struktur dan sistem sosial, agama, maupun budaya) dalam latar historis partikular (Granham, 2006; Maxwell, 2001). 

Dalam perspektif ini, siapa pemilik modal, bagaimana sistem, mekanisme, dan organisasi produksinya, bagaimana posisi para filmmaker dalam produksi, serta kecenderungan wacana ideologis yang ditampilkan, menjadi bahan kajian yang penting. Dalam konteks Indonesia, bisa dilihat bagaimana dominasi keluarga Punjabi melalui production house-nya telah menjadi kekuatan industri film yang sangat mempengaruhi kecenderungan genre dan tema naratif tentang problematika kaum remaja di kota dengan segala hingar-bingarnya.

Kedua, penekanan kajian terhadap proses komodifikasi dalam film yang dengan massifikasi dan standardisasi produknya melakukan “pengelabuhan massa” karena menawarkan produk-produk industrial yang sebenarnya tidak mengusung wacana pencerahan dan semata-mata sebagai hiburan untuk mengisi waktu luang yang mengurangi potensi rasional, kreatif, dan resisten dari para penikmatnya serta demi memenuhi kepentingan ideologis kapitalis untuk akumulasi modal (Adorno, 1991; 1997; Witkin, 2003; Strinati, 2004: 46-75; Leslie, 2005: 34-40). 

Dengan perspektif kritis yang biasa dilakukan oleh Mazhab Frankfurt, model ini menekankan pentingnya pembacaan kepada aspek komodifikasi yang dilakukan oleh filmmaker terhadap problematika sosio-kultural masyarakat dalam format yang serba ringkas, baik dalam hal ruang maupun waktu, sehingga tidak memunculkan sudut pandang komprehensif dan kritis dari penonton serta sekedar menjadi media hiburan. 

Prinsip komodifikasi juga membatasi sekaligus menyempitkan isu dan wacana yang diangkat dalam narasi film. Komplikasi masalah yang berlangsung dalam masyarakat kota, misalnya, kebanyakan hanya disuguhkan dalam bentuk problematika cinta kaum muda dalam latar metropolitan serta menghilangkan problematika kaum miskin kota. 

Menurut Louw (2001: 32) proses penyempitan ini terjadi karena (1) kuatnya patronase terhadap kepentingan pemodal dalam industri budaya yang hanya menghendaki wacana-wacana tertentu; (2) kecenderungan wacana dari para kreator dan pekerja; dan (3) tekanan dari relasi kuasa lainnya, semisal negara maupun institusi agama. 

Realitas pembatasan kreativitas dalam hal tampilan dan wacana dalam film, juga terjadi karena sistem industri budaya, meskipun mengedepankan kreativitas baru, tetap menempatkan kreator dalam posisi subsistem. Para kreator bertugas untuk membuat produk yang bisa memenuhi kebutuhan estetik masyarakat sehingga bisa mendatangkan keuntungan sebanyak-banyaknya. 

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun