Semua orang tentu memilih kemungkinan yang pertama. Karena, logikanya sudah memiliki pengalaman di masa sebelumnya akan membuka gerbang yang lebih luas dalam mengeksplorasi sistem dan kebijakan ke arah yang lebih matang.Â
Namun, kembali lagi pada suatu fakta yang mungkin amat dibenci oleh manusia itu sendiri. Yaitu, konsistensi.
Seorang presiden juga dapat mengalami permasalahan konsistensi terhadap kapabilitasnya dalam memimpin sebuah negara. Bertambahnya usia, menurunnya kesehatan, permasalahan negara yang ternyata bukannya menipis namun malah bertambah dan terus bermunculan, acapkali mengganggu konsentrasi dan kemampuan dari sosok pemimpin tersebut.Â
Apalagi jika dirinya mulai ditinggal oleh pihak-pihak yang sebelumnya menjadi bagian dari tim penyukses visi-misi sebelumnya. Maka, hal ini tentu akan mempengaruhi kinerja presiden---siapapun itu.
Artinya, konsekuensi dari keberadaan presiden yang melanjutkan perjalanannya, tak serta-merta akan menjamin langkah yang lebih baik. Namun, juga bisa jadi akan lebih baik daripada memilih presiden yang baru yang mungkin jusru berpeluang akan merubah sistem dan kebijakan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang kurang tepat.Â
Apalagi jika sistem dan kebijakan tersebut sudah tepat untuk masyarakatnya saat ini dan nanti.
Di sini, kita bisa melihat beberapa kemungkinan terhadap keberlanjutan masa pengabdian bagi Jokowi menjadi seorang presiden RI di periode kedua. Jika dirunut dengan pertimbangan semacam itu, Jokowi kemungkinan masih sangat pantas untuk menjadi presiden di era yang lebih baru---5 tahun ke depan tidak memungkiri akan adanya fase-fase baru---di dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
 Sebenarnya, ini ada di pilihan masyarakat Indonesia; apakah mau lanjut bermadu kasih bersama Jokowi dan pasangan barunya, Ma'ruf Amin, atau cukup sampai di periode ini saja. Pilih yang mana?
Malang,
6 Desember 2018
Deddy Husein S.