Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Mengulik Peluang Jokowi Melanjutkan Perjalanannya

6 Desember 2018   17:39 Diperbarui: 6 Desember 2018   17:55 702
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jokowi bersama orang-orang yang merayakan Hari Jadi Korpri. (Twitter.com/Jokowi)

"5 tahun bukan waktu yang panjang untuk menghidupi negara sebesar Indonesia"

Tahun 2018 sudah berada di bulan penghujung tahun. Perayaan Natal dan akhir tahun akan menjadi momen yang sangat dinantikan oleh khalayak umum---termasuk di Indonesia. 

Mereka, orang-orang tua sampai yang muda akan mencoba menyiapkan harapan-harapan dan realisasi-realisasi terakhir terhadap misinya untuk tahun ini---mencoba mengakhiri tahun dengan senyuman. Begitu pula dengan pihak-pihak pemegang hak dan kewajiban sebagai pemerintah negara. Segala pihak di dalam struktur kepengelolaan negara akan berupaya lebih dan maksimal untuk dapat mengakhiri tahun 2018 dengan senyum dan kelegaan.

Lalu, bagaimana dengan figur nomor satu di Indonesia, Presiden RI Joko Widodo atau yang akrab disapa Pak Jokowi ini?

Menjadi presiden ke-7 dan memerintah sejak medio akhir 2014 sampai saat ini/medio awal 2019 nanti, Jokowi rupanya masih mendapatkan respek yang besar dari berbagai kalangan, termasuk dari pihak yang akan mendukung pasangan capres-cawapres lain (Prabowo-Sandi). 

Maklum, capaiannya bersama hasil kerjanya saat menjabat di pemerintahan Solo dan Jakarta pada saat itu, memberikan harapan bagi masyarakat Indonesia untuk memiliki warna baru yang lebih segar untuk ketatanan negara Indonesia ini.

Jokowi datang dengan dua hal tersebut, termasuk dengan membawa pengalaman yang ada pada sosok wakilnya, yaitu Jusuf Kalla (Pak JK). Bersama JK yang sebelumnya juga pernah menjadi wakil presiden periode I-nya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Jokowi menjelma menjadi seorang pemimpin negara yang tak hanya dapat meraih simpatisan dari kalangan dewasa nan intelektual, namun juga dari kalangan muda yang penuh semangat dan rasa keingintahuan tinggi.

Hal ini bisa dilihat dari latar belakang Jokowi dan beberapa aksinya yang acapkali mengundang decak kagum dan rasa penasaran terhadap apa yang akan diberikannya kepada negara dan rakyat.

Dia memang bukan sosok pemimpin berlatar belakang militer, agama dan ketatanegaraan seperti beberapa pemimpin sebelumnya. 

Dirinya adalah seorang pebisnis yang karyanya telah berhasil menembus manca negara, dan keberhasilannya menjadi seorang walikota Solo yang menuai perhatian masyarakat dari penjuru tanah air ini, akhirnya membuat karir kepemerintahannya terus menanjak hingga terpilih menjadi seorang presiden.

Masa baktinya perlahan namun pasti, kini mulai mendekati pada masa akhir. Namun, dirinya masih memiliki peluang untuk melanjutkannya dan mewujudkan apa yang mungkin masih belum terealisasikan di 5 tahunnya berada di kursi tertinggi kepemerintahan Indonesia. 

Hal ini bisa terjadi apabila dirinya berhasil mempertahankan keyakinan terhadap 55%-60% dari total jumlah penduduk (WNI) Indonesia.

Tak bisa dipungkiri, bahwa manusia selalu menginginkan perkembangan dan perubahan yang nyata dan segera. Namun, tak sedikit juga bagi orang-orang yang masih mau memberikan kesempatan terhadap orang-orang terpilih tersebut. 

Mereka diharapkan dapat membuktikan diri untuk mengabdi semaksimal mungkin. Terlepas dari aturan tentang periode kepemimpinan dari seorang presiden di Indonesia, masyarakat akan mencoba mulai menentukan pilihannya mulai saat ini---antara lanjut atau ganti.

Tentu ada perhitungan atau konsekuensi bagus dan tidaknya ketika sebuah era kepemimpinan seorang pemimpin akan berjangka panjang atau malah pendek.

Konsekuensi pemimpin yang berjangka waktu panjang (lebih dari 5 tahun) dalam memimpin sebuah negara, akan punya sisi positifnya dengan adanya kesempatan untuk benar-benar tak hanya mengembangkan apa yang ada di negaranya, namun juga membuat perubahan yang cukup signifikan untuk dilihat dan dirasakan oleh seluruh rakyat.

Jika sebuah negaranya 'hanya' seluas Pulau Belitung, tentu program jangka kepemerintahan kepala negara selama 5 tahun sudah cukup untuk dapat menjangkau dari segi penataan ulang sistem dan pewujudan program-program yang belum terealisasi di kepemimpinan sebelumnya. 

Termasuk pencanangan program baru yang sangat penting dan tepat sasaran. Namun, kita berada dalam lingkup negara dengan luas seperti Indonesia---yang perjalanan antar provinsinya bisa memakan waktu 7-10 jam lebih dalam perjalanan darat (bisa dihitung berapa jam perjalanan darat dari Nanggroe Aceh Darussalam ke Jayapura).

Artinya, mencanangkan visi-misi untuk sebuah negara yang seluas Indonesia, dengan perencanaan yang hampir 50% lebih baru dari presiden yang baru saja terpilih tersebut, tentu perlu upaya perwujudan yang tak sebentar. 

Apalagi jika prosentase penjalanan visi-misi tersebut banyak merubah sistem dan kebijakan dari presiden lama. Artinya, tak hanya sekedar melanjutkan dan mengembangkan hal-hal yang sebelumnya sudah ada, namun juga harus menghadirkan pula hal-hal yang baru yang dinilai lebih dibutuhkan dibandingkan sebelumnya.

Memang, sistem pemerintahan tak hanya ada di pusat, namun bersama kebijakan otonomi daerah, Indonesia juga dapat menggerakkan setiap daerahnya dengan kewenangan yang sudah diberikan dari pusat. Agar perkembangan dan perubahan tersebut dapat berjalan serentak dan menyeluruh.

Namun, yang menjadi persoalan adalah apakah semua pemegang hak dan kewajiban di pemerintahan tersebut telah dapat menghasilkan program yang mendukung visi-misi dari pemerintah pusat dan juga presiden? Bagaimana dengan pihak-pihak yang kemudian kinerjanya nyeleweng dan akhirnya malah tertangkap Komisi Pemberantas Korupsi (KPK)?

Apakah itu juga merupakan bagian kesalahan dari pemerintah pusat?

Memang iya, namun di sini peran dari pemerintah pusat juga tak bisa 100% fokus menanggulangi urusan masing-masing daerah (untuk itulah ada daerah otonom). 

Pemerintah pusat tak akan bisa bekerja sempurna dalam menjalankan visi-misi dari seorang pemimpin pusatnya, jika tak didukung pula dengan elektabilitas dari para pemimpin daerahnya. Jadi, penilaian elektabilitas setinggi apapun dari seorang presiden, akan menjadi kurang maksimal jika hal ini tidak diimbangi oleh elektabilitas dari para pemimpin daerah dan pengelola daerah masing-masing.

Jadi, baik-buruknya rekapitulasi hasil kerja dari seorang presiden, juga sepatutnya dibarengi dengan rekapitulasi kinerja dari para pemimpin daerahnya, dan ini adalah salah satu faktor pemulus dari keberhasilan sebuah negara untuk membangun dirinya dalam kurun waktu berapapun, termasuk dalam satu periode kepemimpinan seorang presiden.

5 tahun akan terasa maksimal jika presiden berhasil membawa dirinya terlihat meyakinkan bagi publik (dalam dan luar) dalam memimpin negaranya. Tak hanya aktif dengan kunjungan kenegaraannya saja, namun juga kunjungan ke berbagai daerah di negaranya yang memang patut untuk ditinjau hasil pelaksanaan kebijakan dalam upaya mensejahterakan rakyat.

Presiden juga manusia biasa. Mereka adalah pemimpin-pemimpin yang pasti akan memiliki kekurangan di beberapa sisi. Namun, akan lebih baik jika kekurangan itu bukan soal ketidaktegasan dalam mengambil keputusan yang penting. 

Kalau hanya soal gaya berbicara, penampilan dan lifestyle, itu bukan menjadi soal bagi seorang putra bangsa untuk menjadi pemimpin sebuah negara seperti Indonesia.

Termasuk ketika seorang pemimpin masih memiliki beberapa utang dalam visi-misinya. Karena, siapa yang tahu bahwa pemimpin beserta jajaran pemerintahan dan pengelola negara masih sedang menggodok visi-misi tersebut; antara direalisasikan, ditunda, atau dibatalkan. Semua pasti ada pertimbangannya, dan biasanya rakyat biasa tidak banyak tahu soal itu dan seringkali mudah terprovokasi dengan kabar-kabar yang menyudutkan kekurangan dari orang lain.

Jangankan seorang presiden, tetangga sebelah rumah saja tingkah lakunya bisa diperbincangkan di forum media sosial. Apalagi, ini merupakan seorang presiden yang pasti selalu menjadi sorotan lensa publik di mana pun dan kapan pun dia berada.

Lalu, apakah perlu seorang presiden menjabat masa bakti dua periode?

Ketika kinerja dalam satu periode sudah cukup memuaskan tentu tak memungkiri bahwa dirinya dapat memimpin kembali di periode kedua. Namun, di sini konsekuensinya ada dua. Apakah sistem dan kebijakannya berjalan lebih baik dari periode pertamanya, atau malah lebih buruk/menurun.

Semua orang tentu memilih kemungkinan yang pertama. Karena, logikanya sudah memiliki pengalaman di masa sebelumnya akan membuka gerbang yang lebih luas dalam mengeksplorasi sistem dan kebijakan ke arah yang lebih matang. 

Namun, kembali lagi pada suatu fakta yang mungkin amat dibenci oleh manusia itu sendiri. Yaitu, konsistensi.

Seorang presiden juga dapat mengalami permasalahan konsistensi terhadap kapabilitasnya dalam memimpin sebuah negara. Bertambahnya usia, menurunnya kesehatan, permasalahan negara yang ternyata bukannya menipis namun malah bertambah dan terus bermunculan, acapkali mengganggu konsentrasi dan kemampuan dari sosok pemimpin tersebut. 

Apalagi jika dirinya mulai ditinggal oleh pihak-pihak yang sebelumnya menjadi bagian dari tim penyukses visi-misi sebelumnya. Maka, hal ini tentu akan mempengaruhi kinerja presiden---siapapun itu.

Artinya, konsekuensi dari keberadaan presiden yang melanjutkan perjalanannya, tak serta-merta akan menjamin langkah yang lebih baik. Namun, juga bisa jadi akan lebih baik daripada memilih presiden yang baru yang mungkin jusru berpeluang akan merubah sistem dan kebijakan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang kurang tepat. 

Apalagi jika sistem dan kebijakan tersebut sudah tepat untuk masyarakatnya saat ini dan nanti.

Di sini, kita bisa melihat beberapa kemungkinan terhadap keberlanjutan masa pengabdian bagi Jokowi menjadi seorang presiden RI di periode kedua. Jika dirunut dengan pertimbangan semacam itu, Jokowi kemungkinan masih sangat pantas untuk menjadi presiden di era yang lebih baru---5 tahun ke depan tidak memungkiri akan adanya fase-fase baru---di dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

 Sebenarnya, ini ada di pilihan masyarakat Indonesia; apakah mau lanjut bermadu kasih bersama Jokowi dan pasangan barunya, Ma'ruf Amin, atau cukup sampai di periode ini saja. Pilih yang mana?

Malang,
6 Desember 2018
Deddy Husein S.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun