Mohon tunggu...
Christanto Panglaksana
Christanto Panglaksana Mohon Tunggu... Penulis

Warga pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Ketidakadilan di Antara Dua Sahabat: Kopi Sachet dan Rokok

4 Oktober 2025   13:37 Diperbarui: 4 Oktober 2025   13:52 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi warung (Kompas.com/SHUTTERSTOCK/RENHUE)

"Perlindungan kesehatan publik" tidaklah netral, melainkan sarat dengan agenda tersembunyi. Narasi kesehatan hingga intervensi global memainkan peran dalam menciptakan standar ganda antara kopi sachet dan rokok. 

Dua Sahabat Rakyat Kecil

Di sudut-sudut warung kelontong, kios pinggir jalan, hingga etalase minimarket, dua barang kecil selalu tersedia berdampingan: kopi sachet dan rokok. Keduanya seolah menjadi "sahabat setia" rakyat kecil dalam menjalani hari. 

Saat kantong menipis, kopi sachet jadi penyelamat semangat kerja, sementara sebatang rokok jadi teman melepas penat. Hubungan ini begitu melekat, sampai-sampai tidak sedikit orang menyebut keduanya sebagai simbol keseharian kelas pekerja.

Namun, di balik keakraban itu, terdapat perbedaan mencolok dalam cara negara memperlakukan keduanya. 

Kopi sachet seakan dimanjakan: ia bebas beriklan di televisi, diidolakan sebagai gaya hidup modern, dan nyaris tanpa regulasi ketat. Rokok, sebaliknya, dihujani stigma, ditekan dengan regulasi, dan diperlakukan layaknya biang kerok segala penyakit. 

Perbedaan ini menimbulkan pertanyaan mendasar: mengapa dua produk yang sama-sama berisiko justru diperlakukan dengan standar berbeda?

Jawaban sederhana tidak cukup untuk menjelaskan fenomena ini. Tidak cukup sekadar berkata "rokok lebih berbahaya" atau "kopi hanya minuman biasa." 

Faktanya, kopi sachet membawa bahaya kesehatan serius, terutama karena kandungan gula berlebih yang berkontribusi pada epidemi diabetes dan obesitas. Tapi, narasi publik tidak pernah menyoroti hal itu seintens wacana antirokok. 

Kopi Sachet: Bahaya Manis dan Kimia yang Ditolerir

Kopi sachet, dengan harga seribu hingga dua ribu rupiah per bungkus, telah menjadi bagian penting dari budaya konsumsi masyarakat. 

Praktis, mudah diseduh, dan memberi rasa manis yang menenangkan, produk ini menempel erat pada aktivitas sehari-hari: dari pekerja pabrik yang butuh tenaga, sopir angkot yang butuh konsentrasi, hingga mahasiswa yang mengejar deadline. 

Namun, di balik kepraktisan itu, kopi sachet menyimpan risiko kesehatan serius yang jarang dibicarakan. Kandungan gula dalam kopi sachet umumnya sangat tinggi, sering kali mencapai 20-25 gram per sajian. 

Padahal, WHO merekomendasikan konsumsi gula tambahan harian tidak lebih dari 25 gram. Artinya, satu gelas kopi sachet bisa langsung memenuhi atau bahkan melampaui kebutuhan gula harian tubuh. Jika dikonsumsi 2-3 kali sehari, maka risiko diabetes, obesitas, dan penyakit jantung meningkat tajam.

Ironisnya, meski bahaya gula dan kandungan kimia lain sudah terbukti secara ilmiah, kopi sachet tidak diperlakukan sebagai produk berbahaya. Tidak ada label peringatan bergambar penyakit pada kemasannya. Tidak ada cukai khusus seperti halnya cukai rokok. 

Bahkan, industri kopi instan bebas beriklan secara masif di televisi dan media sosial, menggandeng selebritas untuk membangun citra modern, energik, dan menyenangkan.

Lebih jauh, kopi sachet justru dilekatkan dengan nilai-nilai positif. Iklan menggambarkannya sebagai simbol persahabatan, kehangatan keluarga, bahkan produktivitas kerja. 

Narasi ini membuat masyarakat menormalisasi konsumsi kopi instan tanpa rasa bersalah. Dampak kesehatannya nyaris tak pernah dibicarakan dalam wacana publik. Seolah-olah bahaya gula tidak relevan dibandingkan bahaya nikotin.

Salah satu alasan mengapa kopi sachet lolos dari regulasi ketat adalah dominasi korporasi multinasional yang menguasai industri ini. Perusahaan-perusahaan besar dengan modal raksasa dan jaringan distribusi global memiliki kekuatan lobi yang sangat besar. 

Mereka mampu membentuk citra positif, memengaruhi regulasi, dan memastikan bahwa produk mereka tidak disentuh kebijakan fiskal yang memberatkan.

Negara pun tampak "ramah" terhadap industri kopi sachet. Tidak ada tekanan untuk membatasi iklan, tidak ada wacana serius tentang cukai gula, dan bahkan tidak ada upaya masif untuk mengedukasi masyarakat soal bahaya konsumsi berlebihan. 

Kondisi ini menunjukkan adanya bias regulasi: negara lebih memilih diam ketika berhadapan dengan kepentingan korporasi besar, meskipun taruhannya adalah kesehatan publik.

Dengan demikian, kopi sachet menjadi contoh nyata bagaimana bahaya bisa ditolerir ketika sejalan dengan kepentingan kapital besar. Produk ini terus bertumbuh, menguasai pasar, dan mengikat rakyat kecil dalam pola konsumsi manis yang berisiko. 

Namun, karena narasi yang dibangun adalah keakraban dan modernitas, masyarakat tidak pernah melihatnya sebagai masalah serius. Inilah bentuk ketidakadilan struktural pertama: toleransi selektif terhadap bahaya.

Rokok: Sapi Perah yang Distigmatisasi

Rokok menghadapi nasib yang jauh berbeda. Sejak lama, industri rokok menjadi penopang fiskal negara. Cukai rokok menyumbang lebih dari Rp200 triliun per tahun, menjadikannya salah satu sumber penerimaan terbesar. Industri rokok juga menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, mulai dari petani tembakau, buruh pabrik, hingga pedagang kecil di warung dan kios.

Namun, meski kontribusinya besar, rokok menjadi objek regulasi paling agresif. Setiap tahun, cukai rokok dinaikkan dengan alasan mengendalikan konsumsi. Bungkus rokok dipenuhi gambar seram penyakit. Iklan rokok dilarang di televisi, radio, dan berbagai media massa. 

Bahkan ruang merokok semakin dipersempit, dengan dalih melindungi nonperokok. Narasi publik pun dibangun untuk menempatkan perokok sebagai beban sosial.

Stigmatisasi ini membuat rokok menjadi simbol kebodohan dan ketidakpedulian terhadap kesehatan. Perokok tidak hanya menghadapi biaya tinggi akibat cukai, tetapi juga diskriminasi sosial dalam ruang publik. Sementara itu, negara tetap bergantung pada pemasukan dari rokok, menciptakan paradoks: rokok dibenci, tetapi tidak bisa ditinggalkan.

Lebih ironis lagi, perokok berasal dari kalangan masyarakat bawah yang justru menjadi kelompok paling terdampak oleh kenaikan harga. Rokok adalah bentuk "kesenangan murah" yang mereka miliki, namun negara menjadikannya sapi perah fiskal. Alih-alih menyentuh produk lain yang berbahaya, kebijakan justru fokus pada rokok sebagai kambing hitam kesehatan publik.

Stigmatisasi ini tidak lepas dari tekanan internasional. Lembaga seperti WHO gencar mendorong regulasi antirokok melalui kerangka FCTC (Framework Convention on Tobacco Control). 

LSM internasional dan lembaga donor pun mendanai kampanye antirokok di berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia. Dorongan global ini membuat pemerintah lebih berani "menghajar" rokok ketimbang produk lain yang tak mendapat sorotan internasional.

Akibatnya, rokok terjebak dalam posisi ambigu: di satu sisi dianggap penyelamat fiskal, bahkan penyumbang terbesar untuk program jaring pengaman kesehatan, tapi di sisi lain diperlakukan sebagai musuh kesehatan. 

Ambiguitas ini justru merugikan masyarakat bawah, yang menanggung beban fiskal sekaligus stigma sosial. Sementara itu, negara tidak berani menyentuh produk lain yang juga berbahaya tapi dilindungi oleh kekuatan kapital global.

Tak pelak, rokok menjadi contoh nyata bagaimana kebijakan publik bisa timpang. Dijadikan kambing hitam kesehatan, tetapi tetap diperas demi pemasukan negara. Rokok bukan sekadar produk, melainkan medan tarik-menarik antara kepentingan fiskal, tekanan global, dan politik domestik. 

Ketidakadilan struktural kedua pun tampak jelas: diskriminasi terhadap bahaya tertentu, sembari menutup mata terhadap bahaya lain.

Ketimpangan Narasi Kesehatan

Bila membandingkan narasi kesehatan yang berkembang, terlihat jelas bahwa rokok dan kopi sachet diperlakukan dengan standar berbeda. Rokok diposisikan sebagai simbol penyakit, sementara kopi sachet hanya dianggap minuman ringan biasa. 

Padahal, dari perspektif medis, keduanya sama-sama mengandung risiko. Rokok memang mengandung nikotin dan zat adiktif, tetapi kopi sachet dengan kadar gula tinggi juga merupakan penyumbang signifikan epidemi diabetes dan obesitas di Indonesia.

Lembaga internasional seperti WHO, lembaga donor, dan jaringan NGO antirokok bekerja sangat intensif untuk membentuk narasi tentang bahaya rokok. Buku, iklan layanan masyarakat, hingga peringatan di bungkus rokok semuanya diarahkan untuk memperkuat stigma. 

Sebaliknya, hampir tidak ada kampanye besar tentang bahaya gula tambahan atau minuman manis dalam kemasan. Hal ini membuat masyarakat lebih takut pada rokok dibandingkan gula, padahal data kesehatan menunjukkan keduanya sama-sama menimbulkan penyakit kronis.

Ketimpangan narasi ini juga dipelihara oleh media. Rokok hampir selalu diberitakan dalam konteks negatif: kerugian kesehatan, biaya BPJS, hingga beban ekonomi akibat penyakit. Sementara kopi sachet dipromosikan dalam iklan prime time televisi dengan pesan kebahagiaan dan persahabatan. 

Praktis media ikut melanggengkan standar ganda dengan menormalisasi bahaya gula dan menstigmatisasi bahaya nikotin.

Dampaknya, masyarakat menjadi tidak seimbang dalam menilai risiko. Konsumsi kopi sachet dianggap normal dan bahkan "keren", sementara merokok dianggap perilaku bodoh dan memalukan. 

Padahal, diabetes dan penyakit jantung akibat konsumsi gula berlebih jauh lebih sulit dikendalikan secara medis dan menelan biaya pengobatan yang sangat besar. Stigma ini membentuk persepsi publik yang keliru tentang apa itu bahaya kesehatan.

Bias regulasi dan narasi ini menunjukkan bahwa kesehatan publik bukan sekadar urusan medis. Ini adalah arena politik, di mana isu-isu tertentu diprioritaskan karena ada kekuatan besar yang mendorongnya. 

Bahaya rokok terus ditonjolkan karena ada konsensus global yang menekannya, sedangkan bahaya gula diredam karena industri minuman berpemanis dikuasai korporasi global dengan daya lobi kuat.

Jika negara sungguh-sungguh peduli pada kesehatan rakyat, seharusnya konsistensi diterapkan. Cukai minuman berpemanis atau kopi sachet mestinya diberlakukan sama kerasnya dengan cukai rokok. 

Kampanye publik tentang bahaya gula semestinya juga dilakukan sama masifnya dengan kampanye antirokok. Tapi, kenyataan menunjukkan sebaliknya: kopi sachet ditolerir, rokok dihajar habis-habisan.

Ketimpangan narasi kesehatan inilah bentuk ketidakadilan struktural ketiga. Bukan lahir dari data ilmiah semata, melainkan hasil dari kontestasi kepentingan. 

Mana bahaya yang diperbesar dan mana yang dikecilkan mencerminkan siapa yang punya kekuatan dalam mengendalikan narasi kesehatan global dan nasional.

Kapitalisme Global dan Lobi Korporasi

Untuk memahami mengapa kopi sachet dibiarkan dan rokok ditekan, kita perlu melihat struktur kapitalisme global. 

Industri kopi sachet dikuasai perusahaan multinasional besar yang beroperasi lintas negara. Mereka tidak hanya menjual produk, tetapi juga membangun citra melalui iklan, sponsor acara, hingga program tanggung jawab sosial perusahaan. Dengan modal dan jaringan global, mereka memiliki posisi tawar yang sangat kuat terhadap negara.

Lobi korporasi besar ini menjelaskan mengapa hampir tidak ada keberanian politik untuk mengenakan cukai pada produk kopi sachet atau minuman berpemanis. Setiap upaya ke arah itu segera mendapat perlawanan, baik dari industri maupun dari politisi yang dekat dengan kepentingan korporasi. 

Sebaliknya, industri rokok yang meski besar di dalam negeri lebih lemah dalam menghadapi tekanan global, sehingga lebih mudah dijadikan target kebijakan.

Selain itu, kapitalisme global juga beroperasi melalui filantropi. Banyak yayasan besar yang didanai tokoh korporasi global mendorong kampanye kesehatan tertentu, termasuk antirokok. 

Namun, kampanye serupa hampir tidak menyentuh gula atau kopi sachet. Kapitalisme filantropi ini dengan lihai menampilkan diri seolah peduli pada kesehatan, padahal selektif dalam menentukan siapa yang harus diperangi.

Narasi antirokok yang kuat juga tidak bisa dilepaskan dari agenda perdagangan internasional. Pasar rokok di negara maju sudah menurun drastis, sehingga perusahaan rokok mengalihkan perhatian ke negara berkembang seperti Indonesia. Tekanan global untuk mengurangi konsumsi rokok di negara berkembang bisa dilihat sebagai bagian dari kompetisi ekonomi, bukan semata urusan kesehatan.

Sementara itu, industri kopi sachet justru sedang berkembang pesat di negara berkembang, termasuk Indonesia. Pasar ini sangat menguntungkan, sehingga mustahil bagi kekuatan global untuk membiarkannya terganggu oleh regulasi. Inilah sebabnya kopi sachet dibiarkan tumbuh dengan narasi positif, meski risiko kesehatan sangat jelas.

Fenomena ini memperlihatkan bahwa regulasi kesehatan publik sering kali hanyalah instrumen dari kapitalisme global. Negara yang lemah daya tawarnya cenderung tunduk pada tekanan internasional, baik dalam bentuk lobi langsung maupun intervensi melalui lembaga donor. Rakyat kecil akhirnya menjadi objek kebijakan yang timpang, menanggung dampak dari standar ganda tersebut.

Inilah ketidakadilan struktural keempat, persisnya pada bagaimana kapitalisme global menentukan siapa yang boleh hidup bebas dan siapa yang harus ditekan. Bahaya kesehatan hanya dijadikan alasan, sementara kepentingan ekonomi-politik yang lebih besar menjadi penentu arah regulasi.

Kontrol Sosial dan Stigmatisasi

Ditelusuri lebih jauh, perbedaan perlakuan terhadap kopi sachet dan rokok juga mencerminkan dimensi kontrol sosial. Rokok tidak hanya dibatasi secara ekonomi melalui cukai, tetapi juga secara moralistik melalui stigma. 

Perokok dicitrakan sebagai orang tidak bertanggung jawab, beban keluarga, dan ancaman bagi orang lain. Narasi ini secara perlahan menciptakan pengelompokan sosial antara "warga sehat" dan "warga pencemar."

Kopi sachet, sebaliknya, diglorifikasi sebagai bagian dari kehidupan normal. Tidak ada stigma bagi peminum kopi instan, meski secara medis dampaknya serius. 

Konsumsi kopi sachet bahkan dianggap bisa meningkatkan solidaritas sosial: minum bersama teman kantor, begadang bersama teman kampus, atau sekadar mengisi waktu santai. Dengan demikian, kopi sachet menciptakan keterikatan sosial yang dianggap positif, berbeda dari rokok yang dianggap asosial.

Stigmatisasi rokok melahirkan diskriminasi di ruang publik. Ruang merokok dipersempit, harga dinaikkan, dan perokok dipaksa menyembunyikan kebiasaannya. 

Hal ini bukan hanya soal kesehatan, melainkan juga soal bagaimana negara mengendalikan perilaku warganya. Perokok dipaksa tunduk pada standar moral tertentu yang ditentukan oleh kebijakan kesehatan global.

Kontrol sosial ini menunjukkan bahwa regulasi kesehatan tidak netral. Digunakan untuk membentuk perilaku, bahkan identitas sosial. 

Perokok diposisikan sebagai "yang lain" (the other) dalam masyarakat, sementara peminum kopi sachet diposisikan sebagai bagian dari arus utama. Dengan cara ini, regulasi kesehatan turut membentuk hierarki sosial yang timpang.

Dimensi kontrol ini juga terkait erat dengan politik identitas. Tidak merokok bisa menjadi simbol status kelas menengah terdidik yang modern, sementara merokok dianggap perilaku kelas bawah yang ketinggalan zaman. 

Kopi sachet, meskipun produk murah, tetap diberi citra modern sehingga tidak mengganggu identitas kelas menengah. Dengan demikian, perbedaan perlakuan ini juga memperkuat stratifikasi sosial.

Stigmatisasi selektif ini menyingkap wajah lain dari kapitalisme: kesehatan publik dijadikan alat untuk membatasi kelompok tertentu sambil melanggengkan produk lain yang menguntungkan.

Bahaya gula tidak dibicarakan karena peminum kopi sachet melintasi semua kelas sosial, sementara perokok yang mayoritas berasal dari kelas bawah lebih mudah dijadikan target stigma.

Ketidakadilan struktural kelima pun jelas: negara dan masyarakat internasional menggunakan isu kesehatan untuk menciptakan kontrol sosial yang tidak seimbang. Rokok dijadikan kambing hitam perilaku, sementara kopi sachet dibiarkan menjadi simbol keakraban.

Membongkar Ketidakadilan Struktural

Dari uraian di atas, jelas bahwa kopi sachet dan rokok bukan sekadar produk konsumsi harian. Keduanya adalah pintu masuk untuk memahami bagaimana negara, kapitalisme global, dan narasi kesehatan bekerja membentuk kebijakan yang tidak adil. Kopi sachet dibiarkan tumbuh meski berbahaya, sementara rokok ditekan habis-habisan meski menopang fiskal negara.

Ketimpangan ini menunjukkan bahwa isu kesehatan publik tidak bisa dipisahkan dari kepentingan ekonomi-politik. Bahaya tidak diukur secara konsisten, tetapi dipilih-pilih sesuai dengan siapa yang berkuasa dalam menentukan narasi. 

Kapitalisme global, melalui lobi korporasi dan filantropi, mampu menutupi bahaya gula, sementara tekanan internasional menghantam rokok.

Akibatnya, rakyat kecil menjadi korban ganda. Mereka mengonsumsi kopi sachet karena murah dan mudah, padahal risikonya besar. Mereka merokok sebagai bentuk hiburan murah, tetapi dihukum dengan cukai tinggi dan stigma sosial. Dalam kedua kasus, rakyat kecil tetap menjadi pihak yang paling dirugikan.

Jika negara sungguh peduli pada kesehatan, konsistensi kebijakan harus ditegakkan. Gula harus diperlakukan sama seriusnya dengan nikotin. Cukai minuman berpemanis perlu dipertimbangkan, dan edukasi publik soal bahaya gula harus digalakkan. Tanpa itu, wacana kesehatan hanya akan menjadi alat legitimasi bagi kepentingan tertentu.

Lebih jauh, perlu ada keberanian untuk menantang standar ganda yang dibentuk oleh kekuatan global. Indonesia tidak boleh hanya menjadi pasar konsumsi yang tunduk pada narasi internasional. Kepentingan kesehatan rakyat harus diprioritaskan, bukan kepentingan kapitalisme global.

Jelas bahwa kesehatan publik bukanlah ranah yang murni ilmiah, melainkan medan pertempuran kepentingan. Kopi sachet dan rokok hanya contoh kecil dari bagaimana narasi dan regulasi bisa dimanipulasi. 

Dengan membongkar ketidakadilan struktural ini, kita bisa mulai merumuskan kebijakan yang lebih adil dan berpihak pada rakyat.

Pada akhirnya, perjuangan melawan standar ganda ini bukan hanya soal melindungi kesehatan, tetapi juga soal melindungi kedaulatan. 

Kedaulatan untuk menentukan sendiri siapa yang harus diprioritaskan, bahaya apa yang harus dihadapi, dan bagaimana rakyat kecil tidak lagi dijadikan sapi perah di balik retorika kesehatan publik.***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun