Mohon tunggu...
Christanto Panglaksana
Christanto Panglaksana Mohon Tunggu... Penulis

Warga pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Ketidakadilan di Antara Dua Sahabat: Kopi Sachet dan Rokok

4 Oktober 2025   13:37 Diperbarui: 4 Oktober 2025   13:52 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi warung (Kompas.com/SHUTTERSTOCK/RENHUE)

Kondisi ini menunjukkan adanya bias regulasi: negara lebih memilih diam ketika berhadapan dengan kepentingan korporasi besar, meskipun taruhannya adalah kesehatan publik.

Dengan demikian, kopi sachet menjadi contoh nyata bagaimana bahaya bisa ditolerir ketika sejalan dengan kepentingan kapital besar. Produk ini terus bertumbuh, menguasai pasar, dan mengikat rakyat kecil dalam pola konsumsi manis yang berisiko. 

Namun, karena narasi yang dibangun adalah keakraban dan modernitas, masyarakat tidak pernah melihatnya sebagai masalah serius. Inilah bentuk ketidakadilan struktural pertama: toleransi selektif terhadap bahaya.

Rokok: Sapi Perah yang Distigmatisasi

Rokok menghadapi nasib yang jauh berbeda. Sejak lama, industri rokok menjadi penopang fiskal negara. Cukai rokok menyumbang lebih dari Rp200 triliun per tahun, menjadikannya salah satu sumber penerimaan terbesar. Industri rokok juga menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, mulai dari petani tembakau, buruh pabrik, hingga pedagang kecil di warung dan kios.

Namun, meski kontribusinya besar, rokok menjadi objek regulasi paling agresif. Setiap tahun, cukai rokok dinaikkan dengan alasan mengendalikan konsumsi. Bungkus rokok dipenuhi gambar seram penyakit. Iklan rokok dilarang di televisi, radio, dan berbagai media massa. 

Bahkan ruang merokok semakin dipersempit, dengan dalih melindungi nonperokok. Narasi publik pun dibangun untuk menempatkan perokok sebagai beban sosial.

Stigmatisasi ini membuat rokok menjadi simbol kebodohan dan ketidakpedulian terhadap kesehatan. Perokok tidak hanya menghadapi biaya tinggi akibat cukai, tetapi juga diskriminasi sosial dalam ruang publik. Sementara itu, negara tetap bergantung pada pemasukan dari rokok, menciptakan paradoks: rokok dibenci, tetapi tidak bisa ditinggalkan.

Lebih ironis lagi, perokok berasal dari kalangan masyarakat bawah yang justru menjadi kelompok paling terdampak oleh kenaikan harga. Rokok adalah bentuk "kesenangan murah" yang mereka miliki, namun negara menjadikannya sapi perah fiskal. Alih-alih menyentuh produk lain yang berbahaya, kebijakan justru fokus pada rokok sebagai kambing hitam kesehatan publik.

Stigmatisasi ini tidak lepas dari tekanan internasional. Lembaga seperti WHO gencar mendorong regulasi antirokok melalui kerangka FCTC (Framework Convention on Tobacco Control). 

LSM internasional dan lembaga donor pun mendanai kampanye antirokok di berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia. Dorongan global ini membuat pemerintah lebih berani "menghajar" rokok ketimbang produk lain yang tak mendapat sorotan internasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun