Cukai rokok bukan sekadar angka, tapi perang nyata: kebijakan fiskal pro-rakyat vs kepentingan kapitalisme filantropi di balik gerakan anti-tembakau.
Purbaya di Tengah Panggung Global
Pergantian Menteri Keuangan dari Sri Mulyani ke Purbaya Yudhi Sadewa memantik diskusi hangat, bukan hanya di Jakarta, tetapi juga di pusat-pusat keuangan dunia. Sebagai figur dengan reputasi teknokrat, Purbaya menghadapi ekspektasi besar sekaligus keraguan tajam.Â
Salah satu isu paling menonjol yang langsung menempatkannya dalam sorotan adalah soal kebijakan fiskal terkait cukai rokok.Â
Sepintas isu ini tampak hanya bersifat domestik, tetapi sesungguhnya membuka benturan kepentingan antara paradigma fiskal nasional dan kapitalisme filantropi global.
Cukai hasil tembakau selama ini merupakan salah satu sumber penerimaan negara terbesar di luar pajak penghasilan dan PPN. Pada 2023, penerimaan cukai rokok mencapai lebih dari Rp 200 triliun, sekitar 10% dari total APBN.Â
Angka itu jauh melampaui penerimaan dari cukai lain, bahkan menjadi penopang bagi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) yang dialokasikan untuk daerah.Â
Dengan posisi strategis semacam itu, kebijakan Purbaya untuk tidak menaikkan cukai rokok, yang notabene berbeda dengan pola sebelumnya, bisa dibaca sebagai langkah strategis yang tidak sederhana.
Keputusan ini jelas bersinggungan dengan kepentingan global yang sejak lama mendorong agenda pengendalian tembakau.Â
Bloomberg Philanthropies, misalnya, telah menyalurkan lebih dari USD 1 miliar di seluruh dunia untuk kampanye anti-tembakau, dengan Indonesia sebagai salah satu target utama.Â