Situasi ini menciptakan siklus "pemadaman kebakaran" yang melelahkan.
Akibatnya, MBG yang semula dimaksudkan sebagai program unggulan justru berubah menjadi sumber kerentanan.Â
Bukannya menjadi modal legitimasi, MBG bisa menjadi batu sandungan yang terus mengganggu kredibilitas pemerintah.Â
Bahkan, program lain yang tidak terkait langsung dengan MBG pun bisa ikut terhambat, karena opini publik sudah terbentuk: pemerintah lalai melindungi nyawa rakyat.
Lebih buruk lagi, dalam iklim politik yang penuh dengan polarisasi, setiap insiden bisa dieksploitasi untuk melemahkan posisi presiden.Â
Lawan politik akan mudah menyerang dengan argumen sederhana: "Presiden lebih memilih angka daripada nyawa."Â Ini adalah narasi yang sulit dilawan, apa pun angka statistik yang ditampilkan pemerintah.
Dengan demikian, mempertahankan MBG dalam kondisi rawan justru menyedot energi politik yang seharusnya bisa dipakai untuk agenda pembangunan lain yang tak kalah penting.Â
Moratorium akan memberi jeda: energi bisa dialihkan ke reformasi sistemik, bukan sekadar respons darurat berulang-ulang.
Moratorium sebagai Keberanian Etis dan Strategis
Moratorium MBG bukanlah pengakuan kegagalan, melainkan pernyataan keberanian.Â
Keberanian untuk menempatkan nyawa di atas politik, keberanian untuk menghentikan program yang belum aman, dan keberanian untuk menata ulang sebelum terlalu terlambat.Â