Apalagi, kegagalan di ranah kesehatan tidak bisa dipulihkan hanya dengan angka, melainkan berhadapan langsung dengan penderitaan manusia.
Dalam kondisi ini, pilihan pemerintah tidak lagi sekadar antara melanjutkan atau memperbaiki. Yang mendesak adalah keputusan berani untuk melakukan moratorium total MBG, demi menyelamatkan nyawa rakyat dan sekaligus menjaga legitimasi politik Presiden Prabowo sendiri.
Reformasi Tata Kelola: Jalan yang Tak Bisa Instan
Mereka yang menolak moratorium sering berargumen bahwa masalah MBG dapat diselesaikan dengan reformasi tata kelola: memperbaiki dapur, melatih tenaga, menambah pengawasan, dan memperketat standar.Â
Argumen itu benar hingga batas tertentu, tetapi melupakan kenyataan bahwa reformasi tata kelola membutuhkan waktu panjang.
Membangun sistem keamanan pangan berskala nasional bukan perkara hitungan minggu. Diperlukan audit menyeluruh terhadap ribuan dapur, sertifikasi ketat, investasi rantai dingin, serta mekanisme monitoring digital real-time.
Selain itu, tenaga manusia yang terlibat harus melalui pelatihan ulang intensif. Semua itu tidak bisa dirampungkan tanpa mengorbankan waktu yang cukup panjang: berbulan-bulan, bahkan mungkin lebih dari setahun.
Masalahnya, selama rentang waktu reformasi berlangsung, distribusi makanan tetap berjalan. Artinya, risiko keracunan tetap mengintai. Insiden baru bisa terjadi kapan saja, dan tiap kasus akan menjadi sorotan publik.
Dengan kata lain, memperbaiki sistem sambil tetap menjalankan program sama saja dengan membiarkan rakyat hidup dalam ancaman terus-menerus.
Di sinilah moratorium menemukan urgensinya. Dengan menghentikan sementara MBG, pemerintah memiliki ruang tenang untuk membangun sistem atau format baru tanpa menambah daftar korban.Â
Ini bukan sekadar langkah teknis, melainkan wujud tanggung jawab negara terhadap nyawa rakyatnya.