Risiko Keracunan Tak Pernah Bisa Nol
Perlu ditegaskan bahwa bahkan setelah reformasi tata kelola dilakukan, risiko keracunan tidak akan pernah bisa nol.Â
Program makan massal selalu menyimpan potensi bahaya: kontaminasi bahan baku, kesalahan pengolahan, distribusi di cuaca panas, hingga human error dari tenaga dapur. Negara-negara maju dengan sistem pengawasan ketat pun tetap menghadapi risiko dan kasus keracunan.
Dengan cakupan MBG yang masif dan kondisi geografis Indonesia yang penuh tantangan, mustahil menghilangkan risiko sepenuhnya. Paling jauh, risiko hanya bisa ditekan.
Namun, dalam konteks politik dan sosial Indonesia, satu kasus keracunan saja sudah cukup untuk memojokkan pemerintah, apalagi jika kasus itu menimpa anak sekolah. Ini adalah kelompok yang secara emosional mudah memantik simpati publik.
Karena itu, pemerintah tak bisa lagi berlindung pada logika statistik. Benar bahwa secara persentase, ribuan korban keracunan mungkin kecil dibanding puluhan juta penerima. Tapi, dalam ranah etis dan politik, logika ini tidak berlaku.
Seperti dibuktikan oleh beredarnya klaim palsu bahwa Presiden Prabowo pernah menyebut kasus keracunan "hanya 0,00017 persen" yang sudah dibantah oleh cek fakta JPNN, publik akan langsung marah bila merasa nyawa rakyat direduksi jadi angka kecil.
Oleh sebab itu, langkah moratorium bukan hanya teknis, tetapi juga simbolik: pesan bahwa pemerintah tidak mau menggadaikan satu nyawa pun demi sekadar angka capaian.
Energi Politik Tersita Terlalu Banyak
Setiap kasus keracunan yang muncul menggerus energi politik pemerintah.Â
Alih-alih fokus pada agenda pembangunan jangka panjang, pejabat pusat dan daerah harus berulang kali mengurus krisis darurat: mengunjungi korban, menghadapi media, menjawab kritik, dan menenangkan masyarakat.Â