Sebuah Pertanyaan yang Menggelisahkan
Apa jadinya ketika rakyat dan pejabat sama-sama malas membaca? Pertanyaan ini seolah ringan, tapi menohok inti dari kehidupan publik kita.Â
Membaca bukan sekadar urusan menamatkan buku, melainkan fondasi berpikir, alat untuk mengasah nalar, dan medium untuk memahami dunia yang kompleks.Â
Tanpa membaca, rakyat kehilangan daya kritis. Tanpa membaca, pejabat kehilangan pijakan untuk membuat keputusan. Bila keduanya sama-sama malas membaca, demokrasi yang kita bangun berisiko berjalan tanpa arah.
Ironi mencolok hadir di negeri ini. APJII 2023 mencatat bahwa penetrasi internet Indonesia sudah mencapai 78,19 persen dari total populasi. Artinya, lebih dari 215 juta orang terhubung ke dunia maya.Â
Sementara itu, pengguna smartphone mendekati 188 juta jiwa. Gawai dan internet menjadi jendela dunia yang selalu terbuka. Tapi, apa gunanya jendela, bila kita memandang cermin yang hanya memantulkan luaran diri sendiri?
Di sisi lain, ada angka yang tampak menggembirakan. Indeks Tingkat Kegemaran Membaca (TGM) yang dihitung Perpustakaan Nasional naik dari 55,74 pada 2020 menjadi 72,44 pada 2024. Kenaikan ini menunjukkan ada geliat.Â
Namun, angka-angka itu tidak serta merta menandai lahirnya tradisi literasi. Membaca mendalam yang melahirkan daya kritis masih jauh dari kebiasaan sehari-hari.
Maka, tulisan ini hendak memasuki bagaimana paradoks itu bekerja. Gadget melimpah, tapi literasi rapuh. Demokrasi berjalan, tapi wacananya dangkal. Kebijakan dibuat, tapi sering tanpa basis pengetahuan yang kokoh. Pertanyaan di awal bukan sekadar retorika, melainkan cermin nasib bangsa.
Minat Membaca: Naik, tapi Belum Berakar