Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta dalam Sebatang Rokok

11 Oktober 2021   14:55 Diperbarui: 12 Oktober 2021   02:07 684
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Mungkin bulan sabit yang mengintip dari balik jendela itu tahu artinya. Akan kusangkutkan rinduku padanya agar ia bisikkan jawaban pada purnama nanti."

"Aduh" teriakku kesakitan ketika berusaha menggeser badanku ke tengah ranjang. Kemarin itu aku baru saja menjalani kemoterapi.

Gak enak banget. Pusing, mual dan rasa sakit bercampur aduk menjadi satu.

Kemoterapi membuat rambut rontok. Kini kepalaku jadi plontos, padahal tadinya rambutku panjang dan lebat. Tampilan wajahkupun berubah total. Aku jadi takut melihat wajahku lewat cermin.

Ah, aku lebih suka melihatnya lewat imajinasiku saja. Aku membayangkan wajah baby face dengan rambut tebal saat SMA dulu. Wajahku itu memang membawa hoki. Bukan hanya cewe-cewe sekolahku saja yang tertarik padaku, tetapi juga para guru wanitanya, hehehe.

Ibu Anita paling sayang padaku. Dulu kami pernah ketahuan merokok di belakang toilet ketika jam istrahat. Alex, Togar dan Jimmy langsung ditaboknya sedangkan aku cuma ditepuk saja di pipi, serasa dielus gitu. Sebenarnya aku ingin berkata, "Bu elus lagi dong bu" tapi untunglah lidahku kelu.

"Kampret!" teriakku menahan sakit di dada. Ya, aku tidak boleh bergerak terlalu banyak, termasuk tertawa terbahak-bahak tentunya. Aku ini mengidap kanker paru-paru stadium akhir.

Menurut dokter telah terjadi metastase intrapulmonal yakni penyebaran sel kanker ke dalam paru-paru baik kanan dan kiri. Padahal tadinya hanya ada sedikit benjolan saja di paru-paru kanan.

Sebenarnya kanker itu sudah metastase kemana-mana. Aku sendiri bisa merasakannya. Aku ini sekarat. Ini adalah rumah sakit ke-lima yang kusinggahi dalam dua bulan terakhir. Semuanya dengan opini yang sama, kanker paru-paru stadium akhir.

Ya sudahlah, aku sudah capek berpindah-pindah rumah sakit. Cukup sudah, aku tidak mau kemo lagi. Kalau mau mati, biarlah aku mati di sini saja dalam kesendirianku.

Sendiri? Eits tidak. Aku kini punya teman yang juga menjadi perawat di sini. Namanya Rita, teman SMP-ku dulu. Rita ini dulu pernah kucipok di samping kantin sekolah.

Ceritanya begini. Waktu itu pelajaran latihan pramuka. Pas waktu istirahat, aku kabur ke kantin untuk merokok. Rupanya guru menyuruh Rita mencariku ke kantin. Rita kemudian pergi ke kantin, tapi tak menemukanku. Ia pun mencariku ke samping kantin.

Tiba-tiba aku datang dari samping, memeluk dan mencium pipinya. Rita kaget dengan wajah memerah. Tampaknya ia bersiap untuk marah. Rupanya ia malu kalau sampai adegan tadi terlihat oleh ibu kantin.

Akan tetapi Rita tidak jadi marah ketika tahu kalau hanya "semut merah yang berbaris di dinding" saja yang menyaksikan adegan tadi. Kini wajahnya bersemu merah, "kamu dicariin pak Anto tuh" katanya sambil berlari masuk ke dalam sekolah. "Ashiap, hahaha" teriakku sambil berlari mengejarnya.

Aku memang suka menggoda Rita karena aku tahu ia suka padaku. Ia tidak akan mungkin mengadukanku walaupun ia sering melihatku merokok di samping kantin sekolah.

Apakah aku suka padanya? Jelas tidak. Anak laki kelas tiga SMP itu lebih tertarik pada mainan, atau bahkan "stensilan" daripada mikiran cewe. Beda dengan anak cewe yang lebih cepat masa pubertasnya, sehingga mereka ini suka mencuri-curi pandang ke teman cowo di kelasnya, terutama kepadaku. Setidaknya menurutku begitu, hahaha.

Setelah lulus SMP kami berpisah dan tidak pernah bertemu lagi. Yang kutahu Rita kemudian menikah dengan kakak kelas kami. 

Lewat WA-grup aku juga baru tahu kalau suami Rita sudah meninggal tiga tahun lalu karena sakit kanker paru. Suami Rita itu memang perokok berat.

Aku ketemu Rita kembali pas waktu masuk rumah sakit ini. Rita ternyata suster kepala ruangan. Awalnya ia tidak mengenaliku. Tentu saja karena kepalaku gundul dengan badan kurusan. Namun setelah melihat rekam medik dan garis mukaku, terutama bibirku, ia akhirnya mengenaliku.

Deja vu! Kami langsung akrab. Aku langsung tersentuh ketika melihat raut empati dari wajahnya. Sesuatu yang tidak pernah aku dapatkan dari orang-orang di dekatku, bahkan dari mantan istriku sendiri.

Yah, begitulah kehidupan. Aku seorang DJ (Disc Jokey) di diskotik. Sesekali juga ikutan main band. Ketika masih berjaya tentunya banyak teman dan duit. Akan tetapi di dunia ini tidak ada yang abadi. Apalagi di kehidupan malam yang glamor dan penuh kepalsuan.

Aku sebenarnya punya penyakit sinusitis dan alergi terhadap debu. Padahal aku perokok berat dan lingkungan kerjaku itu penuh dengan asap rokok. Debu dan juga polutan lain menempel di seluruh dinding, lantai bahkan hingga langit-langit ruangan diskotik.

Diskotik itu ruangan kedap tanpa ventilasi. Sirkulasi udara hanya mengandalkan AC dan exhaust fan ala kadarnya saja. Pada saat weekend diskotik dibanjiri pengunjung dan nyaris seperti sauna saja.

Akan tetapi pengunjung tidak peduli. Mereka larut dalam kebahagian semu sambil berjingkrak-jingkrak dengan rokok di tangan. Asap rokok mereka ini sungguh menyesakkan dadaku.

Siapakah yang bertanggung jawab atas keadaan itu? Tentu saja aku, karena aku DJ-nya. Aku yang meracik lagu dan membuat mereka ini jadi liar. Ya itu, aku memang digaji untuk membuat orang jadi liar,hehehe.

Lima belas tahun jadi DJ dan terpapar polusi udara diskotik, membuat aku terkapar. Aku kemudian terkena kanker paru-paru. Awalnya masih stadium dini, tapi aku abai, tidak peduli. Aku tetap saja merokok, "nge-DJ" dan "ngalong." Ya jelas ngalong, wong tidurnya lepas subuh, bangunnya lepas zuhur. Sarapan dan makan siang digabung jadi satu. Kondisi tubuhkupun kian memburuk!

***

"Hei Don, sudah makan?" Rita tiba-tiba muncul membuyarkan lamunanku tentang masa SMP dulu.

Aku hanya mengangguk pelan sambil senyum-senyum.

"Lha koq ditanyain malah senyam senyum?" tanya Rita mendekatiku.

"Enggak, aku tadi lagi ngebayangin waktu aku nyipok kamu pas SMP dulu, eh kamu trus masuk"

Wajah Rita seketika memerah. Eh buset, wajah itu persis banget seperti dua puluh tahun lalu! Aku terperanjat melihatnya. Masih adakah rasa tersisa setelah selaksa rindu terpendam? Seketika nyeri di dada menguap entah ke mana!

 "Lha ini buburnya koq gak dimakan, aku suapin ya" kata Rita menutupi rasa groginya.

Aku hanya mengangguk pelan ketika Rita meletakkan serbet di bawah dagu, lalu ia mulai menyuapiku. Astaganaga! Belum pernah ada perempuan selain mediang ibu yang pernah menyuapiku seperti ini. Ya ampun, aku jadi baper pakai banget.

Seminggu di rumah sakit bersama Rita serasa sewindu mengenalnya. Kalau dulu ia harus curi-curi pandang menatapku, kini tidak lagi! Maklum dulu itu ia perawan aku perjaka. Kini ia janda aku duda, alamak! 

Kini justru aku yang grogi kalau ia menatapku dengan tatapan penuh arti seperti itu. Apa artinya akupun tak tau. Mungkin bulan sabit yang mengintip dari balik jendela itu tahu artinya. Akan kusangkutkan rinduku padanya agar ia bisikkan jawaban pada purnama nanti.

***

"Makan lagi dong sayang, supaya gak kembung, dikit aja ya" bujuk Rita padaku.

Aku hanya menggeleng, "cape" jawabku lemah.

"Yah uda gapapa. Posisi tidur kamu nyaman?

"Iya nyaman. Aku dari tadi mikirin kamu aja"

"Lha koq malah mikirin aku?" tanya Rita sambil tersenyum. Senyumnya manis banget, membangkitkan gairahku.

Aku memonyongkan mulutku, dan Rita langsung mengecupnya, membuat kami berdua tersenyum malu.

"Kamu baik banget sama aku, aku gak tau cara membalasnya"

"Membalasnya ya kamu harus kuat dan sembuh Don. Itu aja. Makan banyak dan tetap semangat, ok sayang?" kata Rita sambil memelukku. "Coba kalau setahun lalu kita ketemu, aku pasti ngurusin kamu. Kamu pasti sudah sehat dengan rambut gondrong lagi" kata Rita sambil membelai kepalaku.

Tanpa terasa dua titik air mata jatuh membasahi pipiku.

"Kamu nangis ya sayang, kenapa?" tanya Rita sambil melap air mataku.

"Rit, aku senang dan nyaman berada di dekatmu. Aku merasa damai bersamamu. Aku menyesal karena sejak dulupun rasa itu sudah ada, tapi aku selalu menyangkalnya. Lihat gelang di tangan kananku ini. Ini dari tali kur pramuka punya kamu yang jatuh di samping kantin dulu. Aku sesekali memakainya untuk keberuntungan."

Kini air mata Rita yang jatuh bercucuran, "Ayo Don ngomong lagi, apa yang kamu rasakan."

"Oh no please Rit, don't start what we can't finish. Aku sudah sekarat dan gak punya apa-apa. Aku gak bisa ngomong lebih lagi karena itu akan membuat kamu semakin menderita." Akupun tak kuasa lagi menahan tangis.

"Don, aku gak peduli. Tiap hari aku melihat orang sekarat dan exit. Namun tidurku tak pernah nyenyak, apalagi sejak kejadian di kantin SMP dulu itu karena selalu bertanya, pernahkah kamu, sekali aja, suka sama aku? Don, aku jelas melihat gelang di tanganmu, tapi aku ingin mendengar langsung dari mulut kamu Don?"

"Rit, aku tidak pernah cinta sama kamu. Itulah yang selalu tertanam di kepalaku. Akan tetapi kisah di kantin itu tidak pernah lekang dalam ingatanku. Aku tak tahu apa itu cinta karena tak pernah merasakannya. Tapi aku akhirnya sadar kalau aku benar-benar cinta sama kamu Rit. Sayangnya aku kehabisan waktu." 

Kini kami berdua menangis sambil berpelukan.

***

Aku terbangun sambil menatap jam dinding yang menunjukkan pukul 2.30 dini hari. Perasaanku tak enak. Sepertinya aku mati rasa, tak bisa merasakan sensasi dari tubuhku sendiri.

Rita tertidur pulas di sofa. Aku kemudian mengambil rokok dan korek dari dalam tas, lalu mengendap perlahan ke luar dari kamar.

Di samping kamarku ada gudang kecil tempat menyimpan kain pel dan sapu. Gudang ini mempunyai dua pintu dan tembus ke luar ruangan. Jadi aku keluar lewat gudang itu untuk menghindari suter yang berjaga di nurse station.

Aku kemudian duduk di kursi taman sambil menyalakan rokok.  Udara luar terasa dingin membuat tanganku jadi tremor. Kurasa waktuku sudah dekat. Kakiku terlihat putih, pucat sekali. Aku terperanjat ketika menyentuhnya. Dingin sekali seperti dinginnya mayat. Anehnya kakiku tidak merasakan apa-apa sama sekali.

Aku kemudian mengisap rokokku, rokok dan isapan terakhir yang bisa kulakukan sebelum rokok itu terjatuh karena jari tanganku tak mampu lagi memegangnya. Setelah itu akupun terkulai jatuh.

Aku tersadar ketika "mereka" kemudian memegangku. "Ayo kita segera pergi" katanya padaku.

"Ke mana kita pergi?" kataku.

"Ke tempat ayah dan ibumu pergi, Ke tempat kakek dan nenekmu pergi dan ke tempat leluhurmu pergi."

"Bolehkah aku pamit sebentar kepada pacarku? kasihan, nanti ia pasti kebingungan mencariku"

"Sayangnya waktu kita sudah habis"

"Sebentar saja, aku cuma mau bilang aku sayang dia, aku cinta dia."

"Maaf waktumu sudah habis. Katakan saja lewat mimpi. Atau ceritakanlah kepada bulan, bintang dan cakrawala di sana. Jadi kalau nanti pacarmu memandang ke langit, ia akan segera tahu kalau kamu sayang dan cinta kepadanya"

Tiga hari kemudian aku memandang Rita dari kejauhan. Ia berbaring di atas pusaraku sambil menangis, lalu memanjatkan doa, "Tuhan kalau Engkau mengizinkan aku jatuh cinta lagi, tolong jangan berikan aku seorang perokok..."


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun