Rita tertidur pulas di sofa. Aku kemudian mengambil rokok dan korek dari dalam tas, lalu mengendap perlahan ke luar dari kamar.
Di samping kamarku ada gudang kecil tempat menyimpan kain pel dan sapu. Gudang ini mempunyai dua pintu dan tembus ke luar ruangan. Jadi aku keluar lewat gudang itu untuk menghindari suter yang berjaga di nurse station.
Aku kemudian duduk di kursi taman sambil menyalakan rokok. Â Udara luar terasa dingin membuat tanganku jadi tremor. Kurasa waktuku sudah dekat. Kakiku terlihat putih, pucat sekali. Aku terperanjat ketika menyentuhnya. Dingin sekali seperti dinginnya mayat. Anehnya kakiku tidak merasakan apa-apa sama sekali.
Aku kemudian mengisap rokokku, rokok dan isapan terakhir yang bisa kulakukan sebelum rokok itu terjatuh karena jari tanganku tak mampu lagi memegangnya. Setelah itu akupun terkulai jatuh.
Aku tersadar ketika "mereka" kemudian memegangku. "Ayo kita segera pergi" katanya padaku.
"Ke mana kita pergi?" kataku.
"Ke tempat ayah dan ibumu pergi, Ke tempat kakek dan nenekmu pergi dan ke tempat leluhurmu pergi."
"Bolehkah aku pamit sebentar kepada pacarku? kasihan, nanti ia pasti kebingungan mencariku"
"Sayangnya waktu kita sudah habis"
"Sebentar saja, aku cuma mau bilang aku sayang dia, aku cinta dia."
"Maaf waktumu sudah habis. Katakan saja lewat mimpi. Atau ceritakanlah kepada bulan, bintang dan cakrawala di sana. Jadi kalau nanti pacarmu memandang ke langit, ia akan segera tahu kalau kamu sayang dan cinta kepadanya"