Meski tidak selalu berasal dari draft-draft awal, para rookie memang  cenderung lebih bersahabat dengan tim-tim yang sedang membangun kembali timnya dari awal bermaterikan pemain muda atau tim-tim yang sudah sejak lama dikenal rajin memainkan para rookie, seperti Miami Heat (dengan para pemain antah-berantahnya), Memphis Grizzlies (dengan pemain berkesan kurang bertenaganya, namun entah kenapa punya jump shot kalem dan defense luwes), Chicago Bulls, San Antonio Spurs (yang sistem pembibitan juga ditiru Oklahoma City Thunder).
Terlebih usia para rookie pada draft NBA belakangan juga jauh lebih muda dari pendahulunya seperti Michael Jordan (3, 1984), Larry Bird (6, 1978), atau bahkan Tim Duncan (1, 1997), yang sempat menimba pengalaman antara tiga sampai empat musim di kampus masing-masing, dan kelak bermain dengan sesama rookie dari angkatan (yang tidak) berbeda (jauh), selama setidaknya lima atau enam musim, sebagaimana para pemain yang memperkuat tim-tim yang tampil dominan dari era 1960-an hingga mungkin pertengahan 1990-an, seiring makin berkembangnya jumlah tim NBA di era tersebut, berikut kompetisi antar tim di dalamnya.
Entah gimana Miami Heat selalu bisa memberi ruang berkembang untuk para rookie-nya termasuk (mungkin) Kasparas Jakucionis
Boleh jadi dimulai oleh Houston Rockets pada pertengahan dekade 1990-an, nyaris semua tim, termasuk Chicago Bulls yang awalnya lebih banyak memainkan pemain binaan sendiri saat meraih tiga gelar juara beruntun pertama (1991-1993), mulai memercayakan para pemain yang matang bersama tim lain seperti Ron Harper (Los Angeles Clippers), bokap draft NBA no.2 musim ini, Dylan Harper, defender bengal Dennis Rodman (Detroit Pistons), serta center Minnesota Timberwolves, Luc Longley, untuk menemani duo pemain kunci mereka Toni Kukoc eh Scottie Pippen dan Michael Jordan yang turut membawa Bulls meraih tiga cincin juara beruntun kedua (1996-1998).
Menariknya, meski pertimbangan tim dalam memilih calon rookie incarannya, khususnya pada urutan-urutan awal, biasanya tidak berbeda jauh dari konsensus yang didasarkan pada penampilan dominan pemain bersangkutan sepanjang musim (berikut keunikan skill, postur, hingga kematangan permainan), yang logika pembenarannya bisa ditelururi setidaknya lewat klip scouting report, keputusan tim dalam memilih rookie kadang juga dipengaruhi permainan yang sedang tren atau setidaknya sosok kunci yang ada di dalamnya, meski tidak selalu berasal dari tim juara, seperti halnya saat Minnesota Timberwolves memilih Andrew Wiggins (1, 2014) yang gaya bermainnya sempat disandingkan dengan Kawhi Leonard, yang naik daun tepat sebelum Wiggins didraft atau Trae Young (5, 2018) yang visi serta rataan percobaan tembakan tiga angka sempat disamakan dengan Steph Curry, meski Trae justru kini lebih dikenal sebagai playmaker licin produktif ketimbang penembak jitu.
Ekspetasi penikmat NBA terhadap para rookie justru kerap baru terpenuhi ketika trennya sudah tidak lagi seheboh di awal, sebagaimana draft angkatan 2022 yang justru berhasil memenuhi ekspetasi yang disematkan pada draft angkatan 2019 yang awalnya mengedepankan potensi para pemain tangkas yang akurasi tembakannya belum begitu terasah seperti Zion Williams, Jarret Culver, Cam Reddish, Romeo Langford atau Grant Williams.
Channel Resmi NBA
Berbekal akurasi tembakan yang lebih terasah, para pemain seperti Paolo Bonchero, Jalen Williams, Jaden Ivy, hingga Ben Mathurin yang awalnya terlihat lebih cungkring, justru bisa terlihat lebih kokoh namun tetap luwes, dua atau tiga tahun setelahnya, tepatnya saat malam pemilihan rookie NBA atau yang lebih akrab disebut draft night. Kesiapan postur dan kematangan permainan para rookie tahun 2022 tersebut (bahkan setahun sebelumnya) seolah menjadi kriteria pembanding bagi para pemain yang setidaknya bisa masuk bursa draft NBA tahun-tahun berikutnya, selama tidak ada perbedaan mendasar pada permainan NBA yang hadir belakangan.