KENDATIÂ tidak setiap tahun, dulu ada saja kesempatan naik kereta menuju Surabaya. Pagi setelah turun di Stasiun Gubeng, tujuan pertama saya adalah depot soto di dekatnya.
Soto Lamongan. Masakan berempah dan berkuah yang tak pernah membosankan disantap. Menghadirkan rasa gurih alami yang tidak mudah diterangkan. Makan langsung untuk mendapatkan pengalaman rasa.Â
Eh, saya malah belum menyantap soto di tempat asalnya, Kabupaten Lamongan.
Sebetulnya ada penjualnya di Jakarta. Tidak sulit mencarinya. Namun, tidak semua menyajikan rasa soto seperti disajikan oleh depot dekat Gubeng.
Ada yang kuahnya terasa biasa-biasa saja. Ada pula yang terlalu banyak dibubuhi micin, penyedap buatan yang membuat tenggorokan kering. Bahkan, bikin sakit kepala bila kebanyakan.
Saya tidak anti micin (MSG, monosodium glutamate). Tidak! Penambahan wajar membuat makanan tambah lezat. Pembubuhan micin berlebihan menjadikan hidangan terasa tidak karuan.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI mengatakan, batas aman konsumsi micin dalam sehari bagi orang dewasa adalah 6 gram, setara dengan satu setengah sendok teh (alodokter.com).
Sesungguhnya, pada daging sapi, udang, ayam, dan pangan protein tinggi lainnya ada MSG alami. Olahan udang balado, misalnya, tak perlulah ditambahi micin. Bakal gurih keterlaluan, sehingga membuatnya terasa takenak.
Demikian pula dengan masakan soto, yang pada umumnya merupakan rebusan daging sapi atau ayam. Penambahan micin akan merusak gurih alaminya.
Saya kurang suka soto yang telah dibubuhi micin, kendati tak lantas tidak menyantapnya habis. Makan harus habis, tidak patut menyisakan makanan!
Baiklah, balik lagi. Di Jakarta tidak banyak soto Lamongan yang dapat memenuhi permintaan lidah. Salah satu yang saya suka dan kemudian jadi langganan adalah soto di daerah Setiabudi, Jakarta Selatan.Â
Rasanya, ada cabangnya di Lapangan Roos Tebet. Mungkin Kompasianer Irwan Rinaldi Sikumbang dapat menegaskannya.
Soto Lamongan di Kota Bogor? Ada beberapa, dari soto dengan rasa biasa saja hingga yang memenuhi selera. Satu penjual soto Lamongan langganan terletak di Jalan Jenderal Sudirman, Kota Bogor.
Sayangnya, warung tenda penyedia soto dan rawon itu buka malam. Belakangan ini saya tidak lagi berlaku sebagai makhluk malam. Jadi, sudah lama betul saya tidak menyantap soto Lamongan dengan rasa pas di lidah.
***
Sabtu pekan lalu saya menyusuri Jalan Jenderal Sudirman. Di area parkir sebuah kompleks rukan dekat Kodim 0606 Kota Bogor terlihat aneka jajanan: sate, bubur ayam, soto mi, gudeg, nasi bebek, dan sebagainya.
Mereka buka dari sebelum waktu buka kantor pukul sepuluh pagi. Pada akhir pekan, waktu tutupnya lebih siang.
Beberapa kali saya melaluinya. Ada penjual soto Lamongan. Salah satu cirinya, pada gerobak terdapat bidang miring untuk meletakkan daging dan ayam matang. Maka saya menghampirinya. Terdapat beberapa pilihan isi: ayam, daging, atau babat.
Saya memilih soto ayam nasi campur. Maksudnya, irisan ayam, nasi, dan kuah berada di dalam satu mangkuk. Berbeda dengan lainnya, saya lebih memilih semuanya bercampur jadi satu, dibanding memisahkan antara masakan berkuah dan nasi.
Bisa jadi kebiasaan itu melekat waktu masih tinggal di Malang, Jawa Timur. Rasanya, kurang afdal memisahkan soto dan nasi. Satukan mereka dalam damai dan cinta, agar menikmati perjalanan hidup.
Semangkuk soto lengkap dengan nasi terhidang di hadapan. Padanya terisi nasi setengah piring, potongan ayam kampung, setengah butir telur rebus, tauge (kecambah) panjang, kubis (kol) rajang, irisan seledri, kuah, dan koya (kerupuk udang dihaluskan bersama bawang putih goreng) disiram kuah masih mengepul.
Penataan dan tampilan menyatakan bahwa hidangan berkuah itu adalah soto Lamongan. Kuah bening kekuningan dan aroma menguar darinya menguatkan sangkaan tersebut.
Sebelum menambahkan air perasan jeruk nipis dan sambal, ada baiknya mencicipi kuah barang sesendok. Hmmm ..., gurih. Rebusan ayam kampung memunculkan kuah dengan rasa enak.
Tidak kentara rasa penyedap buatan. Terasa rempah pembentuk soto Lamongan. Tercecap samar bawang goreng pada kuahnya. Kombinasi rasa yang mengingatkan pada soto Lamongan di dekat stasiun Gubeng zaman lampau.
Asamnya perasan jeruk nipis memperkaya rasa, menguatkan gurih alami. Pembubuhan sedikit sambal akan menggigit lidah dan merangsang mulut untuk terus mengunyah. Kemudian kriukan kerupuk udang menambah pengalaman rasa.
Takbijak menikmati kelezatan dalam ketergesaan. Resapi kunyahan dengan rasa syukur bahwa telah mencicipi hidangan yang lama diidamkan: soto Lamongan nan gurih alami.
Tidaklah rugi membayar Rp22.500 (Rp19.000 untuk semangkuk soto ayam nasi campur dan Rp3.500 kerupuk udang). Segelas teh tawar, gratis.
Cocok. Lain waktu saya kembali, sarapan soto Lamongan di Jalan Sudirman, Kota Bogor. Tak perlu jauh-jauh ke Gubeng, Surabaya, untuk menikmatinya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI