SOPIR angkot nomor 12 meminta izin kepada dua penumpangnya, untuk sedikit menyimpang dari jalur. Biasanya, angkutan kota rute Cimanggu-Pasar Anyar belok kiri menuju pasar tradisional terbesar di Kota Bogor itu. Sekali ini ia berjalan lurus.
"Isi gas dulu ya, pak," sopir bertutur sopan.
Tujuannya adalah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG), yang berada di area kantor Perusahaan Gas Negara (PGN) Bogor. Tampak antrean angkot mengisi Bahan Bakar Gas (BBG). Hanya angkot, tidak ada kendaraan bermotor lain yang antre, entah mengapa.
Bagi sopir angkot, di tengah sepinya penumpang maka mengisi kendaraan dengan BBG lebih menguntungkan, ketimbang mengisi Bahan Bakar Minyak (BBM).
Sejak keberangkatan hingga tujuan hanya ada dua penumpang. Bertambah satu penumpang dari Pasar Anyar. Angkot-angkot dengan rute sama tampak kosong, atau berisi dua tiga penumpang. Jumlah penumpang kian surut.
"Sepi. Semua orang punya motor. Satu rumah bisa punya dua tiga motor," terang sang sopir.
Di tengah maraknya penggunaan kendaraan pribadi, sopir tabah mencari penumpang. Satu andalan adalah anak sekolah. Meskipun membayar ongkos lebih sedikit dibanding penumpang umum, anak sekolah merupakan sumber pemasukan menggembirakan.
Sopir meminjam angkot dengan sistem setoran, Rp100.000 untuk operasional dari pagi sampai Maghrib. Pendapatannya fluktuatif. Kadang setoran tidak terpenuhi.
"Yang penting jujur kepada pemilik mobil. Sampaikan jumlah tarikan setiap hari, lebih maupun kurang. Jangan sampai dapat lebih, lapor kurang setor."
"Kurang setor" adalah pendapatan bersih di bawah nilai setoran. Pendapatan bersih merupakan jumlah ongkos diterima dikurangi biaya bahan bakar, makan, iuran, dan lainnya.