Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Senja, Gerimis, dan Kopi Paling Luka

26 Oktober 2021   06:59 Diperbarui: 26 Oktober 2021   07:01 830
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kopi hitam tinggal setengah (dokumen pribadi)

Langit senja menitikkan tangis. Dari balik kaca berembun, seorang wanita memandang pria sedang duduk menikmati kopi menyendiri di bangku taman.

Hawa hangat menumbuhkan tunas-tunas kenangan di bawah rambut gelombangnya. Jarak dan sekat kekar menghalangi. Tidak mungkin bersemi kembali.

Ia tahu. Sangat tahu bahwa, kini, dada bidang tempatnya pernah bersandar itu teramat rapuh, menyimpan luka tak tersembuhkan. Gerimis.

"Maafkan aku."

***

Seorang pria tercenung. Ingatannya membubung-bumbung mengikuti asap putih bergulung-gulung menembus daun-daun, lalu lenyap ditelan awan yang menurunkan titik-titik air. Hhhh...

Ku takkan berkisah tentang gerimis, titik-titik air langit menghunjam tabah dalam gigil paling sakit

Tidak

Aku juga tak ingin bercerita perihal senja ungu, penggubah kata-kata rindu pada awan kelabu paling ngilu

O tidak)*

Burung-burung merpati mengepakkan sayap, beterbangan menghindari ayunan lengan melempar biji-bijian dari kantong kertas berwarna cokelat. Sejenak. Kembali turun ke pelataran, paruh-paruh mungil mematuk butir-butir jagung.

Pria menghela napas. Guratan-guratan pada dinding dada membuatnya sesak. Tidak pernah sepanjang hidupnya ia merasakan rasa sakit sesakit-sakitnya seperti sekarang. Tiada pernah.

Betapa, dulu tangan mungil membawa kantong cokelat berisi jagung pipilan yang mereka beli di pasar anyar senantiasa bersama-sama. Dua sejoli bergandengan tangan bercanda menyusuri trotoar.

Beriringan dengan puspa hati memadu asmara tanpa memedulikan raungan mesin-mesin saling mencuri kesempatan. Bentakan nyaring klakson mobil melawan gerung amarah sepeda motor. Dendam, kebencian, ego bercampur-baur menerbangkan debu dalam deru.

Memang, dunia keindahan hanya milik mereka berdua. Hati berbunga-bunga tertawa riang, mengabaikan pertengkaran jalanan di tengah kota berhias dinding-dinding kaku menjulang tinggi, menuju sebuah keelokan.

Taman yang menyimpan teduh pepohonan, memayungi bunga-bunga warna-warni. Harum segar menghambur seiring semilir angin.

Di sana, setiap waktu, ratusan burung merpati berkumpul, mematuk-matuk biji-bijian yang dilemparkan oleh pengunjung. Sesekali burung-burung terbang rendah, mengepakkan sayap menunggu lemparan.

Pemandangan menyenangkan sekaligus menyejukkan dalam suasana teduh, melupakan kebisingan dan keruwetan hidup.

Pada beberapa bagiannya terletak bangku-bangku. Di atasnya duduk keluarga-keluarga menikmati kedamaian. Sebagian lagi ditempati oleh pasangan-pasangan muda menjalin janji.

Tiada perebutan pun amarah. Hanya ada cinta dan hangatnya suka cita.

Dua sejoli menuju tempat favorit, sebuah bangku taman cenderung tersendiri dari tempat duduk lain.

Tangan pria merogoh tas tenteng mengeluarkan sebuah gelas tertutup rapat berisi kopi panas, minuman dingin, dan kudapan.

Sang wanita membuka kantong kertas berwarna cokelat, menggenggam dan melempar sebagian isinya kepada kawanan burung yang terbang rendah. Burung-burung merpati kembali turun mengejar butir-butir jagung berlarian di pelataran taman.

Wanita berambut gelombang tertawa riang, menyandarkan kepalanya kepada dada bidang yang siap melindungi terhadap apa saja. Pria tersenyum bahagia memandang penuh cinta wajah kekasihnya yang berpendar-pendar.

"Kopi tinggal setengah," seru sang wanita.

"Tidak, kopi masih ada setengah," tangkis pria dengan percaya diri.

"Yakin?"

"Setengah cangkir kopi adalah pertanda separuh jiwaku pergi.")**

Mata bening membelalak.

"Ya. Separuh jiwa yang mengisi relung hatimu."

Rona indah merambati wajah pualam yang menunduk tersipu.

"Dalam waktu tidak terlalu lama, aku akan meminta kepada orang tuamu agar kelak engkau merawat anak-anak kita."

"Benarkah?"

Anggukan pria merangsang sang wanita memeluk erat, lalu menyandarkan kepalanya di degupan dada bidang.

Burung-burung merpati beterbangan, lalu kembali ke pelataran. Bunga-bunga bermekaran menyemburkan aroma wangi. Angin sejuk bersemilir di antara daun-daun berkibar-kibar.

***

Pada senja gerimis, langit menitikkan air pada kopi hitam tinggal setengah. Kopi paling pahit menemani seorang pria duduk menyendiri di bangku taman. Bangku taman yang sama.

Kopi setengah menyerana tentang pahit teramat luka, sejak engkau ditelan malam paling duka)*

Sang wanita segera menghapus titik-titik air menggenangi mata, ketika pintu mobil terbuka dan suara bariton bertanya, "kenapa sayang, ada hal mengganggu?"

"Enggak. Gak apa-apa, Cuma kelilipan. Ayo jalan, Pak," wanita menyeru ke depan.

Sopir menarik tuas persneling ke posisi D. Sedan berwarna hitam melaju menuju tengah kota, mengasapi kopi paling luka.

)* Dipetik dari puisi "Gerimis, Senja, dan Kopi Setengah" karya Budi Susilo, secangkirkopibersama.com

)** "Separuh Jiwaku Pergi" adalah lagu dari penyanyi Anang Hermansyah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun