Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cerpen] Telepon dari Mama

23 Februari 2020   07:15 Diperbarui: 23 Februari 2020   07:15 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cahaya matahari belum genap mengusap daun-daun berembun, burung-burung mencericit di ranting-ranting, dan telepon genggam bergetar bak dengkur kucing di atas meja samping tempat tidur.

Surya mengintip malas layar yang mengedipkan sebuah nama: Mama. Wajahnya mendadak mengeras, tegang. "Ada apa ya sepagi ini Mama menelpon? Tumben...!"

Suara di seberang dengan nada mendesak menyuruhnya, bukan sekedar meminta tolong, untuk datang sebelum jam delapan pagi disertai penjelasan panjang lebar seperti biasanya. Surya mengenal kemauan seperti itu.

Pikirannya mengambang setelah percakapan per-telepon itu senyap.

Sudah lama Surya tidak menengok Mama, wanita berusia sekitar 60 tahun yang masih menyisakan guratan kecantikan masa muda. Kecantikan yang kemudian diwariskan kepada dua anak perempuannya.

Agak ceriwis memang dan kemauannya mutlak harus dituruti. Karena kalau tidak, maka celakalah! Mukanya akan ditekuk delapan sehingga siapapun di dekatnya akan merasa tidak nyaman. Ditambah omelan berkepanjangan.

Surya sangat memahami itu. Bagaimana tidak? Selama hampir empat belas tahun ia pernah tinggal bersama Mama, waktu yang cukup untuk mengenali sifatnya yang dominan Itu.

Surya bisa melembutkan hati Mama agar gembira seperti biasa, dengan membawa sekotak martabak Apin atau sebungkus kupat tahu.

Selain pandai mengambil hati, Surya paling kerap berbincang dengan Mama. Seorang wanita yang butuh teman ngobrol  di usia menjelang senja. Pagi hari di meja makan sambil sarapan. Sore hari di meja makan sambil makan malam.

Yang membuatnya bimbang, hari ini Surya ada jadwal latihan di sirkuit Sentul, pemanasan menjelang musim balap retro bulan depan, sekaligus menjajal mesin baru yang ditanam di mobil Corolla DX andalannya.

Kesukaannya pada dunia kecepatan itu dulu pernah dikuburnya dalam-dalam. Ada alasan yang mendasari waktu itu: Pertama, istrinya tahu persis godaan gadis-gadis sirkuit; Kedua, karena biayanya amatlah mahal; Dan ketiga, setelah dinasehati --tepatnya: dicereweti-- Mama.

Tetapi dari sirkuit itu pulalah ia menemukan cinta. Terlampau sering Surya bertemu gadis cantik pembawa payung yang sama sehingga menumbuhkan perasaan menyenangkan di relung dada Surya. Dan kemudian Tini, gadis pembawa payung itu yang juga puteri sulung Mama, dipinangnya.

Semenjak dibukanya seri balapan kelas mobil retro, keinginan berkecambah dalam benak Surya untuk menggauli lagi erangan memekakkan dari kitiran cepat mesin balap. Ia hanya perlu mobil lawas yang diganti dengan mesin keluaran baru berperforma tinggi.

Setelah berhasil menepis kekhawatiran Tini dan --tentu saja-- meyakinkan Mama pada setiap percakapan meja makan dan sekotak martabak atau beberapa bungkus kupat tahu setiap pulang kantor, kerontang nafsu balapan itu akhirnya diairi oleh anggukan lemah Mama dan Tini.

Tentu, istrinya selalu ikut dalam setiap event balap. Ia paham betul para pemacu kecepatan itu bertabur gadis-gadis cantik di sekitarnya. Gadis-gadis panitia, gadis-gadis yang mempromosikan produk sponsor dan gadis-gadis pembawa payung di sirkuit.

Dengan dandanan meriah dan seronok, para gadis semampai itu dengan setia memayungi pebalap dari terik matahari di atas aspal berkilau-kilau yang menunggu aba-aba acara dimulai.

Tapi kini perbedaan generasi semakin lebar. Semuanya jauh lebih muda dan tampak kian menyala. Selama setahun mendampingi suaminya,Tini tidak menemukan satupun kolega sepantaran.

Panas membakar, raungan menderu-deru, debu sirkuit beterbangan membuat Tini bosan. Ia lalu membiarkan suaminya bergelimang dengan kesenangannya, sendiri.

Itulah awal badai yang mengguncangkan bahtera rumah tangga Tini dan Surya.

Terlampau sering Surya bertemu gadis pembawa payung yang sama sehingga menumbuhkan kembali perasaan menyenangkan di relung dadanya. Dan kemudian gadis pembawa payung itu menjadi kekasih gelapnya.

Saat ini, pikiran Surya berkecamuk: antara mengikuti nafsu balap atau memenuhi kemauan Mama yang demikian sulit diabaikan.

Dengan menggunakan setelan kemeja batik terbaik, pantalon hitam dan pantofel berkilap, Surya meluncur ke tempat Mama.

Adik-adik kandung Mama dan keluarga yang lain melihat Surya seperti hantu kesiangan turun dari mobil menuju ke rumah besar tersebut. Entah bagaimana mulanya, Om John, Om Ron dan keluarga lain satu-persatu memeluk Surya, menepuk-nepuk bahunya.

Mama menyambut Surya dengan wajah cemas, tanpa basa-basi berkata, "Mas Surya, dari sejak makan malam Surti meninggalkan meja makan dalam diam, mengunci pintu kamar dan menyisakan tanya"

"Hanya mas Surya yang bisa membujuknya agar keluar kamar dan bersiap-siap. Sebentar lagi rombongan mempelai pria datang, yang akan dilanjutkan dengan acara akad nikah jam 9-an", lanjutnya.

Surya mengerti sifat Surti, gadis beranjak remaja hasil pernikahan Surya dengan Tini, yang masih sangat membutuhkan ayah kandungnya di sampingnya.

Sambil menghela nafas panjang, Surya menukas, "Aku akan membujuknya lalu berjanji mendampinginya selama acara pernikahan sampai selesai. Surti sepertinya belum siap sepenuhnya menerima pria yang akan menjadi ayah tirinya, dengan menjadi suami baru Tini...".

~~Selesai~~

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun