Mohon tunggu...
Briantama Afiq Ashari
Briantama Afiq Ashari Mohon Tunggu... Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

Kennis n Daad

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Teori Machiavelli dan Wacana Populisme Politik Masa Kini

23 November 2021   15:30 Diperbarui: 23 November 2021   15:57 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi: Foto salah satu isi album di Perpustakaan Daerah Kabupaten Ngawi

Menurut sudut pandang saya, Niccolo Machiavelli membawa manifestasi teori politik yang tidak digambarkan secara "mengawang" atau abstrak utopis saja, namun diwujudkan dalam bentuk paradigma realisme sehingga terdapat perbedaan antara kenyataan konkret dengan yang hanya bersifat sebatas ide. 

Kenyataan tersebut dilihat Machiavelli sebagai bentuk realitas politik, ketika pemimpin ingin mempunyai legitimasi atas kekuasaannya melalui wacana populisme. Wacana yang berorientasi pada "pencitraan" dengan membawa agenda kepentingan rakyat untuk meraih simpati. 

Strategi yang menekankan bahwa pencapaian pemimpin perlu untuk disebarluaskan di tengah masyarakat, walaupun pencapaian itu sangat minim dan tidak berdampak luas. 

Namun, jangan salah memahami bahwa cara penyebarluasan pencapaian memang menyebabkan masyarakat menaruh apresiasi dan simpati terhadap pemimpin. 

Mengapa demikian? Rakyat memang menempati posisi kuasa tertinggi di dalam konstitusi, namun apakah mereka mempunyai akses untuk menjangkau kekuasaan tersebut? Apakah mereka dapat berpartisipasi aktif di setiap kegiatan legislatif dan tata kelola pemerintahan? 

Ingat perkataan Machiavelli di dalam buku The Prince, yang intinya adalah akses menjangkau kekuasaan dibatasi sehingga penilaian atas hasil pencapaian tentu saja terlahir secara subjektif. 

Masyarakat biasa atau awam selalu memandang hasil dari realitas subjektif, yaitu ketika rakyat hanya memandang hasil nyata daripada proses dan progres karena menurut Machiavelli semua orang adalah penonton. 

"Hanya sedikit yang mampu memahami dan mengenalmu secara dekat, beberapa mempunyai keinginan untuk mendekati penguasa" (The Prince, 1961: 101). Hal tersebut yang mendorong realitas politik dalam sudut pandang Niccolo Machiavelli. 

Machiavelli memandang kekuasaan tidak serta merta hanya tercapai melalui orientasi buta (hasrat pribadi), tetapi perlu kontrol-sosial yang menjaga kekuasaan tersebut. 

Artinya, yaitu upaya untuk mencapai hasrat pribadi meraih kekuasaan sangat mudah apabila menggunakan cara-cara yang keji dan manipulatif, tetapi cara untuk meraih kejayaan dalam berkuasa adalah hal yang sulit apabila tidak melihat konstruksi kontrol-sosial. 

Politik adalah hal rasional sehingga dapat dimungkinkan berbagai cara untuk mencapainya, seperti Machiavelli yang menilai politik adalah seni menipu halus (muslihat) sebagaimana Machiavelli memberi julukan pada Alexander IV sebagai "master in the art" (The Prince, 1961: 100). 

Machiavelli berpikir rasional, yaitu seorang pemimpin yang tidak dihormati rakyatnya adalah ketika seorang pemimpin tersebut meraih kekuasaan dengan cara keji dan serakah, perlu diingat perkataan Machiavelli "jangan agresif dan tamak terhadap harta orang atau wanita-wanita mereka" (The Prince, 1961: 102). 

Sumber gambar: bostonreview.net
Sumber gambar: bostonreview.net

Menurut saya, teori Machiavelli yang terkadang dianggap sebagian orang merupakan tokoh tidak bermoral merupakan anggapan yang sedikit salah, meskipun memang dalam hal tafsiran adalah hak masing-masing individu untuk menjabarkan alam pikir tokoh tersebut. 

Saya memandang pemikiran Machiavelli terfokuskan di realisme-praktis sehingga mengesampingkan moralis dan abstrak ketika berbicara kenyataan yang terjadi. 

Dalam konteks Indonesia hari ini, menurut saya beberapa pendapat dari Machiavelli dapat direfleksikan kembali. Untuk mencapai kekuasaan atau mempertahankan hegemoni maka seorang pemimpin (penguasa) harus memahami kondisi realita sosial agar tidak terjadi blunder ketika menentukan tindakan dan sikap politik. 

Indonesia sebagai negara transisi dari militeristik menuju demokratis tentunya tidak memiliki warisan nilai praktik sebuah demokrasi, demokrasi negeri ini dari zaman ke zaman hanya sebatas retorika populis. 

Politik merupakan hal rasional dan (Bios Politikos) adalah puncak dari rasionalitas. Plato-Aristotle (Politik Ideal) tentu mempunyai perbedaan dengan teori realisme Machiavelli (Politik Realisme). Kedua spektrum politik yang terpisah jaraknya terkait kecenderungan keadilan etis maupun moralitas. 

Sangat kontras apabila dibandingkan dengan teori realisme politik Machiavelli yang mengesampingkan moralitas. Politik Indonesia berdasarkan paradigma realisme Machiavelli sangat sesuai menggambarkan apa yang dinamakan tipu muslihat menggunakan wacana "populis". 

Strategi populis sangat efektif dalam menghadirkan angin segar untuk mengakomodir dan memanfaatkan potensi keinginan dari populi. Populi adalah "mayoritas" atau pemegang otoritas sebagai objek politik yang penting dalam sebuah demokrasi elektoral. 

Menurut Machiavelli, mengakomodir keinginan populi dan membuatnya senang merupakan strategi cerdas dalam menentukan manuver politik untuk mengendalikan kontrol-sosial populi. 

Populi hanya melihat realita politik secara subjektif dan tidak nampak oleh mata atau pola pikir kritis. Pola pikir kolot pada populi menyebabkan mereka mudah tersulut isu sentimental karena kemampuan rasionalitas politik justru telah dimanfaatkan penguasa untuk mengendalikan populi secara manipulatif. 

Rasionalitas politik disertai manuver cerdas terhadap populi akan memantik sifat emosional pada populi yang terbungkus dalam bentuk manipulasi sentimental, contohnya isu SARA. Sifat emosional dan emosi termanifestasikan dalam bentuk irrasional sehingga akan sangat sulit disadarkan secara rasional. 

Akibatnya, jika manuver politik salah langkah sedikit saja maka dapat memberikan dampak pada "populi" (mayoritas). Kita hidup di tengah populi yang mempunyai pandangan dogmatis, konservatif/fundamentalis, mengesampingkan berpikir kritis maupun logis, tidak melihat sudut pandang serta konstruksi sosial individu lain secara kompleks sehingga lebih mudah menghakimi daripada mendampingi. 

Dampaknya, populi membutuhkan seorang penguasa sebagai panutan atau pegangan, karena matinya daya kritis seseorang mengakibatkan orang tersebut lebih percaya mutlak pada orang lain. Hilangnya sosok penguasa yang dapat dipercaya populi melalui retorika-retorika populis tentu berdampak sangat mengerikan. 

Contohnya, golongan populi Islam-Fundamentalis yang kehilangan sosok Prabowo Subianto ketika Prabowo lebih memilih bergabung di gerbong kekuasaan, daripada menjadi oposisi. Spektrum Islam-Fundamentalis menjadi tidak mempunyai kekuatan besar, meskipun dalam segi kuantitas memiliki basis massa besar, namun tidak memiliki sosok yang dapat dijadikan pegangan untuk memiliki akses ke pemerintahan. 

Populi seharusnya sadar betul bahwa mereka hanya menjadi komoditas objek politik yang setiap periode silih berganti menjadi daya tukar transaksi politik. Rangkaian peristiwa politik yang sangat menggambarkan teori-teori Machiavelli masih relevan, bahkan patut dijadikan refleksi atas seluruh agenda politik di bangsa ini, terutama mendekati pergelaran pemilu pemilukada 2024 nanti.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun