Si Ceper menatap mereka satu persatu. Ia tidak takut, tapi juga tidak sombong. Ia hanya diam, seolah sedang menunggu apakah ia akan di terima atau diusir.
●
Tak lama setelah suasana teras menjadi sunyi karena kemunculan Si Ceper, pintu rumah kembali terbuka—masih dengan suara kriieeet yang khas. Tapi kali ini, bukan si Belang yang keluar.
Yang muncul justru seorang ibu berkerudung lembut, wajahnya ramah, diikuti oleh anak kecil yang menggenggam boneka Minion berwarna kuning. Namanya Danesh. Di tangan sang ibu, ada semangkuk makanan hangat yang aromanya langsung membuat telinga para kucing tegak.
"Pagi, anak-anak," sapa sang ibu sambil tersenyum. "Sarapan dulu, ya."
Para kucing kampung saling pandang, bingung. Mereka terbiasa di sapa, tapi biasanya si Belang yang keluar dulu, mengeong, lalu duduk manis di kaki tuannya. Hari ini, si Belang tak tampak. Yang duduk di ambang pintu justru si Ceper—kucing asing yang tak pernah disebut si Belang dalam cerita-cerita sore mereka.
Si Ceper hanya menatap sang ibu, lalu menoleh ke arah para kucing kampung. Ia tidak bergerak, tidak berebut, hanya diam seperti biasa. Tapi ada sesuatu dimatanya—entah rasa tenang, entah rasa ingin dimengerti.
Danesh tertawa pelan, menunjuk ke arah si Ceper. "Kucing pendek itu lucu, Bu. Dia nggak pernah rebutan."
Sang ibu mengangguk, lalu meletakkan mangkuk di teras rumah. "Dia memang beda. Tapi baik kok. Belang suka tidur bareng dia sekarang."
Para kucing kampung terdiam. Jadi...si Belang tahu? Tapi kenapa tak pernah cerita?
Si Oyen mendekat pelan ke mangkuk, lalu menoleh ke Si Ceper. "Lo tinggal disini?"