Setiap pagi dan sore, sopir taksi yang mangkal di sekitar pabrik kayu sudah hafal rute dan wajah-wajah—ada yang baru berangkat kerja dengan mata masih setengah mengantuk, ada pula yang pulang dengan wajah lelah tapi lega.
Di kampung tempat pabrik kayu berdiri, bus antar-jemput khusus disediakan untuk karyawan yang tinggal satu lokasi, jadi mereka cukup berdiri di pinggir jalan dengan kaos seragam perusahaan sebagai penanda, menunggu giliran naik.
Suasananya akrab, kadang diselingi obrolan ringan atau saling sapa antar karyawan yang sudah terbiasa berbagi waktu dan kendaraan. Sopir taksi pun bukan sekadar pengantar, tapi bagian dari ritme harian yang membuat roda ekonomi keluarga mereka tetap berputar.
● ● ●
Di pabrik kayu itu, jumlah pekerja perempuan jauh lebih banyak daripada laki-laki, jadi nggak heran kalau suasananya kadang mirip sekolah atau kampus—ramai, penuh cerita, dan sesekali ada yang saling jatuh hati. Dari obrolan ringan di ruang makan sampai saling bantu di area produksi, benih-benih cinta (lokasi) pabrik tumbuh begitu saja, kadang manis, kadang rumit.
Buat yang masih lajang, mungkin itu hal biasa, tapi nggak sedikit juga yang sudah berkeluarga dan akhirnya terjebak dalam hubungan yang nggak seharusnya. Semua berjalan diam-diam, dibungkus seragam kerja dan senyum yang kelihatan biasa, padahal di baliknya ada cerita yang nggak semua orang tahu.
Di sela istirahat siang,suasana di sudut ruang makan pabrik terasa santai, penuh tawa kecil dan obrolan ringan.
"Eh, si Pak Satpam itu titip salam ke Niryati, lho," bisik Rina sambil menyenggol lengan temannya.
"Serius? yang jaga gerbang depan itu?" sahut Wati, setengah tertawa.
"Iya, katanya tiap Niryati lewat, dia langsung berdiri tegak, senyum-senyum sendiri. Padahal Niryati mah cuek aja, senyumnya tuh bikin cowok-cowok disini salah tingkah,"tambah Rina sambil menyeruput teh manisnya.
"Pantesan, kemaren dia nitip salam lewat bagian gudang. Romantis tapi malu-malu,"celetuk Sari, membuat yang lain ikut terkekeh.