Affan melihat bayangan hitam besar itu mendekat. Waktu serasa berhenti. Ia teringat wajah ibunya di dapur, teringat pesan baru belum sempat dijawab di ponselnya, teringat adik-adiknya, dan keinginannya membelikan kursi roda untuk nenek yang tak bisa berjalan jauh. Air matanya menetes, bercampur debu jalanan.
"Ya Allah, jaga Ibu..." bisiknya pelan.
**
Jakarta, malam 29 Agustus 2025
Detik berikutnya deru roda baja menutup pandangan. Tubuh muda itu tak sempat beranjak. Hanya jeritan massa yang menggema, membelah langit Jakarta malam itu.Â
Pesanan makanan yang dibawanya pun ikut terlempar. Bungkusnya sobek, dan sambalnya menyebar di aspal seperti darah. Tubuh muda Affan tergeletak diam, tak bergerak.
Rekan-rekan ojol berlari, mengangkat tubuhnya yang tak kuat lagi melawan takdir. Dengan wajah panik dan napas tersengal, mereka berusaha mencari jalan keluar dari kerumunan massa yang masih kacau.Â
Beberapa orang membuka jalan, meneriakkan permintaan tolong. Tanpa pikir panjang, membawa Affan ke rumah sakit terdekat, berharap waktu belum sepenuhnya menutup pintu bagi nyawanya.
Tapi di lorong dingin rumah sakit, napas Affan berhenti. Senyumnya membeku, meninggalkan kesunyian panjang. Pesan terakhir yang dikirim pelanggannya pun belum sempat dibalas.Â
Di rumah duka, ibunya menunggu. Tatapannya kosong ketika kain putih menutupi wajah anak yang semalam masih berpamitan. Tangis pecah, deras, seperti hujan deras yang tak kunjung reda.Â
"Fan, kau belum sempat makan nak...kau belum sempat pulang," isaknya, memeluk tubuh kaku pejuang keluarga itu.