Motor tuanya meraung pelan, menembus jalanan yang mulai padat. Dari kejauhan, ia mendengar suara massa. Teriakan-teriakan keras di sekitar gedung DPR/MPR. Ia bukan bagian dari aksi demonstrasi, melainkan sedang menjalankan tugas sebagai kurir makanan.Â
Namun, Affan tidak tahu bahwa pengantaran makanan menjelang sore itu adalah pengantaran terakhir dalam hidupnya. Sesekali, ia membalas pesan melalui ponsel di aplikasi ojek daring, berkomunikasi dengan pelanggan lewat fitur percakapan.
"Sudah sampai di mana Kak?" tanya pelanggannya melalui aplikasi ojek daring diponselnya.
"sudah di jalan Kak. Sedang dalam proses pengantaran. Mohon di tunggu, ya. Jalanannya sedang ramai dan macet," balasnya.
"Baik, kalau sudah dekat, mohon beri kabar atau hubungi saya, ya," jawab pelanggan itu lagi.
Jakarta sedang gelisah. Jalan yang biasa ia lalui untuk mengantarkan pesanan—jalur kerja sehari-hari —kini beralih menjadi panggung amarah.
"Lewat mana, ya Allah," gumamnya pelan, sembari memelankan laju motor.Â
Ia hendak menyeberang jalan, mencari jalur alternatif. Namun, aspal licin, penuh sisa air dan kerikil. Ban motornya oleng. Dalam sekejap, tubuh Affan terpelanting, jatuh di tengah riuh masa berlarian. Ia berusaha bangkit, lututnya luka, napasnya terengah.
Lalu, dari kejauhan, tampak sebuah kendaraan melaju, semakin mendekati dirinya. Deru mesin raksasa—rantis Brimob—menggelegar seperti raksasa besi yang terbuat dari baja kebal peluru, melaju tanpa kompromi.
Orang-orang berteriak, "Ada ojol dibawah! Ada orang jatuh! Berhenti!"
Suara-suara itu melolong menembus udara, tapi tak ada rem yang ditarik.