Mohon tunggu...
bilal hafizd
bilal hafizd Mohon Tunggu... Pegawai swasta

43120010419 - S1 manajemen - Fakultas Ekonomi dan Bisnis - Universitas Mercu Buana - Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB - Dosen pengampu Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

Repleksi Kritis Pendidikan Anti korupsi Di Indonesia

8 Juli 2025   09:11 Diperbarui: 8 Juli 2025   09:11 1079
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Model Platon Paideia Anti-Korupsi Bagi Mahasiswa menekankan pembentukan karakter secara utuh: menajamkan rasio, memperkuat semangat keadilan, dan mendisiplinkan keinginan. Konsep ini berpijak pada gagasan klasik dari filsuf Yunani, Platon, yang percaya bahwa jiwa manusia terdiri dari tiga bagian utama: logos (rasio), thumos (semangat moral), dan epithumia (keinginan atau nafsu). Pendidikan sejati, dalam pandangan Platon, adalah proses menata struktur jiwa agar ketiga unsur tersebut berada dalam harmoni, dengan rasio sebagai pemimpin, semangat sebagai penopang, dan keinginan sebagai elemen yang dikendalikan.
Tujuan pendidikan dalam teks buku Republik karya Platon dapat dipahami melalui gagasan Paideia. Gagasan ini melampaui pengajaran teknis dan menekankan pembentukan karakter secara menyeluruh. Setidaknya terdapat tiga tujuan utama dalam konsep pendidikan Paideia menurut Platon.

Pertama, pendidikan bertujuan untuk membentuk jiwa yang adil, bukan sekadar memberikan keterampilan teknis. Pendidikan dalam kerangka Republik bertugas menata tatanan batin individu, di mana akal (logos) memimpin, semangat (thumos) mendukung, dan nafsu (epithumia) dikendalikan. Individu yang adil adalah mereka yang mampu menjaga keseimbangan batin tersebut. Oleh karena itu, pendidikan tidak hanya melibatkan kecakapan praktis, tetapi juga penanaman kebajikan. Dalam konteks mahasiswa, hal ini berarti mereka tidak cukup hanya pintar dalam bidang akademik, tetapi juga harus memiliki rasa keadilan dan kehormatan diri.
Kedua, pendidikan merupakan proses membentuk karakter, kebijaksanaan, dan pengendalian diri. Platon melihat pendidikan sebagai jalan menuju kebaikan, bukan sekadar alat mencapai status sosial atau kekayaan. Mahasiswa perlu dilatih untuk mengembangkan sikap bijaksana melalui refleksi filosofis, kebiasaan hidup yang tertib, dan dialog terbuka. Dalam proses ini, pengendalian diri menjadi elemen penting yang memungkinkan individu untuk tidak dikuasai oleh keinginan yang merusak. Pendidikan yang tidak membentuk pengendalian diri justru akan melahirkan manusia yang cerdas namun licik.
Ketiga, Paideia adalah pembentukan manusia utuh: cerdas, bermoral, dan memiliki tanggung jawab sosial. Dalam pandangan Platon, manusia sejati bukan hanya mereka yang pandai berpikir, tetapi juga mereka yang mampu menjaga kehormatan diri dan berkontribusi bagi kebaikan masyarakat. Mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa harus dididik untuk menjadi pribadi yang tidak hanya berpikir kritis, tetapi juga peka terhadap penderitaan sosial, adil dalam keputusan, dan mampu mengendalikan egoisme. Pendidikan semacam ini akan menghasilkan pemimpin yang dapat dipercaya dan berkomitmen pada integritas.
Model Paideia Anti-Korupsi (berdasarkan struktur jiwa Platon) dapat dijelaskan melalui pemetaan tiga unsur jiwa: logos, thumos, dan epithumia.
1. LOGOS (Rasio / Akal Budi): Pendidikan Kritis
Logos merupakan inti rasionalitas dalam jiwa manusia. Ia menjadi dasar bagi pengambilan keputusan yang logis, jernih, dan etis. Dalam konteks pendidikan anti-korupsi, pengembangan logos berarti menumbuhkan kecerdasan reflektif, kesadaran logis, dan kemampuan berpikir kritis. Mahasiswa harus mampu mengurai persoalan secara objektif, menyusun argumen moral, serta menilai tindakan berdasarkan prinsip keadilan dan kebaikan umum.
Pendidikan kritis dapat dilakukan melalui:
*Analisis studi kasus praktik korupsi.
*Dialog terbuka tentang dilema etis dalam dunia profesional.
*Diskusi filsafat moral dan keadilan.
*Pelatihan berpikir logis dan penyusunan argumen etis.
Contoh konkret: mahasiswa diberi tugas menelaah kebijakan dana desa dari sudut pandang logika hukum dan etika publik, atau membedah regulasi pengadaan barang/jasa untuk mengenali celah korupsi.
2. THUMOS (Semangat Moral / Harga Diri): Pendidikan Etos dan Keteladanan
Thumos adalah sumber dari semangat moral: keberanian, rasa malu, dan kebanggaan akan integritas. Elemen ini sangat penting dalam membentuk karakter mahasiswa agar memiliki keberanian moral, menolak kompromi terhadap kecurangan, dan merasa bangga akan kejujuran.
Pendidikan thumos bertujuan:
*Menumbuhkan rasa hormat pada keadilan dan kebenaran.
*Membangun keberanian moral untuk menolak korupsi.
*Mendorong rasa malu terhadap tindakan tidak jujur.
*Menginternalisasi rasa bangga terhadap perilaku jujur dan berintegritas.
Metode penguatan thumos:
*Keteladanan tokoh inspiratif (dosen, alumni, tokoh nasional).
*Kampanye anti-korupsi berbasis nilai-nilai lokal.
*Kegiatan literasi moral di lingkungan kampus.
*Menyusun dan menegakkan kode etik mahasiswa.
Contoh: mahasiswa secara kolektif menyusun dan menandatangani kode etik anti-gratifikasi dalam organisasi kampus, serta membentuk tim etika internal yang bertugas menegakkan nilai tersebut secara independen.
3. EPITHUMIA (Keinginan / Nafsu): Pendidikan Kontrol Diri
Epithumia merujuk pada sisi keinginan dalam struktur jiwa manusia. Ia mencakup dorongan terhadap kesenangan, harta, kekuasaan, dan kenyamanan. Jika dibiarkan dominan tanpa bimbingan logos dan thumos, maka epithumia akan menjerumuskan manusia pada keserakahan, korupsi, dan pelanggaran moral. Oleh sebab itu, dalam pendidikan Paideia Anti-Korupsi, epithumia harus dikendalikan melalui pendidikan kontrol diri.

Fungsi utama dari pendidikan kontrol diri adalah:
*Mengendalikan dorongan akan kekayaan dan kekuasaan.
*Menanamkan kesadaran bahwa kebahagiaan tidak terletak pada kepemilikan materi.
*Melatih mahasiswa untuk hidup jujur dan sederhana.
*Menumbuhkan kepekaan terhadap bahaya gaya hidup konsumtif.
Strategi implementasi:
*Pendidikan kesederhanaan melalui teladan gaya hidup dosen dan pemimpin kampus.
*Diskusi kritis tentang gaya hidup hedonis dan bagaimana ia memicu perilaku koruptif.
*Latihan disiplin batin melalui praktik refleksi diri, journaling, dan kontemplasi nilai hidup.
*Tantangan hidup tanpa fasilitas mewah selama jangka waktu tertentu.
*Program integritas keuangan: transparansi anggaran organisasi kemahasiswaan.
Contoh konkret: mahasiswa diminta menyusun rencana anggaran bulanan dan mencatat seluruh pengeluaran sebagai latihan akuntabilitas pribadi. Mereka juga diminta menulis refleksi tentang dorongan konsumtif yang mereka alami, lalu berdiskusi tentang dampaknya terhadap integritas pribadi.
Dengan menata epithumia secara bijak, mahasiswa akan mampu mengendalikan godaan material yang dapat menjerumuskan mereka pada perilaku tidak jujur. Pengendalian keinginan tidak berarti penolakan terhadap kebutuhan, melainkan kemampuan untuk membedakan antara keperluan dan keserakahan. Pendidikan kontrol diri ini menjadi fondasi kokoh bagi mahasiswa agar tidak tergoda oleh kekuasaan, suap, atau gratifikasi yang merusak moral.
Dengan demikian, model Paideia Anti-Korupsi yang mengacu pada struktur jiwa Platon menawarkan pendekatan holistik yang menjangkau akar kepribadian manusia. Mahasiswa tidak hanya dilatih berpikir kritis (logos), tetapi juga ditumbuhkan rasa moral (thumos), dan dilatih untuk mengendalikan keinginan (epithumia). Bila ketiganya dibentuk secara terpadu dan seimbang, maka lahirlah generasi yang jujur, berani, dan tangguh menghadapi godaan korupsi.
Model ini tidak hanya cocok untuk diterapkan di kampus, tetapi juga dapat dijadikan kerangka pendidikan karakter nasional. Ketika mahasiswa dipersiapkan sebagai warga negara yang adil dalam pikirannya, semangatnya, dan kehendaknya, maka masa depan Indonesia yang bebas dari korupsi bukanlah utopia, melainkan keniscayaan yang dapat diwujudkan.

https://fast.mercubuana.ac.id/pluginfile.php/112099/
https://fast.mercubuana.ac.id/pluginfile.php/112099/

 Model Platon Paideia Anti-Korupsi Bagi Mahasiswa menekankan pembentukan karakter secara utuh: menajamkan rasio, memperkuat semangat keadilan, dan mendisiplinkan keinginan. Konsep ini berpijak pada gagasan klasik dari filsuf Yunani, Platon, yang percaya bahwa jiwa manusia terdiri dari tiga bagian utama: logos (rasio), thumos (semangat moral), dan epithumia (keinginan atau nafsu). Pendidikan sejati, dalam pandangan Platon, adalah proses menata struktur jiwa agar ketiga unsur tersebut berada dalam harmoni, dengan rasio sebagai pemimpin, semangat sebagai penopang, dan keinginan sebagai elemen yang dikendalikan.
Tujuan pendidikan dalam teks buku Republik karya Platon dapat dipahami melalui gagasan Paideia. Gagasan ini melampaui pengajaran teknis dan menekankan pembentukan karakter secara menyeluruh. Setidaknya terdapat tiga tujuan utama dalam konsep pendidikan Paideia menurut Platon.

Pertama, pendidikan bertujuan untuk membentuk jiwa yang adil, bukan sekadar memberikan keterampilan teknis. Pendidikan dalam kerangka Republik bertugas menata tatanan batin individu, di mana akal (logos) memimpin, semangat (thumos) mendukung, dan nafsu (epithumia) dikendalikan. Individu yang adil adalah mereka yang mampu menjaga keseimbangan batin tersebut. Oleh karena itu, pendidikan tidak hanya melibatkan kecakapan praktis, tetapi juga penanaman kebajikan. Dalam konteks mahasiswa, hal ini berarti mereka tidak cukup hanya pintar dalam bidang akademik, tetapi juga harus memiliki rasa keadilan dan kehormatan diri.

Kedua, pendidikan merupakan proses membentuk karakter, kebijaksanaan, dan pengendalian diri. Platon melihat pendidikan sebagai jalan menuju kebaikan, bukan sekadar alat mencapai status sosial atau kekayaan. Mahasiswa perlu dilatih untuk mengembangkan sikap bijaksana melalui refleksi filosofis, kebiasaan hidup yang tertib, dan dialog terbuka. Dalam proses ini, pengendalian diri menjadi elemen penting yang memungkinkan individu untuk tidak dikuasai oleh keinginan yang merusak. Pendidikan yang tidak membentuk pengendalian diri justru akan melahirkan manusia yang cerdas namun licik.

Ketiga, Paideia adalah pembentukan manusia utuh: cerdas, bermoral, dan memiliki tanggung jawab sosial. Dalam pandangan Platon, manusia sejati bukan hanya mereka yang pandai berpikir, tetapi juga mereka yang mampu menjaga kehormatan diri dan berkontribusi bagi kebaikan masyarakat. Mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa harus dididik untuk menjadi pribadi yang tidak hanya berpikir kritis, tetapi juga peka terhadap penderitaan sosial, adil dalam keputusan, dan mampu mengendalikan egoisme. Pendidikan semacam ini akan menghasilkan pemimpin yang dapat dipercaya dan berkomitmen pada integritas.
Model Paideia Anti-Korupsi (berdasarkan struktur jiwa Platon) dapat dijelaskan melalui pemetaan tiga unsur jiwa: logos, thumos, dan epithumia.
Ciri Khas Pendidikan Anti-Korupsi bagi Mahasiswa dalam Republik Platon
Model pendidikan dalam Republik Platon tidak sekadar menanamkan hukum dan memberikan hukuman, tetapi lebih menekankan pada pembentukan struktur batin manusia agar adil. Dalam kerangka ini, terdapat tiga ciri khas utama pendidikan anti-korupsi bagi mahasiswa berdasarkan pemikiran Platon:
1. Pendidikan Tidak Cukup Memberi Hukum dan Hukuman, tetapi Harus Membentuk Kesadaran Moral
Platon menekankan bahwa pendidikan tidak boleh berfokus hanya pada perangkat eksternal seperti hukum dan hukuman. Meskipun aturan diperlukan, akar dari keadilan sejati adalah kesadaran moral yang tumbuh dari dalam diri. Mahasiswa tidak boleh hanya takut pada sanksi hukum, tetapi juga harus memiliki nurani yang membimbing mereka untuk menjauhi korupsi.
Kesadaran moral dibentuk melalui pembiasaan, dialog filosofis, dan refleksi batin. Dalam konteks ini, kegiatan pendidikan seperti diskusi etika, studi kasus tentang dilema moral, dan penulisan refleksi diri dapat membantu mahasiswa menemukan kompas moralnya sendiri.
2. Negara Ideal Hanya Bisa Dicapai oleh Warga Negara yang Jiwanya Adil
Platon menyatakan bahwa negara yang adil hanya dapat terwujud apabila warganya memiliki jiwa yang adil. Dalam konteks pendidikan tinggi, ini berarti bahwa universitas tidak hanya mencetak tenaga kerja, tetapi juga membentuk pribadi yang utuh. Mahasiswa harus mampu menjaga keseimbangan antara akal, semangat, dan keinginan dalam dirinya.
Pembentukan warga negara yang adil memerlukan kurikulum pendidikan yang menyentuh seluruh aspek kemanusiaan: intelektual, emosional, dan etis. Ketika mahasiswa diajak untuk mengevaluasi dorongan dalam dirinya, memahami tanggung jawab sosial, dan berpikir kritis tentang struktur kekuasaan, maka mereka disiapkan menjadi agen perubahan yang mampu menopang negara yang adil dan beradab.
3. Korupsi Bukan Sekadar Pelanggaran Hukum, tetapi Gejala Ketidakseimbangan Jiwa
Dalam kerangka pemikiran Platon, korupsi bukan hanya tindakan kriminal, tetapi lebih dalam dari itu: ia mencerminkan jiwa yang tidak tertata. Ketika epithumia (keinginan) mendominasi dan tidak dikendalikan oleh logos dan thumos, maka manusia akan terdorong pada perilaku menyimpang. Korupsi terjadi karena hasrat akan kekuasaan, uang, dan kenyamanan mengalahkan akal sehat dan semangat keadilan.
Oleh karena itu, pendidikan anti-korupsi harus mengarah pada penataan jiwa, bukan sekadar pencegahan teknis. Mahasiswa harus belajar mengenali tanda-tanda ketidakseimbangan dalam dirinya, serta melakukan koreksi melalui refleksi dan bimbingan moral. Korupsi dapat dicegah bila individu mampu mengidentifikasi dan mengelola konflik batin antara nilai dan dorongan pribadi.
Dengan ciri-ciri ini, model pendidikan anti-korupsi yang digagas dalam semangat Republik Platon menjadi sangat relevan untuk diterapkan di perguruan tinggi. Ia tidak hanya membentuk mahasiswa yang tahu apa itu korupsi, tetapi juga membentuk pribadi yang secara batiniah menolak segala bentuk penyimpangan. Model ini membentuk mahasiswa sebagai warga negara yang memiliki akal jernih, semangat keadilan, dan kendali diri yang kuat---fondasi bagi lahirnya masyarakat yang bebas dari korupsi.

https://fast.mercubuana.ac.id/pluginfile.php/112099/
https://fast.mercubuana.ac.id/pluginfile.php/112099/

Model Platon Paideia Anti-Korupsi Bagi Mahasiswa menekankan pembentukan karakter secara utuh: menajamkan rasio, memperkuat semangat keadilan, dan mendisiplinkan keinginan. Konsep ini berpijak pada gagasan klasik dari filsuf Yunani, Platon, yang percaya bahwa jiwa manusia terdiri dari tiga bagian utama: logos (rasio), thumos (semangat moral), dan epithumia (keinginan atau nafsu). Pendidikan sejati, dalam pandangan Platon, adalah proses menata struktur jiwa agar ketiga unsur tersebut berada dalam harmoni, dengan rasio sebagai pemimpin, semangat sebagai penopang, dan keinginan sebagai elemen yang dikendalikan.
Tujuan pendidikan dalam teks buku Republik karya Platon dapat dipahami melalui gagasan Paideia
. Gagasan ini melampaui pengajaran teknis dan menekankan pembentukan karakter secara menyeluruh. Setidaknya terdapat tiga tujuan utama dalam konsep pendidikan Paideia menurut Platon.

Pertama, pendidikan bertujuan untuk membentuk jiwa yang adil, bukan sekadar memberikan keterampilan teknis. Pendidikan dalam kerangka Republik bertugas menata tatanan batin individu, di mana akal (logos) memimpin, semangat (thumos) mendukung, dan nafsu (epithumia) dikendalikan. Individu yang adil adalah mereka yang mampu menjaga keseimbangan batin tersebut. Oleh karena itu, pendidikan tidak hanya melibatkan kecakapan praktis, tetapi juga penanaman kebajikan. Dalam konteks mahasiswa, hal ini berarti mereka tidak cukup hanya pintar dalam bidang akademik, tetapi juga harus memiliki rasa keadilan dan kehormatan diri.

Kedua, pendidikan merupakan proses membentuk karakter, kebijaksanaan, dan pengendalian diri. Platon melihat pendidikan sebagai jalan menuju kebaikan, bukan sekadar alat mencapai status sosial atau kekayaan. Mahasiswa perlu dilatih untuk mengembangkan sikap bijaksana melalui refleksi filosofis, kebiasaan hidup yang tertib, dan dialog terbuka. Dalam proses ini, pengendalian diri menjadi elemen penting yang memungkinkan individu untuk tidak dikuasai oleh keinginan yang merusak. Pendidikan yang tidak membentuk pengendalian diri justru akan melahirkan manusia yang cerdas namun licik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun