Mengapa Banyak Anak Muda Ragu Ambil KPR?
Mari kita membayangkan sejenak. Ketika kita berusia antara 25 hingga 35 tahun, punya pekerjaan tetap, dan setiap bulan berusaha menyisihkan penghasilan demi masa depan. Di tengah tekanan gaya hidup urban, muncul satu pertanyaan klasik: sudah waktunya punya rumah sendiri?
Bagi generasi orang tua kita, jawaban itu sederhana: ya. Punya rumah dianggap tanda mapan, simbol stabilitas hidup. Namun bagi banyak anak muda saat ini, pertanyaan tersebut justru memunculkan kegamangan. Apakah mengambil Kredit Pemilikan Rumah (KPR) adalah keputusan bijak, atau justru menjadi beban panjang yang mengorbankan banyak aspek kehidupan lainnya?
Realitasnya, makin banyak anak muda yang menunda atau bahkan memilih tidak mengambil KPR. Bukan karena tidak ingin punya rumah, tapi karena terlalu banyak faktor yang membuat keputusan itu terasa berat, rumit, dan penuh risiko. Mari kita bedah lebih dalam.
Harga Rumah Naik, Penghasilan Tertahan
Salah satu alasan paling mendasar mengapa banyak anak muda ragu mengambil KPR adalah ketidakseimbangan antara harga rumah dan pendapatan. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, hingga Makassar, harga rumah tumbuh lebih cepat daripada kenaikan gaji.
Sebagai ilustrasi, rumah tipe 36 di kawasan penyangga Jakarta bisa dibanderol antara Rp400 juta hingga Rp700 juta. Dengan cicilan rata-rata Rp3--5 juta per bulan untuk tenor 15--20 tahun, hal ini jelas membebani mereka yang berpenghasilan di bawah Rp10 juta. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa upah rata-rata nasional pekerja muda masih berkisar di angka Rp4--6 juta.
Dalam kondisi seperti itu, mengambil KPR berarti menyisihkan 40--60% dari penghasilan hanya untuk mencicil rumah. Itu belum termasuk biaya hidup harian, asuransi, transportasi, dan kebutuhan lain yang kian mendesak.
Durasi Panjang: Antara Harapan dan Ketidakpastian
KPR bukan cicilan jangka pendek. Durasi yang umum ditawarkan bank adalah 15, 20, hingga 25 tahun. Ini berarti Anda berkomitmen membayar cicilan sampai usia 40--60 tahun. Dan selama itu, tak ada jaminan bahwa segalanya berjalan lancar.