Mohon tunggu...
Benny Eko Supriyanto
Benny Eko Supriyanto Mohon Tunggu... Aparatur Sipil Negara (ASN)

Hobby: Menulis, Traveller, Data Analitics, Perencana Keuangan, Konsultasi Tentang Keuangan Negara, dan Quality Time With Family

Selanjutnya

Tutup

Makassar Pilihan

Tradisi Angkat Rumah Suku Bugis: Simbol Gotong Royong yang Masih Bertahan di Era Modern

15 Juni 2025   11:00 Diperbarui: 16 Juni 2025   17:06 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi:Tradisi pindah rumah suku Bugus, Mappalette Bola(indonesia.go.id) / https://makassar.kompas.com

Di tengah laju urbanisasi yang menenggelamkan banyak nilai-nilai tradisional, masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan masih menyisakan satu kebiasaan lama yang begitu menggugah rasa: tradisi "mappalette bola" atau angkat rumah. Bukan sekadar relokasi bangunan, tetapi simbol kuat dari solidaritas, gotong royong, dan kesadaran kolektif yang semakin langka di era individualisme digital saat ini.

Tradisi ini telah berlangsung turun-temurun di kalangan masyarakat Bugis, terutama di wilayah pedesaan seperti Soppeng, Bone, dan Wajo. Sebuah rumah panggung berbahan kayu, biasanya milik keluarga besar, akan diangkat secara manual oleh puluhan hingga ratusan warga laki-laki dari satu komunitas. Mereka tidak dibayar, tidak diminta secara paksa, namun hadir dengan sukarela membawa satu hal yang langka di zaman ini: kebersamaan.

Mappalette Bola: Filosofi di Balik Tiang-Tiang Kayu

Secara harfiah, "mappalette bola" berarti memindahkan rumah. Rumah panggung khas Bugis yang berbobot ratusan kilogram diangkat bersama-sama, biasanya untuk alasan seperti berpindah lokasi ke tanah warisan, menjauh dari ancaman banjir, atau mengikuti arah kiblat bagi yang ingin lebih mendekatkan rumahnya ke masjid atau kompleks keluarga.

Namun di balik fisiknya, terdapat nilai-nilai luhur yang menjadi fondasi kuat kebudayaan Bugis. Tradisi ini mengajarkan bahwa rumah bukan sekadar bangunan, melainkan bagian dari kehidupan sosial. Ketika satu rumah diangkat, sesungguhnya satu masyarakat sedang menunjukkan bahwa mereka tidak membiarkan satu anggotanya berjuang sendirian.

Lebih dari sekadar tradisi unik, angkat rumah adalah ekspresi kebudayaan kolektif yang menyatu dengan prinsip Siri' na Pacce---rasa malu dan empati yang menjadi inti dari moral masyarakat Bugis.

Di Tengah Bayang-Bayang Perubahan Zaman

Tentu, tidak semua rumah kini bisa diangkat. Banyak rumah Bugis masa kini telah berubah bentuk: beton, bertingkat, atau tidak lagi dibangun di atas tiang. Namun, sisa-sisa tradisi mappalette bola masih hidup dan terus diwariskan, terutama saat ada peristiwa sosial penting. Bahkan di masa kontemporer, sebagian masyarakat Bugis merayakannya sebagai bagian dari pesta adat atau dokumentasi budaya.

Ironisnya, nilai-nilai gotong royong dalam tradisi ini justru kian langka di wilayah perkotaan. Mobilitas sosial, gaya hidup individualis, hingga tekanan ekonomi menjadikan solidaritas semacam ini sulit ditemukan. Rumah-rumah modern bisa dibeli dengan KPR, dipindahkan lewat jasa kontraktor, tetapi rasa saling memiliki dalam komunitas nyaris tidak bisa dibeli.

Tradisi angkat rumah Bugis menghadirkan kritik diam-diam terhadap kehidupan modern yang serba transaksional. Ia menawarkan alternatif: bahwa dalam kehidupan bersama, yang dibutuhkan bukan hanya uang dan alat berat, tapi kesediaan hati untuk hadir bagi sesama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Makassar Selengkapnya
Lihat Makassar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun