Di tengah laju urbanisasi yang menenggelamkan banyak nilai-nilai tradisional, masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan masih menyisakan satu kebiasaan lama yang begitu menggugah rasa: tradisi "mappalette bola" atau angkat rumah. Bukan sekadar relokasi bangunan, tetapi simbol kuat dari solidaritas, gotong royong, dan kesadaran kolektif yang semakin langka di era individualisme digital saat ini.
Tradisi ini telah berlangsung turun-temurun di kalangan masyarakat Bugis, terutama di wilayah pedesaan seperti Soppeng, Bone, dan Wajo. Sebuah rumah panggung berbahan kayu, biasanya milik keluarga besar, akan diangkat secara manual oleh puluhan hingga ratusan warga laki-laki dari satu komunitas. Mereka tidak dibayar, tidak diminta secara paksa, namun hadir dengan sukarela membawa satu hal yang langka di zaman ini: kebersamaan.
Mappalette Bola: Filosofi di Balik Tiang-Tiang Kayu
Secara harfiah, "mappalette bola" berarti memindahkan rumah. Rumah panggung khas Bugis yang berbobot ratusan kilogram diangkat bersama-sama, biasanya untuk alasan seperti berpindah lokasi ke tanah warisan, menjauh dari ancaman banjir, atau mengikuti arah kiblat bagi yang ingin lebih mendekatkan rumahnya ke masjid atau kompleks keluarga.
Namun di balik fisiknya, terdapat nilai-nilai luhur yang menjadi fondasi kuat kebudayaan Bugis. Tradisi ini mengajarkan bahwa rumah bukan sekadar bangunan, melainkan bagian dari kehidupan sosial. Ketika satu rumah diangkat, sesungguhnya satu masyarakat sedang menunjukkan bahwa mereka tidak membiarkan satu anggotanya berjuang sendirian.
Lebih dari sekadar tradisi unik, angkat rumah adalah ekspresi kebudayaan kolektif yang menyatu dengan prinsip Siri' na Pacce---rasa malu dan empati yang menjadi inti dari moral masyarakat Bugis.
Di Tengah Bayang-Bayang Perubahan Zaman
Tentu, tidak semua rumah kini bisa diangkat. Banyak rumah Bugis masa kini telah berubah bentuk: beton, bertingkat, atau tidak lagi dibangun di atas tiang. Namun, sisa-sisa tradisi mappalette bola masih hidup dan terus diwariskan, terutama saat ada peristiwa sosial penting. Bahkan di masa kontemporer, sebagian masyarakat Bugis merayakannya sebagai bagian dari pesta adat atau dokumentasi budaya.
Ironisnya, nilai-nilai gotong royong dalam tradisi ini justru kian langka di wilayah perkotaan. Mobilitas sosial, gaya hidup individualis, hingga tekanan ekonomi menjadikan solidaritas semacam ini sulit ditemukan. Rumah-rumah modern bisa dibeli dengan KPR, dipindahkan lewat jasa kontraktor, tetapi rasa saling memiliki dalam komunitas nyaris tidak bisa dibeli.
Tradisi angkat rumah Bugis menghadirkan kritik diam-diam terhadap kehidupan modern yang serba transaksional. Ia menawarkan alternatif: bahwa dalam kehidupan bersama, yang dibutuhkan bukan hanya uang dan alat berat, tapi kesediaan hati untuk hadir bagi sesama.
Peluang Pelestarian: Bukan Sekadar Atraksi Wisata
Dalam konteks kekinian, pelestarian tradisi ini bisa dilakukan dengan pendekatan yang kontekstual dan adaptif. Pemerintah daerah, lembaga adat, hingga pelaku pariwisata bisa bersinergi menjadikan mappalette bola sebagai warisan budaya tak benda (intangible cultural heritage) yang tak hanya dijaga, tetapi juga dikenalkan kepada generasi muda.
Beberapa komunitas di Bone, Soppeng, dan Wajo bahkan mulai melibatkan pelajar dan mahasiswa dalam tradisi ini, tidak lagi sekadar fisik mengangkat rumah, tetapi mengangkat nilai dan sejarahnya agar tidak tenggelam. Dokumentasi digital, festival budaya, hingga integrasi ke dalam kurikulum lokal menjadi langkah-langkah strategis yang layak dipertimbangkan.
Pemerintah pun bisa mengambil peran lebih besar dalam mencatat dan menetapkan mappalette bola sebagai warisan budaya nasional yang dilindungi, sekaligus memperkuat narasi tentang keunggulan sosial masyarakat lokal di tengah gempuran budaya global.
Menjaga yang Tak Tergantikan
Di saat banyak masyarakat adat kehilangan jati diri karena derasnya pengaruh luar, masyarakat Bugis masih memiliki satu kekuatan utama: daya tahan kebudayaan. Tradisi mappalette bola bukan hanya milik Bugis, tapi warisan Indonesia yang menunjukkan bahwa kita punya cara sendiri dalam membangun dan menjaga rumah---bukan hanya secara fisik, tetapi juga batin dan kebersamaan.
Dalam dunia yang kian terfragmentasi, rumah bukan sekadar tempat tinggal. Ia adalah metafora tentang hidup yang saling menopang. Dan masyarakat Bugis, dengan tradisi angkat rumahnya, sedang menunjukkan pada kita bahwa rumah terbaik adalah yang dibangun dan dipindahkan bersama-sama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI