Siapa sangka, teknologi yang dirancang untuk menyederhanakan transaksi justru memunculkan perdebatan di tengah masyarakat---bukan soal fungsi atau keamanannya, melainkan soal bagaimana ia dilafalkan. QRIS, akronim dari Quick Response Code Indonesian Standard, kini telah menjadi bagian dari keseharian masyarakat Indonesia dalam bertransaksi secara digital. Namun, hingga hari ini, satu pertanyaan sederhana masih sering terdengar: QRIS itu dibaca "kris" atau "kyuris"?
Di berbagai pusat perbelanjaan, kafe, hingga warung kecil di pinggir jalan, para pengguna dan pelayan sering kali menyebutnya dengan pelafalan berbeda. "Mbak, bayarnya pakai Kris bisa?" atau "Silakan scan Kyuris-nya, Kak," adalah frasa-frasa yang lazim terdengar. Bahkan, di media sosial, topik ini sesekali muncul kembali dan memancing diskusi ringan---kadang serius, kadang jenaka. Tapi, siapa yang salah? Dan siapa yang berwenang memberi kepastian?
QRIS dalam Ruang Publik: Sebuah Standarisasi yang Tak Selesai
QRIS diluncurkan oleh Bank Indonesia pada 17 Agustus 2019 sebagai upaya integrasi seluruh penyelenggara jasa sistem pembayaran melalui kode QR. Tujuannya jelas: efisiensi, keamanan, dan inklusi keuangan. Sebuah inovasi yang layak diapresiasi. Namun ironisnya, aspek sekecil---tapi fundamental---seperti pelafalan tak disertai panduan resmi sejak awal.
Bank Indonesia memang pernah memberikan klarifikasi bahwa pelafalan resmi QRIS adalah "kris", mengikuti pengucapan quick response secara lokal. Tapi di sisi lain, publik yang terbiasa dengan dunia teknologi global cenderung membaca QRIS mengikuti pelafalan bahasa Inggris dari "QR" menjadi "kyu-ar", dan akhirnya "kyu-ris" atau "kyuris".
Ini menunjukkan adanya jurang kecil antara kebijakan institusional dan praktik linguistik di lapangan. Ketika sebuah singkatan teknologi diperkenalkan tanpa strategi pelafalan yang kuat dalam kampanye edukasinya, masyarakat akan menciptakan logikanya sendiri.
Bukan Sekadar Cara Membaca: Soal Identitas Bahasa dan Literasi Digital
Perdebatan ini mungkin tampak remeh. Namun, dalam konteks yang lebih luas, ia menyiratkan persoalan serius: lemahnya literasi digital dan komunikasi publik di Indonesia. Jika pelafalan saja bisa menjadi membingungkan, bagaimana dengan pemahaman fungsi, keamanan, dan perlindungan data dalam transaksi digital?
Selain itu, hal ini juga menyentuh ranah linguistik dan identitas. Apakah kita akan terus menggunakan pelafalan asing untuk setiap istilah teknologi? Ataukah kita mulai memodifikasinya sesuai dengan ejaan dan fonetik bahasa Indonesia? QRIS adalah contoh menarik bagaimana globalisasi dan lokalisasi bersitegang dalam ranah sehari-hari.
Sebagai analogi, masyarakat Indonesia telah lama menggunakan kata ATM (dibaca "a-te-em"), bukan "eit-ti-em" seperti dalam bahasa Inggris. Begitu juga SMS (dibaca "es-em-es"), bukan "ess-em-ess". Pelafalan lokal tampaknya lebih logis dan mempermudah komunikasi.