Lena mengangguk. “Tanda isotopium-nya terlalu presisi. Tak ada yang bisa memalsukannya kecuali dia… atau aku. Tapi aku masih di pihak yang mempercayai batas.”
Ethan mengeluarkan tablet dan meletakkannya di meja. “Dia menyebutkan sesuatu... Zohreh Trigger Mechanism.”
Lena menatap layar sejenak. Kemudian, dengan suara setipis retakan es, ia berkata, “Aku ikut menggagas itu.”
Keheningan di antara mereka begitu padat, seolah udara menolak bergerak.
“Zohreh adalah model pemicu resonansi subkritikal,” lanjut Lena. “Ia tidak membutuhkan pengayaan penuh. Cukup 60%, ditambah pulsa elektromagnetik yang dimodulasi untuk mempercepat pembelahan parsial. Efeknya... seperti percikan api dalam ruangan penuh uap gas. Tidak selalu meledak, tapi selalu menakutkan.”
Ethan memicingkan mata. “Deterrence.”
“Bukan hanya deterrence. Ini semiotika kehancuran. Ia mengancam mungkin bukan dengan daya rusaknya, tapi dengan kemungkinan. Dan kemungkinan, Ethan... lebih menakutkan dari kepastian.”
Mereka saling diam.
“Aku pikir kamu sudah meninggalkan proyek itu,” kata Ethan akhirnya.
“Aku pikir juga begitu,” jawab Lena. “Tapi aku tak pernah meninggalkan Elias. Setidaknya, pikiranku masih hidup bersamanya, di ruang-ruang abstrak yang kita bangun bersama.”