Mohon tunggu...
Fransisca Dafrosa
Fransisca Dafrosa Mohon Tunggu... Guru

saya orang yang sedang belajar menulis Fiksiana.Humaniora.Lyfe

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sinergi Guru, Murid, dan Orang Tua: Kunci Membangun Pendidikan Bermutu

15 September 2025   14:26 Diperbarui: 15 September 2025   14:26 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sinergi nyata antara guru, murid, dan orang tua: komunikasi yang tulus melahirkan semangat belajar baru. Sumber: Dokpri-Gen AI

Pernahkah kita bertanya, mengapa ada murid yang kembali bersemangat setelah sempat kehilangan motivasi belajar, sementara yang lain justru makin terpuruk?


Jawabannya ternyata tidak sederhana. Perubahan pada seorang murid jarang terjadi secara tiba-tiba atau hanya karena satu faktor. Di balik setiap perubahan ada benang merah yang menghubungkan guru, murid, dan orang tua. Ketika komunikasi berjalan, kepercayaan pun tumbuh. Pendidikan akhirnya terasa bukan sekadar urusan sekolah, melainkan tanggung jawab bersama.
Sinergi inilah yang menjadi kunci membangun pendidikan bermutu.

Sebuah Kisah di Balik Bangku Kelas

Saya teringat seorang murid yang sempat kehilangan gairah belajar beberapa tahun lalu. Dia baru duduk di kelas 7. Nilainya merosot, wajahnya murung, dan ia kerap absen tanpa alasan jelas. Banyak yang menganggap ini masalah pribadi semata.

Sebagai wali kelas, saya tidak bisa tinggal diam. Saya mendekatinya, mengajaknya berbicara santai, menanyakan ada apa, dan mencoba memahami penyebabnya. Namun, perubahan signifikan tak kunjung terlihat. Akhirnya, saya meminta bantuan guru BK untuk memberikan pendampingan lebih intensif.

Langkah itu saya sampaikan kepada orang tuanya. Kami pun mengatur pertemuan antara saya, guru BK, dan orang tua untuk mencari titik terang. Dari pertemuan itu, terbuka ruang dialog yang sebelumnya tertutup. Semua pihak menyadari bahwa anak ini tidak bisa dipulihkan hanya dengan teguran, melainkan butuh dukungan berlapis.

Sejak saat itu, komunikasi menjadi lebih rutin. Setiap pekan, kami membicarakan perkembangan anak, berbagi pengamatan di sekolah, dan mendengar cerita dari rumah. Sementara itu, sang murid tidak lagi dihakimi, melainkan didengarkan. Perlahan, semangatnya tumbuh kembali. Ia berani mengungkapkan ide, prestasinya membaik.

Kisah sederhana ini menegaskan bahwa pendidikan bermutu tidak lahir dari satu pihak. Ia adalah hasil sinergi yang tulus, dengan keterlibatan guru, orang tua, dan tenaga pendamping di sekolah.

Komunikasi yang Lebih dari Formalitas

Di masa digital seperti sekarang, hubungan guru dan orang tua kerap terbatas pada laporan nilai atau jadwal sekolah. Namun, ada guru yang memilih melangkah lebih jauh: membuka grup WhatsApp bukan hanya untuk informasi, melainkan juga sebagai ruang berbagi.

Di sana, orang tua saling bertukar tips parenting, mendiskusikan literasi digital, hingga berbagi pengalaman mendampingi anak belajar daring. Guru berperan sebagai fasilitator, bukan sekadar penyampai informasi.

Hasilnya, sekolah tidak lagi terasa sebagai ruang yang terpisah dari rumah. Ada kebersamaan yang menumbuhkan keyakinan bahwa mendidik anak adalah kerja kolektif, bukan kerja individu.

Model komunikasi seperti ini memberi sinyal positif bahwa pendidikan bermutu lahir dari relasi yang hidup, bukan sekadar prosedur.

Murid Gen-Z, Rapor, dan Ruang Apresiasi

Generasi Z dan Alpha tumbuh di dunia yang serba cepat, kreatif, dan digital. Mereka tidak hanya ingin diakui dari angka rapor, tetapi juga dari karya kreatif yang lahir dari minat mereka.

Sebuah studi UNESCO (2023) menegaskan bahwa apresiasi non-akademik meningkatkan rasa percaya diri murid hingga 35%. Bukti ini selaras dengan pengalaman seorang siswa yang merasa dihargai ketika gurunya memberi ruang presentasi karyanya di kelas, sementara orang tuanya menyediakan peralatan sederhana di rumah.

Sinergi kecil ini membuatnya merasa diperhatikan secara utuh, bukan sekadar angka di rapor. Inilah yang membedakan pendidikan bermutu: menghargai potensi anak sesuai zamannya, bukan sekadar menilai capaian akademik.

Anak-anak generasi digital merindukan ruang apresiasi. Mereka ingin dianggap penting, bukan hanya dari nilai ujian, melainkan juga dari kreativitas dan keberanian mengekspresikan diri.

Mengapa Sinergi Sering Gagal?

Meski ideal, sinergi guru, murid, dan orang tua kerap tersendat di lapangan. Banyak orang tua terlalu sibuk bekerja, guru terbebani administrasi, sementara murid merasa tidak didengar.

Hasil survei UNICEF Indonesia (2022) menunjukkan hanya 42% orang tua yang rutin berdialog dengan guru tentang perkembangan anak. Angka ini menunjukkan kesenjangan komunikasi yang cukup besar.

Padahal, dialog sederhana bisa mencegah masalah besar: anak yang kehilangan motivasi, terjebak perundungan, atau bahkan putus sekolah.

Hambatan lain muncul dari ketimpangan digital. Tidak semua orang tua nyaman berkomunikasi melalui platform daring. Ada yang hanya aktif sesekali, sehingga informasi penting terlambat diterima.

Di sisi lain, ada juga guru yang masih melihat peran orang tua sebatas penyedia kebutuhan anak. Padahal, keterlibatan mereka dalam pendidikan jauh lebih luas dari sekadar biaya dan fasilitas.

Murid pun tidak selalu terbuka. Banyak yang memilih diam karena merasa tidak dipercaya, atau takut dianggap lemah. Semua ini membuat sinergi yang ideal sering terjebak pada formalitas belaka.

Belajar dari Praktik Baik

Meski banyak kendala, ada sejumlah praktik yang bisa menjadi inspirasi. Beberapa sekolah di berbagai daerah mulai mencoba pola komunikasi tiga pihak: guru, murid, dan orang tua, dengan cara yang beragam. Ada sekolah dasar yang rutin menggelar pertemuan bulanan, ada pula yang mengadakan forum silaturahim atau parenting day. Polanya berbeda, tetapi tujuannya sama: menciptakan ruang dialog yang jujur dan saling mendukung.

Di sekolah saya, selain platform LMS bernama KISS (Kanaan Integrated Support System) yang melibatkan guru, siswa, dan orang tua, juga diadakan pertemuan orang tua terjadwal bersama kepala sekolah di awal dan akhir semester. Pertemuan ini tidak hanya untuk menyampaikan kegiatan sekolah, tetapi juga sebagai ruang evaluasi dan tukar pendapat, sehingga komunikasi antara guru, orang tua, dan pihak sekolah menjadi lebih terbuka dan efektif.

Melalui KISS, orang tua dapat memantau perkembangan anak secara lebih utuh: mulai dari kehadiran, keterlambatan, catatan guru, catatan pelajaran, latihan, nilai ulangan, hingga dokumentasi kegiatan belajar. Kehadiran aplikasi ini membuat komunikasi lebih transparan dan partisipasi orang tua menjadi nyata, bukan sekadar formalitas.

Platform LMS KISS SMP K Kanaan. Sumber: Dokpri
Platform LMS KISS SMP K Kanaan. Sumber: Dokpri

Praktik-praktik ini menegaskan bahwa sinergi tidak harus rumit. Hal yang dibutuhkan adalah keterbukaan, konsistensi, dan kemauan untuk saling mendengar. Dukungan orang tua di rumah pun bisa hadir dalam bentuk sederhana: meluangkan sepuluh menit setiap malam untuk menanyakan pengalaman anak di sekolah, bukan sekadar memeriksa nilai. Ada pula orang tua yang menyiapkan sudut kecil sebagai ruang belajar, lengkap dengan papan catatan dan karya anak yang dipajang, sehingga anak merasa dihargai. Bahkan hal sepraktis menemani anak mengerjakan tugas sambil berdiskusi ringan, atau memberikan apresiasi kecil ketika anak berusaha, sudah menjadi energi besar yang menumbuhkan motivasi.

Platform LMS KISS SMP K Kanaan. Sumber: Dokpri
Platform LMS KISS SMP K Kanaan. Sumber: Dokpri

Dari Sinergi Lahir Karakter

Kerja sama guru, murid, dan orang tua membentuk ekosistem pendidikan yang sehat. Guru menghadirkan metode belajar adaptif, orang tua memberi dukungan konsisten di rumah, sementara murid merasa lebih berdaya.

Dari sinergi itu lahir karakter penting: komunikasi terbuka, rasa percaya, dan keberanian untuk berkembang. Pendidikan bukan hanya soal ilmu, tetapi juga tentang rasa dimanusiakan. Seperti yang ditegaskan Ki Hadjar Dewantara:

"Dengan budi pekerti, tiap-tiap manusia berdiri sebagai manusia merdeka (berpribadi), yang dapat memerintah atau menguasai diri sendiri. Inilah manusia beradab dan itulah maksud dan tujuan pendidikan dalam garis besarnya."

Selain itu, pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara juga harus memperhatikan keseimbangan cipta, rasa, dan karsa:

"Pendidikan yang dimaksud oleh Ki Hajar Dewantara memperhatikan keseimbangan cipta, rasa, dan karsa tidak hanya sekadar proses  transfer of knowledge, tetapi sekaligus pendidikan juga sebagai proses transformation of value."

Kutipan-kutipan ini menegaskan bahwa pendidikan bermutu harus membentuk karakter yang tangguh, budi pekerti, dan nilai kemanusiaan, sehingga anak tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga beradab dan mampu berdiri sebagai pribadi yang merdeka.

Membangun Pendidikan Bermutu Bersama

Pendidikan bermutu bukanlah hasil instan. Ia tumbuh dari percakapan, kerja sama, dan empati antara guru, murid, dan orang tua.

Jika ruang kelas mampu terhubung dengan ruang keluarga, maka lahirlah generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga tangguh siap hadapi tantangan abad 21. 

Sebagai penutup mari kita refleksikan dengan pertanyaan sederhana: 

sudahkah kita, sebagai orang tua dan guru, benar-benar hadir untuk bersinergi membangun fondasi pendidikan bermutu atau hanya sekadar hadir tanpa makna?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun