Apakah membaca buku saja sudah cukup membuat siswa menjadi cerdas?
Pertanyaan ini penting diajukan, karena sering kali kita merasa puas hanya dengan melihat anak-anak memegang buku. Guru merasa lega bila siswa membaca, orang tua merasa bangga bila anak tampak tekun membuka halaman.
Namun, membaca sejatinya bukan tujuan akhir. Membaca hanyalah pintu masuk. Pertanyaan besar berikutnya adalah: apa yang dilakukan siswa setelah membuka pintu itu?
Tanpa kemampuan memahami dan membedah isi buku, siswa hanya akan berputar-putar di ruang kata-kata tanpa arah. Membaca jadi aktivitas pasif, bukan proses belajar aktif. Padahal, hakikat literasi adalah kemampuan untuk mengolah, mengkritisi, dan mengaitkan isi bacaan dengan kehidupan nyata.
Membaca sebagai Awal, Membelah sebagai Kunci
Banyak sekolah sudah mewajibkan program membaca. Ada yang menerapkan 15 menit membaca sebelum pelajaran dimulai, ada pula yang membagikan buku nonteks pelajaran. Namun, praktik itu sering berhenti pada permukaan. Siswa membaca, lalu menutup buku tanpa ada proses refleksi.
Kemampuan membedah buku berarti mengurai isi bacaan menjadi bagian-bagian yang lebih mudah dipahami. Siswa belajar menemukan ide utama, menangkap detail penting, menghubungkan satu gagasan dengan gagasan lain, bahkan mengkritisi argumen penulis. Dengan begitu, mereka tidak hanya "membaca kata" tetapi juga "membaca makna".
Inilah yang membuat literasi berbeda dari sekadar kebiasaan membaca. Literasi sejati lahir dari kemampuan membongkar isi bacaan, menghubungkannya dengan pengalaman, lalu menumbuhkan gagasan baru.
Mengapa Harus Mampu Membedah Buku?
Ada beberapa alasan mengapa kemampuan membedah bacaan sangat penting bagi siswa:
- Melatih berpikir kritis.
Siswa terbiasa menimbang: apakah ide penulis logis? Apakah argumen yang disampaikan bisa dipertanggungjawabkan? - Menghubungkan bacaan dengan realitas.
Isi buku tidak berhenti di halaman terakhir. Misalnya, setelah membaca novel tentang perjuangan tokoh muda, siswa bisa mendiskusikan bagaimana nilai itu relevan dengan tantangan generasi sekarang. - Membentuk karakter pembelajar mandiri.
Siswa tidak sekadar menerima informasi, tapi berani mengajukan pertanyaan dan menantang gagasan yang mereka baca. - Meningkatkan keterampilan komunikasi.
Dengan membedah buku, siswa lebih mudah menyusun resensi, menuliskan pendapat, bahkan menyampaikan argumen dalam diskusi kelas. - Mengasah empati.
Membaca kisah orang lain lalu membedah pesan moralnya membantu siswa memahami perspektif yang berbeda dari dirinya.
Cara Membimbing Siswa Membaca dan Membedah Buku
Kemampuan membedah bacaan tidak bisa muncul begitu saja. Guru dan orang tua perlu memberikan pendampingan. Beberapa cara yang dapat dilakukan antara lain:
- Ajukan pertanyaan reflektif.
Guru bisa bertanya: "Apa yang kamu tangkap dari tokoh utama?" atau "Mengapa penulis mengambil sudut pandang itu?" - Gunakan metode mind map.
Membuat peta gagasan membantu siswa melihat keterkaitan antaride, bukan sekadar menyalin isi buku. - Latih menulis catatan kritis.
Dorong siswa membuat catatan di pinggir buku atau jurnal khusus berisi komentar pribadi, bukan sekadar ringkasan. - Diskusikan isi bacaan.
Membaca bersama lalu mendebatkannya membuat proses belajar lebih hidup. - Terapkan reward sederhana.
Misalnya, papan bintang untuk siswa yang bisa menyampaikan analisis menarik dari buku yang dibaca.
Klub Literasi: Ruang Hidup bagi Buku
Salah satu cara efektif menumbuhkan budaya membedah bacaan adalah melalui klub literasi. Klub ini bisa hadir di sekolah dengan nama sederhana, misalnya Komunitas Bedah Buku atau Pojok Literasi.
Di sekolah saya, klub literasi diadakan secara rutin dua kali dalam sepekan. Hari Jumat diperuntukkan bagi siswa kelas 7 dan 8, sementara hari Senin khusus untuk kelas 9. Pembagian ini membuat suasana lebih fokus karena tiap jenjang punya dinamika sendiri.