Meski banyak kendala, ada sejumlah praktik yang bisa menjadi inspirasi. Beberapa sekolah di berbagai daerah mulai mencoba pola komunikasi tiga pihak: guru, murid, dan orang tua, dengan cara yang beragam. Ada sekolah dasar yang rutin menggelar pertemuan bulanan, ada pula yang mengadakan forum silaturahim atau parenting day. Polanya berbeda, tetapi tujuannya sama: menciptakan ruang dialog yang jujur dan saling mendukung.
Di sekolah saya, selain platform LMS bernama KISS (Kanaan Integrated Support System) yang melibatkan guru, siswa, dan orang tua, juga diadakan pertemuan orang tua terjadwal bersama kepala sekolah di awal dan akhir semester. Pertemuan ini tidak hanya untuk menyampaikan kegiatan sekolah, tetapi juga sebagai ruang evaluasi dan tukar pendapat, sehingga komunikasi antara guru, orang tua, dan pihak sekolah menjadi lebih terbuka dan efektif.
Melalui KISS, orang tua dapat memantau perkembangan anak secara lebih utuh: mulai dari kehadiran, keterlambatan, catatan guru, catatan pelajaran, latihan, nilai ulangan, hingga dokumentasi kegiatan belajar. Kehadiran aplikasi ini membuat komunikasi lebih transparan dan partisipasi orang tua menjadi nyata, bukan sekadar formalitas.
Praktik-praktik ini menegaskan bahwa sinergi tidak harus rumit. Hal yang dibutuhkan adalah keterbukaan, konsistensi, dan kemauan untuk saling mendengar. Dukungan orang tua di rumah pun bisa hadir dalam bentuk sederhana: meluangkan sepuluh menit setiap malam untuk menanyakan pengalaman anak di sekolah, bukan sekadar memeriksa nilai. Ada pula orang tua yang menyiapkan sudut kecil sebagai ruang belajar, lengkap dengan papan catatan dan karya anak yang dipajang, sehingga anak merasa dihargai. Bahkan hal sepraktis menemani anak mengerjakan tugas sambil berdiskusi ringan, atau memberikan apresiasi kecil ketika anak berusaha, sudah menjadi energi besar yang menumbuhkan motivasi.
Dari Sinergi Lahir Karakter
Kerja sama guru, murid, dan orang tua membentuk ekosistem pendidikan yang sehat. Guru menghadirkan metode belajar adaptif, orang tua memberi dukungan konsisten di rumah, sementara murid merasa lebih berdaya.
Dari sinergi itu lahir karakter penting: komunikasi terbuka, rasa percaya, dan keberanian untuk berkembang. Pendidikan bukan hanya soal ilmu, tetapi juga tentang rasa dimanusiakan. Seperti yang ditegaskan Ki Hadjar Dewantara:
"Dengan budi pekerti, tiap-tiap manusia berdiri sebagai manusia merdeka (berpribadi), yang dapat memerintah atau menguasai diri sendiri. Inilah manusia beradab dan itulah maksud dan tujuan pendidikan dalam garis besarnya."
Selain itu, pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara juga harus memperhatikan keseimbangan cipta, rasa, dan karsa:
"Pendidikan yang dimaksud oleh Ki Hajar Dewantara memperhatikan keseimbangan cipta, rasa, dan karsa tidak hanya sekadar proses  transfer of knowledge, tetapi sekaligus pendidikan juga sebagai proses transformation of value."