Mohon tunggu...
Fransisca Dafrosa
Fransisca Dafrosa Mohon Tunggu... Guru

saya orang yang sedang belajar menulis Fiksiana.Humaniora.Lyfe

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sinergi Guru, Murid, dan Orang Tua: Kunci Membangun Pendidikan Bermutu

15 September 2025   14:26 Diperbarui: 15 September 2025   14:26 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Platform LMS KISS SMP K Kanaan. Sumber: Dokpri

Model komunikasi seperti ini memberi sinyal positif bahwa pendidikan bermutu lahir dari relasi yang hidup, bukan sekadar prosedur.

Murid Gen-Z, Rapor, dan Ruang Apresiasi

Generasi Z dan Alpha tumbuh di dunia yang serba cepat, kreatif, dan digital. Mereka tidak hanya ingin diakui dari angka rapor, tetapi juga dari karya kreatif yang lahir dari minat mereka.

Sebuah studi UNESCO (2023) menegaskan bahwa apresiasi non-akademik meningkatkan rasa percaya diri murid hingga 35%. Bukti ini selaras dengan pengalaman seorang siswa yang merasa dihargai ketika gurunya memberi ruang presentasi karyanya di kelas, sementara orang tuanya menyediakan peralatan sederhana di rumah.

Sinergi kecil ini membuatnya merasa diperhatikan secara utuh, bukan sekadar angka di rapor. Inilah yang membedakan pendidikan bermutu: menghargai potensi anak sesuai zamannya, bukan sekadar menilai capaian akademik.

Anak-anak generasi digital merindukan ruang apresiasi. Mereka ingin dianggap penting, bukan hanya dari nilai ujian, melainkan juga dari kreativitas dan keberanian mengekspresikan diri.

Mengapa Sinergi Sering Gagal?

Meski ideal, sinergi guru, murid, dan orang tua kerap tersendat di lapangan. Banyak orang tua terlalu sibuk bekerja, guru terbebani administrasi, sementara murid merasa tidak didengar.

Hasil survei UNICEF Indonesia (2022) menunjukkan hanya 42% orang tua yang rutin berdialog dengan guru tentang perkembangan anak. Angka ini menunjukkan kesenjangan komunikasi yang cukup besar.

Padahal, dialog sederhana bisa mencegah masalah besar: anak yang kehilangan motivasi, terjebak perundungan, atau bahkan putus sekolah.

Hambatan lain muncul dari ketimpangan digital. Tidak semua orang tua nyaman berkomunikasi melalui platform daring. Ada yang hanya aktif sesekali, sehingga informasi penting terlambat diterima.

Di sisi lain, ada juga guru yang masih melihat peran orang tua sebatas penyedia kebutuhan anak. Padahal, keterlibatan mereka dalam pendidikan jauh lebih luas dari sekadar biaya dan fasilitas.

Murid pun tidak selalu terbuka. Banyak yang memilih diam karena merasa tidak dipercaya, atau takut dianggap lemah. Semua ini membuat sinergi yang ideal sering terjebak pada formalitas belaka.

Belajar dari Praktik Baik

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun