Model komunikasi seperti ini memberi sinyal positif bahwa pendidikan bermutu lahir dari relasi yang hidup, bukan sekadar prosedur.
Murid Gen-Z, Rapor, dan Ruang Apresiasi
Generasi Z dan Alpha tumbuh di dunia yang serba cepat, kreatif, dan digital. Mereka tidak hanya ingin diakui dari angka rapor, tetapi juga dari karya kreatif yang lahir dari minat mereka.
Sebuah studi UNESCO (2023) menegaskan bahwa apresiasi non-akademik meningkatkan rasa percaya diri murid hingga 35%. Bukti ini selaras dengan pengalaman seorang siswa yang merasa dihargai ketika gurunya memberi ruang presentasi karyanya di kelas, sementara orang tuanya menyediakan peralatan sederhana di rumah.
Sinergi kecil ini membuatnya merasa diperhatikan secara utuh, bukan sekadar angka di rapor. Inilah yang membedakan pendidikan bermutu: menghargai potensi anak sesuai zamannya, bukan sekadar menilai capaian akademik.
Anak-anak generasi digital merindukan ruang apresiasi. Mereka ingin dianggap penting, bukan hanya dari nilai ujian, melainkan juga dari kreativitas dan keberanian mengekspresikan diri.
Mengapa Sinergi Sering Gagal?
Meski ideal, sinergi guru, murid, dan orang tua kerap tersendat di lapangan. Banyak orang tua terlalu sibuk bekerja, guru terbebani administrasi, sementara murid merasa tidak didengar.
Hasil survei UNICEF Indonesia (2022) menunjukkan hanya 42% orang tua yang rutin berdialog dengan guru tentang perkembangan anak. Angka ini menunjukkan kesenjangan komunikasi yang cukup besar.
Padahal, dialog sederhana bisa mencegah masalah besar: anak yang kehilangan motivasi, terjebak perundungan, atau bahkan putus sekolah.
Hambatan lain muncul dari ketimpangan digital. Tidak semua orang tua nyaman berkomunikasi melalui platform daring. Ada yang hanya aktif sesekali, sehingga informasi penting terlambat diterima.
Di sisi lain, ada juga guru yang masih melihat peran orang tua sebatas penyedia kebutuhan anak. Padahal, keterlibatan mereka dalam pendidikan jauh lebih luas dari sekadar biaya dan fasilitas.
Murid pun tidak selalu terbuka. Banyak yang memilih diam karena merasa tidak dipercaya, atau takut dianggap lemah. Semua ini membuat sinergi yang ideal sering terjebak pada formalitas belaka.