Mohon tunggu...
Bayu Wira Pratama
Bayu Wira Pratama Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

Saya adalah seseorang yang terus mencari identitas dan belajar untuk terus belajar. Sangat menghargai pengetahuan, apalagi ketidaktahuan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kant dan Hatta: "Jam Rakyat"

21 September 2022   20:59 Diperbarui: 21 September 2022   22:22 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Immanuel Kant dan Muhammad Hatta.

"Ada lebih banyak kebijaksanaan di dalam tubuhmu ketimbang di dalam seluruh filosofimu" -Friedrich Nietzsche 

Siapa yang tak mengenal Immanuel Kant, terlebih lagi bagi mereka yang mempelajari filsafat dan mereka yang 'berfilsafat'? Seorang filsuf Abad ke-17 dari Jerman yang meyakini bahwa filsafat adalah sumber dan pokok bagi segala ilmu pengetahuan. 

Beliau juga membagi persoalan kajian filsafatnya ke dalam empat ranah: metafisika, agama, etika, dan antropologi. Dan masih banyak lagi pemikiran-pemikiran penting dan berpengaruh darinya yang turut serta mewarnai perkembangan pemikiran Abad Pencerahan, abad ke-17. 

Begitu pula, siapa yang tak mengenal Muhammad Hatta, terlebih lagi saudara setanah airnya? Namanya tak akan pernah lepas dari proklamasi kemerdekaan Indonesia. Wakil Presiden Indonesia yang juga pernah menjadi bagian dari BPUPKI, PPKI, hingga Panitia Sembilan. Nama sosok kelahiran Aur Tajungkang, Bukittinggi ini dijadikan nama jalan di kota Haarlem Belanda, Hattastraat. Diasingkan dari Banda Neira hingga Boven Digul, perjuangannya untuk kemerdekaan Indonesia tak pernah surut. 

Tapi, untuk mengawalinya, mengapa Kant dan Hatta? Jelas sebuah perbedaan yang kontras, karena di satu sisi Kant terkenal lewat pandangan filsafatnya, sedangkan Hatta terkenal lewat pandangan politiknya. 

Tapi, sejatinya keduanya sama-sama memahami filsafat dan politik. Kant adalah salah satu orang yang mempopulerkan pandangan Montesquieu terkait pemisahan kekuasaan (Legislatif-Eksekutif-Yudikatif). Beliau mengistilahkannya dengan Trias Politica. Ketiganya dianggap sebagai cabang dari kekuasaan. Kant juga menekankan bahwa politik ada untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani, dan politik ada agar setiap orang puas terhadap pengaturannya. 

Begitu pun dengan Hatta. Filsafat justru adalah salah satu tema yang paling disukainya dan buku-buku tentangnya banyak mengambil porsi dalam perpustakaan pribadinya. Ketika dalam pengasingannya pun, beliau mengkaji seputar filsafat dan mengajarkannya kepada penduduk setempat. 

Salah satu karya Hatta adalah Alam Pikiran Yunani, menjelaskan terkait filsafat pada masa Yunani dan ditulis ketika beliau berada dalam pengasingan yang mengerikan di Boven Digul. 

Mengerikan disini bukan berarti disana beliau mengalami kekejaman, tapi rasa kebosanan yang luar biasa. Lokasinya benar-benar terpencil di tanah Papua, terkurung hutan rimba dan paya-paya bernyamuk. 

Tanah terdekat yang dapat dijangkau sejauh 50 jam pelayaran dengan kapal motor, yaitu di Tual, Maluku. Disana, satu pondok kecil beratap seng dihuni 14 orang. Persediaan pangan juga terbatas. Dan, tak dapat lagi dilukiskan dengan kata-kata. 

Baik Kant maupun Hatta, jarang diekspos terkait dengan rutinitas sehari-hari mereka. Salah satu yang cukup menarik perhatian disini adalah rutinitas mereka berjalan kaki. Ya, berjalan kaki. Kita memang berjalan kaki, tapi apakah kita benar-benar "berjalan kaki?" 

Dari Socrates, Nabi Muhammad, Rousseau, Thoreau, hingga Nietzsche, semuanya adalah pejalan kaki yang hebat. Mereka berjalan kaki dengan penuh kesadaran, melangkahkan satu kaki di depan kaki yang lainnya dengan niat. 

Mereka menganggap tak ada satupun langkah kaki yang sia-sia. Mulai dari langkah kaki ke masjid yang dihitung pahala dari sabda Nabi Muhammad hingga langkah demi langkah Kaki Rousseau yang membawanya pada sebuah pemikiran filosofis kendati mata ikan yang menyakitkannya sepanjang hidup (sampai-sampai beliau tak bisa melompati sebuah got biasa). Termasuk di antara barisan pejalan kaki tersebut, ada nama Kant dan Hatta. 

Königsberg, Prusia, sudah kenyang diinjak oleh kedua kaki Kant. Selain membaca dan menulis, beliau menganggap berjalan kaki sebagai rutinitas penting, di samping juga apa yang harus ia santap. 

Beliau sangat disiplin dan peduli terhadap kerapihan. Tepat pada pukul 5 sore, Kant berjalan kaki. Entah cuaca cerah atau hujan, beliau tetap kukuh ingin melangkahkan kaki keluar. 

Beliau berjalan dengan mulut tertutup, karena itulah beliau dijumpai berjalan hanya seorang diri. Rutenya selama rutinitas itu dijalankan sama persis, dijuluki sebagai "Jalan Sang Filsuf". 

Hanya dua kali Kant mengubah rutenya, pertama ketika Kant ingin membeli buku terbaru Rousseau, Émile, yang kedua ketika Kant ingin mengetahui berita terkini seputar Revolusi Prancis. 

Saking teraturnya jadwal sehari-harinya, juga jadwal berjalan kakinya, Kant disebut sebagai "Jam Königsberg". Orang-orang mencocokkan jamnya dengan rutinitas Kant. Ketika Kant keluar untuk berjalan kaki pukul 5 sore, orang-orang yang tidak tahu waktu langsung mengetahuinya setelah melihat Kant. 

Hal serupa juga dirutinkan oleh Hatta. Dimanapun Hatta berada, meskipun jadwalnya berubah-ubah tergantung tempatnya, tapi ditaatinya dengan betul. Selama pengasingannya di Banda Neira, Hatta merutinkan berjalan kaki dari pukul 4-5 sore mengelilingi Pulau Banda melewati kebun pala. Ini dilakukannya dari Senin hingga Sabtu. 

Dengan jarak tempuh sekitar 3 km bolak-balik, Hatta menyusuri jalan setapak. Rutenya pun juga sama persis tiap harinya: Dari rumah ke masjid, belok masuk ke hutan, melewati kebun pala, dan finish di dekat pantai ujung pulau. Rutenya juga sama ketika kembali. Pekerja perkebunan setempat menjadi hafal betul dengan rutinitas Hatta tersebut. 

Jika Hatta muncul, para pekerja akan berseru, "Wah, sudah jam lima." Mereka lalu berhenti bekerja. Hatta dijadikan "jam" oleh mereka karena tidak ada jam di kebun pala yang luas tersebut. Hatta fokus dalam kegiatan berjalan kakinya, dan jarang berhenti untuk sekadar mengobrol dengan pekerja kebun. 

Karena itulah, keduanya pantas untuk disebut sebagai "Jam Rakyat", karena berjalan kakinya yang diatur dalam sebuah rutinitas yang terikat dengan jam, turut serta menjadi acuan waktu bagi orang lain. Dan, bukankah itu berarti mereka juga memberikan manfaat bagi masyarakat secara tidak langsung? Atau, secara tidak sadar? 

Mengapa mereka memiliki sebuah rutinitas tersendiri untuk berjalan kaki? Bukankah berjalan kaki sudah menjadi bagian dari diri kita setiap detiknya? 

Perlu disadari (bukan diketahui), bahwa berjalan itu demokratis. Kecuali ada cacat, semua orang dapat berjalan. Pejalan kaki yang kaya tidak lantas lebih tinggi daripada pejalan kaki yang kurang mampu. Mereka berjalan sambil memosisikan diri sebagai seorang manusia, sama seperti yang lainnya. Bebas dari rasa kesombongan. 

Berjalan kaki mengantarkan kita pada diri yang lebih autentik, karena berjalan sejatinya bukanlah suatu pilihan, dan berjalan adalah "hal yang tak pernah berkembang sejak dahulu". Dari zaman Nabi Adam hingga masa kini, berjalan kakinya tetap sama. Satu kaki di depan, satu kaki di belakang, saling bergantian menapak tanah sambil tangan berayun. 

Rousseau, yang pernah berjalan kaki dari Jenewa, Austria ke Paris, Prancis sejauh 485 km dalam dua minggu, menyarankan agar kita kembali ke alam, dan bukankah berjalan itu alamiah? 

Pikiran menjadi subur pada kecepatan 5 km per jam, kecepatan langkah sedang. Pikiran bebas, dan hal-hal menakjubkan terjadi secara tak diduga. Tidak selalu memang, tapi lebih sering dari yang kita kira. Berjalan kaki memberi porsi seimbang antara stimulasi dan istirahat, olah fisik dan kesenggangan. 

Saat berjalan, secara bersamaan kita melakukan dan tidak melakukan. Pikiran sibuk fokus medan di depan, waspada keadaan sekitar. Tapi itu tak menghabiskan banyak ruang di otak. Masih banyak yang tersisa untuk mengikuti hasrat yang tiba-tiba. 

Setelah mengetahui sisi lain Kant dan Hatta diatas, juga posisi berjalan kaki dalam dunia filsafat, lantas apa yang membuat kita menahan diri untuk mulai melangkah? Apalagi, momentum saat ini menjadi semakin mendukung, mengingat harga BBM yang naik drastis. Jika hanya untuk pergi ke masjid atau minimarket yang tak lebih dari 5 km, bukankah sudah seharusnya berjalan kaki terlintas di benak kita? 

Referensi:

1. Gros, Frédéric. A Philosophy of Walking: Filosofi Jalan Kaki. Jakarta: PT. Rene Turos Indonesia, 2020.

2. Tempo. Hatta: Jejak yang Melampaui Zaman. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2022.

3. Weiner, Eric. The Socrates Express: Menjaga Kewarasan di Tengah Ketidakpastian. Bandung: Qanita, 2020.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun