Mohon tunggu...
Bayu Wira Pratama
Bayu Wira Pratama Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

Saya adalah seseorang yang terus mencari identitas dan belajar untuk terus belajar. Sangat menghargai pengetahuan, apalagi ketidaktahuan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kant dan Hatta: "Jam Rakyat"

21 September 2022   20:59 Diperbarui: 21 September 2022   22:22 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karena itulah, keduanya pantas untuk disebut sebagai "Jam Rakyat", karena berjalan kakinya yang diatur dalam sebuah rutinitas yang terikat dengan jam, turut serta menjadi acuan waktu bagi orang lain. Dan, bukankah itu berarti mereka juga memberikan manfaat bagi masyarakat secara tidak langsung? Atau, secara tidak sadar? 

Mengapa mereka memiliki sebuah rutinitas tersendiri untuk berjalan kaki? Bukankah berjalan kaki sudah menjadi bagian dari diri kita setiap detiknya? 

Perlu disadari (bukan diketahui), bahwa berjalan itu demokratis. Kecuali ada cacat, semua orang dapat berjalan. Pejalan kaki yang kaya tidak lantas lebih tinggi daripada pejalan kaki yang kurang mampu. Mereka berjalan sambil memosisikan diri sebagai seorang manusia, sama seperti yang lainnya. Bebas dari rasa kesombongan. 

Berjalan kaki mengantarkan kita pada diri yang lebih autentik, karena berjalan sejatinya bukanlah suatu pilihan, dan berjalan adalah "hal yang tak pernah berkembang sejak dahulu". Dari zaman Nabi Adam hingga masa kini, berjalan kakinya tetap sama. Satu kaki di depan, satu kaki di belakang, saling bergantian menapak tanah sambil tangan berayun. 

Rousseau, yang pernah berjalan kaki dari Jenewa, Austria ke Paris, Prancis sejauh 485 km dalam dua minggu, menyarankan agar kita kembali ke alam, dan bukankah berjalan itu alamiah? 

Pikiran menjadi subur pada kecepatan 5 km per jam, kecepatan langkah sedang. Pikiran bebas, dan hal-hal menakjubkan terjadi secara tak diduga. Tidak selalu memang, tapi lebih sering dari yang kita kira. Berjalan kaki memberi porsi seimbang antara stimulasi dan istirahat, olah fisik dan kesenggangan. 

Saat berjalan, secara bersamaan kita melakukan dan tidak melakukan. Pikiran sibuk fokus medan di depan, waspada keadaan sekitar. Tapi itu tak menghabiskan banyak ruang di otak. Masih banyak yang tersisa untuk mengikuti hasrat yang tiba-tiba. 

Setelah mengetahui sisi lain Kant dan Hatta diatas, juga posisi berjalan kaki dalam dunia filsafat, lantas apa yang membuat kita menahan diri untuk mulai melangkah? Apalagi, momentum saat ini menjadi semakin mendukung, mengingat harga BBM yang naik drastis. Jika hanya untuk pergi ke masjid atau minimarket yang tak lebih dari 5 km, bukankah sudah seharusnya berjalan kaki terlintas di benak kita? 

Referensi:

1. Gros, Frédéric. A Philosophy of Walking: Filosofi Jalan Kaki. Jakarta: PT. Rene Turos Indonesia, 2020.

2. Tempo. Hatta: Jejak yang Melampaui Zaman. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2022.

3. Weiner, Eric. The Socrates Express: Menjaga Kewarasan di Tengah Ketidakpastian. Bandung: Qanita, 2020.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun