Akibatnya, kita masuk ke siklus repetitive dimana rakyat marah penguasa panik tokoh agama dipanggil amarah reda sementara ketidakadilan dibiarkan rakyat kembali marah. Siklus ini mungkin menguntungkan elit, tetapi merusak rasionalitas publik. Masyarakat dipaksa percaya bahwa masalah sosial bisa dibereskan dengan legitimasi simbolik, bukan dengan kebijakan berbasis pengetahuan.
Risiko Jangka Panjang
Jika pola ini terus dipertahankan, ada dua risiko besar yang menanti. Pertama, hilangnya kepercayaan publik terhadap institusi agama itu sendiri. Tokoh agama akan dilihat sebagai perpanjangan tangan penguasa, bukan sebagai suara moral yang membela rakyat. Kedua, erosi rasionalitas publik. Masyarakat akan terbiasa menerima solusi semu dan melupakan tuntutan struktural, sehingga ruang kritis makin menyempit.
Pada titik ini, negara bukan hanya gagal menyelesaikan masalah sosial, tetapi juga merusak fondasi demokrasi. Demokrasi hanya bisa tumbuh jika ada ruang rasional, jika publik terbiasa berpikir kritis, dan jika kebijakan disusun berdasarkan pengetahuan ilmiah. Menggantinya dengan legitimasi simbolik sama saja dengan mundur ke era feodalisme, ketika doa lebih diutamakan daripada ilmu.
Jalan Alternatif
Kita memerlukan keberanian politik untuk memutus pola lama ini. Respons negara terhadap demonstrasi tidak bisa lagi mengandalkan ceramah moral atau ritual simbolik. Ada tiga langkah yang bisa ditempuh.
Pertama, membuka ruang dialog langsung dengan demonstran. Bukan pertemuan tertutup dengan elit agama atau partai politik, tetapi forum terbuka yang bisa disaksikan publik. Transparansi ini penting untuk membangun kembali kepercayaan.
Kedua, melibatkan akademisi, peneliti, dan ilmuwan sosial dalam merumuskan solusi. Mereka bekerja dengan data, teori, dan metodologi yang dapat memetakan akar persoalan secara obyektif. Suara mereka harus menjadi pusat, bukan pinggiran.
Ketiga, menindaklanjuti demonstrasi dengan kebijakan konkret. Bukan janji, bukan imbauan, melainkan perubahan nyata: pengendalian tunjangan pejabat, evaluasi aparat, dan redistribusi sumber daya agar lebih adil.
Hanya dengan langkah-langkah semacam itu negara bisa menunjukkan bahwa ia serius menyelesaikan masalah, bukan sekadar menenangkan suasana.
Penutup
Demonstrasi Agustus 2025 seharusnya menjadi peringatan keras bagi pemerintah. Rakyat tidak hanya marah karena isu teknis, tetapi karena merasakan ketidakadilan struktural yang terus berulang. Respons negara dengan mengundang tokoh agama, ketua partai, dan purnawirawan hanya memperlihatkan kecenderungan lama: memilih legitimasi simbolik ketimbang solusi ilmiah.
Dalam jangka pendek, strategi ini mungkin berhasil meredakan emosi. Tetapi dalam jangka panjang, ia berbahaya, merusak rasionalitas publik, melemahkan demokrasi, dan mengubah agama menjadi sekadar instrumen politik.
Jika negara ingin benar-benar menjawab krisis, ia harus berhenti menjadikan agama sebagai candu, dan mulai menempatkan ilmu pengetahuan, dialog, serta keadilan sebagai fondasi kebijakan. Tanpa itu, kita akan terus hidup dalam siklus kemarahan yang berulang, dengan legitimasi yang rapuh, dan masa depan yang tersandera oleh simbol kosong.