Mohon tunggu...
RENALDI BAYU
RENALDI BAYU Mohon Tunggu... I am a student at Udayana University.

@malleumiustitiae @refknow (Enjoy Writing, Reading and Dialectics)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pola Lama Penguasa Menanggapi Isu Sosial

16 September 2025   18:33 Diperbarui: 16 September 2025   18:33 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Prabowo Subianto memanggil sejumlah tokoh ke Istana Kepresidenan Jakarta pada Senin. Sumber Gambar: CNN Indonesia

Gelombang demonstrasi nasional yang meletus sejak 25 Agustus 2025 menandai babak baru hubungan antara rakyat dan kekuasaan. Awalnya, protes dipicu kebijakan kenaikan tunjangan DPR yang dianggap tidak etis di tengah situasi ekonomi sulit. Namun, puncak kemarahan publik muncul ketika Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online, tewas terlindas kendaraan taktis Brimob. Peristiwa itu menjadi simbol, negara yang seharusnya melindungi, justru menindas. Dari titik itu, demonstrasi membesar, menyebar ke berbagai kota, dan meraih solidaritas lintas kelompok masyarakat.

Di tengah situasi panas, Presiden Prabowo Subianto mengambil langkah politik yang khas, bahkan klise. Pada 1 September 2025, ia memanggil ke Istana sejumlah figur penting seperti ketua partai politik, tokoh lintas agama, serikat pekerja, hingga purnawirawan TNI. Tujuannya jelas: meredakan ketegangan, mengembalikan citra stabilitas, dan menyalurkan amarah publik ke dalam jalur simbolik yang bisa dikontrol. Di titik inilah kritik perlu diajukan dengan tajam: Mengapa negara selalu lebih memilih jalan legitimasi simbolik ketimbang rasionalitas ilmiah dan dialog terbuka?

Simbol, Bukan Solusi

Langkah mengundang tokoh agama untuk meredakan gejolak sosial bukanlah fenomena baru. Sejak lama, penguasa di Indonesia,baik pada era kolonial, Orde Baru, maupun masa reformasi,menggunakan otoritas religius untuk meredam ketidakpuasan rakyat. Tokoh agama tampil sebagai juru penenang, memberi imbauan, ceramah, dan doa, sementara pemerintah tetap mempertahankan struktur kebijakan yang timpang.

Masalahnya, strategi ini tidak menyelesaikan akar masalah. Demonstrasi Agustus 2025 lahir dari ketidakadilan struktural: kebijakan fiskal yang lebih berpihak pada elite, praktik represif aparat, dan jarak yang makin lebar antara rakyat dan penguasa. Itu semua tidak bisa dibereskan dengan nasihat moral. Solusinya memerlukan analisis ilmiah, kerja data, dan kebijakan rasional yang dibangun di atas riset sosial-ekonomi. Di sinilah peran sosiolog, peneliti, dan akademisi seharusnya berada di garis depan. Namun, suara mereka kerap dikesampingkan demi kehadiran tokoh agama yang lebih mudah "dijual" secara simbolik.

Agama sebagai Obat Penenang

Pemikir seperti Karl Marx menyebut agama sebagai "candu masyarakat". Bukan karena agama pada dirinya jahat, melainkan karena ia sering digunakan sebagai pelipur lara sementara. Agama memberi rasa damai, menunda amarah, namun tidak menyentuh sumber penderitaan. Dalam konteks demonstrasi 2025, undangan tokoh agama ke istana mengukuhkan pola lama itu: agama dipakai sebagai obat penenang politik.

Serta Friedrich Nietzsche lebih tajam lagi. Bagi Nietzsche, nilai kelembutan, kesabaran, dan kepasrahan yang sering dipuja dalam wacana religius bisa berfungsi sebagai strategi penguasa untuk menjaga rakyat tetap jinak. Apa yang kita saksikan hari ini tampak membenarkan analisis itu. Alih-alih mendorong agama menjadi kekuatan kritik etis terhadap elit, negara menjadikannya instrumen untuk menundukkan kritik rakyat.

Situasi ini bukan hanya membuat agama tampak sebagai "candu", melainkan mereduksi perannya menjadi sekadar alat kontrol sosial. Ia tidak lagi hadir untuk menegakkan keadilan, melainkan untuk menjaga stabilitas semu. Maka, legitimasi yang lahir dari tokoh agama hanyalah legitimasi rapuh, sebab ia menenangkan tanpa pernah menyelesaikan.

Kekeliruan Prioritas

Mengundang tokoh agama dan purnawirawan ke istana pasca-demo sebenarnya salah sasaran. Persoalan utama bukan konflik horizontal antar umat, melainkan ketidakadilan struktural yang diproduksi oleh kebijakan negara sendiri. Analogi sederhana bisa menggambarkan ini seperti ada genteng rumah bocor, tetapi yang dipanggil bukan tukang bangunan, melainkan pemuka agama untuk berdoa bersama agar terhindar dari bahaya. Hasilnya jelas, genteng tetap bocor, masalah tetap ada, dan penderitaan hanya ditutup dengan doa.

Jika pemerintah serius, seharusnya langkah pertama adalah duduk bersama para demonstran, mendengarkan aspirasi mereka, dan merespons tuntutan dengan rasional. Transparansi kebijakan, evaluasi tunjangan pejabat, reformasi aparat keamanan, dan keterlibatan publik dalam pengambilan keputusan adalah jawaban yang lebih tepat. Itulah kerja ilmiah dan politik yang sejati.

Reproduksi Pola Lama

Yang terjadi pasca-demonstrasi Agustus 2025 memperlihatkan betapa negara masih terjebak dalam pola lama: meredam, bukan menyelesaikan. Pola ini persis seperti yang pernah dijalankan rezim sebelumnya. Penguasa mengundang tokoh agama atau elit moral untuk meredakan suasana, sementara struktur ketidakadilan tetap utuh.

Akibatnya, kita masuk ke siklus repetitive dimana rakyat marah penguasa panik tokoh agama dipanggil amarah reda sementara ketidakadilan dibiarkan rakyat kembali marah. Siklus ini mungkin menguntungkan elit, tetapi merusak rasionalitas publik. Masyarakat dipaksa percaya bahwa masalah sosial bisa dibereskan dengan legitimasi simbolik, bukan dengan kebijakan berbasis pengetahuan.

Risiko Jangka Panjang

Jika pola ini terus dipertahankan, ada dua risiko besar yang menanti. Pertama, hilangnya kepercayaan publik terhadap institusi agama itu sendiri. Tokoh agama akan dilihat sebagai perpanjangan tangan penguasa, bukan sebagai suara moral yang membela rakyat. Kedua, erosi rasionalitas publik. Masyarakat akan terbiasa menerima solusi semu dan melupakan tuntutan struktural, sehingga ruang kritis makin menyempit.

Pada titik ini, negara bukan hanya gagal menyelesaikan masalah sosial, tetapi juga merusak fondasi demokrasi. Demokrasi hanya bisa tumbuh jika ada ruang rasional, jika publik terbiasa berpikir kritis, dan jika kebijakan disusun berdasarkan pengetahuan ilmiah. Menggantinya dengan legitimasi simbolik sama saja dengan mundur ke era feodalisme, ketika doa lebih diutamakan daripada ilmu.

Jalan Alternatif

Kita memerlukan keberanian politik untuk memutus pola lama ini. Respons negara terhadap demonstrasi tidak bisa lagi mengandalkan ceramah moral atau ritual simbolik. Ada tiga langkah yang bisa ditempuh.

Pertama, membuka ruang dialog langsung dengan demonstran. Bukan pertemuan tertutup dengan elit agama atau partai politik, tetapi forum terbuka yang bisa disaksikan publik. Transparansi ini penting untuk membangun kembali kepercayaan.

Kedua, melibatkan akademisi, peneliti, dan ilmuwan sosial dalam merumuskan solusi. Mereka bekerja dengan data, teori, dan metodologi yang dapat memetakan akar persoalan secara obyektif. Suara mereka harus menjadi pusat, bukan pinggiran.

Ketiga, menindaklanjuti demonstrasi dengan kebijakan konkret. Bukan janji, bukan imbauan, melainkan perubahan nyata: pengendalian tunjangan pejabat, evaluasi aparat, dan redistribusi sumber daya agar lebih adil.

Hanya dengan langkah-langkah semacam itu negara bisa menunjukkan bahwa ia serius menyelesaikan masalah, bukan sekadar menenangkan suasana.

Penutup

Demonstrasi Agustus 2025 seharusnya menjadi peringatan keras bagi pemerintah. Rakyat tidak hanya marah karena isu teknis, tetapi karena merasakan ketidakadilan struktural yang terus berulang. Respons negara dengan mengundang tokoh agama, ketua partai, dan purnawirawan hanya memperlihatkan kecenderungan lama: memilih legitimasi simbolik ketimbang solusi ilmiah.

Dalam jangka pendek, strategi ini mungkin berhasil meredakan emosi. Tetapi dalam jangka panjang, ia berbahaya, merusak rasionalitas publik, melemahkan demokrasi, dan mengubah agama menjadi sekadar instrumen politik.

Jika negara ingin benar-benar menjawab krisis, ia harus berhenti menjadikan agama sebagai candu, dan mulai menempatkan ilmu pengetahuan, dialog, serta keadilan sebagai fondasi kebijakan. Tanpa itu, kita akan terus hidup dalam siklus kemarahan yang berulang, dengan legitimasi yang rapuh, dan masa depan yang tersandera oleh simbol kosong.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun