Mohon tunggu...
Abdullah Muzi Marpaung
Abdullah Muzi Marpaung Mohon Tunggu... Dosen - Seorang pejalan kaki

Tak rutin, tapi terus...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Satu Cerita untuk Elsa

12 September 2020   18:30 Diperbarui: 12 September 2020   18:25 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ada lelaki yang mudah saja bilang cinta kepada perempuan yang memikat hatinya. Kalaupun ditolak, tak mengapa. Akan diburunya perempuan lain. Kepada perempuan yang terpanah, menyambut cintanya, iapun tak menjanjikan setia. Asmara di tangannya, adalah perkara yang ringan semata. Boleh datang boleh pergi bila-bila masa.

Aku tak macam itu. Semasa budak kecik dulu kau seorang yang aku suka. Bertahun-tahun berkawan denganmu, aku belajar memahami kerjap matamu, senyummu, sibakan rambutmu, lambaian tanganmu, iya dan tidakmu. Bersabar aku mengumpulkan tanda-tanda dengan seksama. Berkali-kali aku merasa tanda itu telah jelas adanya. Berkali-kali pula aku meragukannya. Adakah dikau sang belahan jiwa?

Kemudian tibalah masa seorang lelaki mesti mengalahkan hati yang bimbang. Apa yang gelap, hendaklah disingkap. Kalaupun terang itu menyakitkan, biarlah kutahankan. Kupanahkan asmaraku kepadamu, di hari ketika kita duduk berdua di bawah pokok sakura.

Panah itu seperti telah kau kira datangnya. Kausambut dengan senyuman tenang. Akupun turut tenang. Surut sudah gugup gelisah. Tapi, kau tidakkan aku.

"Tak boleh Ardi. Aku dah ada yang punya."

Sudah ada yang punya? Siapa? Sejak bila? Tak ada kulihat lelaki di dekatmu selain aku. Betul engkau elok rupa. Banyak yang suka. Tapi aku seorang yang dekat denganmu. Rasa sesal mendera rongga dada. Mungkin aku terlambat. Kenapa tak dari dulu kusampaikan cinta? Kenapa pula kuperturutkan hati yang bimbang?

Panjang lebar kau berkisah tentang lelaki itu. Seorang pegawai perusahaan kayu lapis yang tak sengaja kaujumpa pada suatu pasar malam di Tanjung Pinang. Kisah yang sangat tak hendak kudengarkan, tapi tetap kudengarkan.

"Maafkan aku. Kau tahu, aku anak sulung. Penat rasanya mengurus adik-adikku semenjak meninggalnya mamak. Aku perlu seseorang untuk kulabuhkan keluhan."

"Akupun anak sulung", timpalku. Jawaban yang bodoh bin dongok tentu saja. Tiada guna.

Kembali kau tersenyum. Pahit. Akupun berusaha tersenyum. Juga pahit. Manalah mungkin kautemukan ketenangan pada diri lelaki peragu macam aku? Kita sama-sama tahu, tahun-tahun yang kita lalui bersama masihlah macam tahun kanak-kanak. Penuh keriangan. Tak ada masalah yang memberatkan.

Kusadari, bahwa aku harus berlalu dari kehidupanmu. Inilah terang yang kunanti-nantikan. Tapi aku telah berazam, sakitnya akan kutahankan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun