Mohon tunggu...
Abdullah Muzi Marpaung
Abdullah Muzi Marpaung Mohon Tunggu... Dosen - Seorang pejalan kaki

Tak rutin, tapi terus...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Satu Cerita untuk Elsa

12 September 2020   18:30 Diperbarui: 12 September 2020   18:25 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setengah jam berselang, kurasa segar sudah pikiran. Kuambil sehelai kertas surat dan mulai menulis untukmu. Surat yang tak panjang. Kusampaikan sedih dan geramku atas perlakuan lelaki itu kepadamu. Perkara kembali kepadamu, singkat kusampaikan,

"Tak boleh Elsa. Aku dah ada yang punya."

Rupa-rupanya dendam jua yang kumenangkan. Dendam? Rasaku, aku tak dendam. Lantas kenapa aku tak memaafkanmu? Tapi apa yang perlu kumaafkan? Kau tak ada salah apa-apa. Engkau telah menentukan pilihan. Tiada ada yang salah dengan itu. Kini saat bagiku buat menentukan. Itu saja. 

Lalu kenapa aku harus berpura-pura 'sudah ada yang punya'? Apa ada alasan lain yang lebih tak menyakitkanmu daripada alasan itu? Tapi kata-kata itu serupa betul dengan ucapanmu ketika menolakku dahulu! Tidakkah itu pertanda aku hendak membalasmu? Dua kubu dalam diriku terus bertengkar. Pada satu sisi harga diriku terlukai. Pada sisi lain kasihku kepadamu mengharu-biru. Sungguh, aku tak nyaman dengan sikap yang kuambil terhadapmu.

***

Sepuluh tahun lagi berlalu. Tiada ada kudengar kabar darimu. Dua adikku sudah sarjana dan bekerja di perusahaan besar. Satu lagi adikku, si bungsu, sebentar lagi lulus pula. Kebun sawit ayah rupa-rupanya banyak menghasilkan. Hidup kami telah jauh lebih sejahtera.


Aku sudah tak lagi bekerja di galangan kapal. Kini aku menjalankan bengkel sepeda motor milikku sendiri. Cepat juga berkembang bengkelku ini. Sudah saatnya untuk membuka cabang. Tanjungpinang adalah tujuanku.

Ah, tiba-tiba aku teringat akan dirimu, Elsa. Apa kabarmu? Mungkin engkau telah menemukan lelaki pujaan yang bersamanya kau bangun mahligai rumah tangga. Sungguh, aku berharap engkau bahagia. Sementara aku, barangkali aku terjerat dalam dustaku kepadamu sepuluh tahun lalu: Aku dah ada yang punya. Tak. Aku tak ada yang punya. Tak berhasil kutemukan seorang kekasih hati.

Selepas urusan rencana membuka bengkel cabang Tanjungpinang, aku pun menuju ke Kijang hendak menjumpai Pakcik Ramli, menengok pokok sakura di tepi jalan dulu itu, mengenangkan kembali masa kanak-kanak dan remaja, dan yang terutama bertemu denganmu. 

Berdegup tak karuan jantungku. Bagaimanapun jalan yang telah kita lalui, engkau adalah rinduku. Jikalaupun kini engkau telah jadi istri orang, tak lah akan mengurangi bahagiaku menjumpaimu. Seperti pernah dulu sekali kubilang: kalaupun terang itu menyakitkan, biarlah kutahankan. Terlebih, semua ini terjadi karena keangkuhanku. Salahku.

Di Batu Sepuluh, mobil yang kutumpangi pecah ban. Tak jauh dari sebuah kedai prata yang ramai. Sudah berkembang sangat daerah dekat sini, kupikir. Sudah jadi pusat keramaian pula. Sembari menunggu sopir mengganti ban, aku duduk di kedai itu memesan secangkir kopi dan sepiring prata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun