Mohon tunggu...
Abdullah Muzi Marpaung
Abdullah Muzi Marpaung Mohon Tunggu... Dosen - Seorang pejalan kaki

Tak rutin, tapi terus...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Satu Cerita untuk Elsa

12 September 2020   18:30 Diperbarui: 12 September 2020   18:25 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

***

Empat tahun berlalu. Kira-kiralah. Tak kuingat sangat. Sekali dua ada kita berkirim surat bertukar kabar. Setamat STM aku bekerja sebagai teknisi di perusahaan galangan kapal di Batam. Walau jarak Batam-Tanjung Pinang kurang lebih satu jam perjalanan feri, lalu Tanjung Pinang-Kijang cuma setengah jam, belum pernah aku balik ke Kijang. 

Siapa yang hendak aku tengok di sana? Orangtua dan adik-adikku tinggal di Siak, kampung halaman ayah, semenjak tiga tahun yang lalu. Ayah hendak mencoba peruntungan dengan bertanam sawit di tanah peninggalan Atuk. Satu adikku ikut aku, bersekolah di Batam. Lagi pun, aku harus berhemat. Adik-adikku mestilah bersekolah tinggi. Mudah-mudahan Allah bagi rezeki banyak kepada keluarga kami melalui kebun sawit ayah. Kalau pun tidak, aku sudah menabung buat pendidikan adik-adik.

Satu hari tiba surat darimu. Kapan terakhir kita bertukar kabar? Dua tahun atau dua tahun setengah yang lalu? Apa kabarmu, Elsa? Tentulah engkau sudah berumah tangga dengan lelaki itu. Di kampung kita, tak banyak pilihan buat seorang perempuan. Lepas SMA, menikahlah. Atau surat yang baru tiba ini berisikan kabar atau undangan pernikahanmu? Tapi, surat ini tak tebal. Tak macam undangan.

Bergetar sedikit permukaan kulit manakala kubuka surat itu. Sejauh manapun hati kubawa pergi, tetaplah ada yang tertinggal pada masa lalu. Pada hari-hari riang gembira itu. Pada hari di kala harapan layu dihentak kenyataan. Suratmu tak panjang. Berkisah tentang apa yang belum lama ini terjadi padamu.

"Lelaki itu tak betul. Ia coba menodaiku. Ia merayu. Dikatakannya, kami kejap lagi menikah. Jadi, tak apalah berbuat macam tu..."

"Mana mungkin aku sudi. Dia meradang. Diungkitnya semua pertolongan buat aku dan adik-adik. Disebutnya aku tak tahu diuntung. Hampir aku dicelakainya. Untunglah ada Pakcik Ramli. Engkau ingat Pakcik Ramli, kan? Tak banyak cakap, ditumbuknya lelaki itu. Sudah ada satu minggu. Laki-laki itu tak pernah lagi nampak di Kijang."

Menggelegak nian darahku. Rasa hendak kucari lelaki laknat itu. Entah siapa pula nama dia. Engkau tak pernah cerita. Rasa hendak kubunuh dia. Kuhidupkan lagi. Kubunuh lagi. Seribu kali bila perlu.

Tak perlulah aku banyak cakap seberapa besar kasihku kepadamu. Engkau dah lama tahu. Engkau hanya tak percaya tubuhku kuat buat kau sandarkan. Engkau hanya tak percaya, rebah di dadaku dapat membuatmu tenang.

"Ardi, masihkah kau mencintaiku?"

Aduhai Elsa. Engkau membuatku pening kepala!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun